L i m a S e m b i l a n

3.4K 336 94
                                    

Biar cepat tamat! hehehe

Enjoy this Part

***

Pagi baru saja menerima telpon dari Gavin, mengatakan bahwa pemuda itu masih ada urusan dan tidak bisa menjemput Pagi saat gadis itu selesai kuliah nanti, tapi Gavin tetap tidak membiarkan Pagi pulang tanpa seorang yang Gavin percayai untuk menjaga gadis itu.

Walau merasa tidak enak karena Gavin begitu memprotect dirinya karena merasa merepotkan orang-orang Gavin, begitupun tidak bisa dia pungkiri bahwa dia merasa begitu dicintai oleh Gavin dan itu membuatnya tidak bisa menolak keinginan Gavin.

Sudah waktunya langit biru dan awannya berganti dengan jingga, dan sebentar lagi gelap pun akan mewakili malam.

Sedangkan Pagi baru saja selesai diskusi bersama empat orang teman sekelompoknya mengerjakan tugas yang deadlinenya sudah ada di depan mata. Pagi berjalan keluar ruangannya bersama dengan teman-temannya yang satu persatu sudah berpencar. Tinggalah dia sendiri berdiri di depan kampusnya karena temannya yang terakhir baru saja pergi bersama angkutan umum.

Berkali-kali meminta Gavin mengizinkannya untuk pulang sendiri, tapi tetap saja, Gavin tidak bisa terbantahkan, sialnya lagi Jea tidak satu kelompok dengan dirinya, jadi dia tidak bisa menggunakan Jea sebagai alasan, karena selain berpergian dengan Will, Jea satu-satunya orang yang bebas berpergian dengan Pagi tanpa pengawasannya, kecuali keluarga gadis itu tentunya.

Saat sedang asik melamun, dia merasa ada tepukan pelan di bahunya, Pagi pun menoleh, sudah ada Varco berdiri di sebelahnya.

"Elo, gue kira siapa."

"Nunggu, Gav?"

"Bukan, supirnya. Lo kok masih di kampus? Nugas juga?"

Varco hanya menggeleng, membuat Pagi bingung. Kebingungannya bertambah saat melihat Varco berkelakuan tidak biasa. Belum lagi raut wajah itu sama sekali tidak enak dilihat, perasaan Pagi tiba-tiba menjadi tidak enak pula.

Sampai pada Varco menyerongkan badannya dan melakukannya juga pada Pagi dengan cara memutar kedua tubuh Pagi.

Pagi cuma diam mengamati.

"Gue enggak bisa menahan ini lebih lama, Gi. Gue harus sampaikan ini ke lo."

"Soal apa?"

"Hati."

"Hati siapa? Gue? Lo?"

"Apa ada gue di dalam hati lo?"

Pagi mengerjab matanya, sedikit terkejut dengan pertanyaan Varco.

"Tentu aja," jawabnya, Varco sahabatnya, wajar jika Varco ada di dalam hatinya, mengapa hal-hal seperti itu harus dipertanyakan lagi ketika jawabannya sudah jelas? "Lo sahabat gue," tegasnya.

Deg.

Jatuh semua hati milik Varco, hancur berkeping-keping.

"Tapi gue mau lebih, Gi. Gue gak tau sejak kapan, tapi akhirnya gue sadar perasaan gue ke elo ternyata tidak sesederhana persahabatan kita. Gue punya rasa lebih dari sekedar itu."

Pagi menggeleng kecil, bahkan mungkin tidak semua orang bisa menyadari gerakan itu.

Pagi menggeleng lagi lebih tegas, karena dia merasa semua itu terasa tidak benar.

"Gue sayang lo, Gi. Lebih dari sekedar sahabat gue. Gue cinta. Gue ... mau lo." Suara Varco terdengar memohon sekaligus putus asa. Varco sendiri tidak bodoh, apalagi buta. Dia tau dan dia melihat bahwa sahabat yang dia cintai justru mencintai lelaki lain. Lelaki yang baru dia kenal dan menolaknya berkali-kali. Tapi gadis yang dia cintai itu Pagi, ketika gadis itu memulai, Pagi tidak akan pernah semudah itu berhenti memperjuangkan apapun yang dia mulai, apalagi ini menyangkut perasaannya.

#1 Pagi untuk Gavin ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang