Bagian 3

15.4K 965 2
                                    

Khanza merasa iri pada bulan yang di atas langit, meskipun beda dia tetap ditemani oleh bintang. Berbeda dengannya, lagi-lagi ia berada dalam situasi seperti ini. Menemani sang kakak bermain basket di komplek rumah Dito. Gilanya, ini malam Minggu, Khanza heran kenapa mereka malah sibuk bermain basket dan bukan jalan bersama pacar.

Keluar dari mobil setelah merasa bosan, Khanza duduk di bangku taman yang berada tak jauh dari tempat kakaknya memarkirkan mobil. Ia mencoba terlihat menikmati permainan bola basket yang dimainkan oleh Andra bersama teman sekelasnya, lima detik kemudian Khanza menyerah, telinganya kembali disumbat memakai earphone.

Masih sambil melihat ke arah lapangan, ia menikmati alunan musik yang membuatnya sedikit melupakan kejenuhan. Andai saja kakak-kakak itu berbaik hati untuk mengajak pacar-pacar mereka ke sini, pasti Khanza tidak merasa kesepian meskipun sangat jelas di depannya banyak kaum Adam yang sedang merebutkan bola oranye.

Lima menit kemudian Khanza melepaskan earphone-nya karena ia benar-benar merasa bosan berada di sini. Khanza kembali ke mobil, membuka pintu belakang kemudian merebahkan tubuh di jok tersebut. Tak ada yang melarangnya tidur bukan?

Meskipun merasa tak nyaman karena kaki terlipat, ia tetap berusaha untuk tertidur. Bermenit-menit kemudian Khanza bangun karena merasa kalah dengan rasa bosan yang mengentayangi. Tentu saja ia kembali keluar dari mobil.

"Eh?"

Mendengarkan suara yang tak asing lagi di telinga, Khanza menoleh pada sosok yang juga menatapnya. Dalam hati ia mengeluh, lebih baik merasa bosan daripada harus meladeni adik dari seorang Dito.

"Lo lagi," ucap Leon diakhiri dengan senyum ramah." Gue pikir lo udah pulang."

Khanza hanya tersenyum kecil. "Belum, masih mau nemenin kakak," jawabnya mencoba untuk santai dan terlihat tidak terusik dengan kedatangan Leon.

"Oh." Leon membulatkan bibir kemudian beralih ke lapangan. "Ke rumah, yuk," ajaknya tiba-tiba.

Khanza yang diajak oleh seseorang baru dikenal, hanya bisa membulatkan mata. "Apa?" Ucapannya itu bukan untuk ingin kembali mendengar ajakan Leon, tetapi untuk memastikan bahwa ia salah dengar atau memang sudah seperti itu.

"Ke rumah gue, elaah ... cantik-cantik, kok, budeg."

Inilah yang Khanza tak sukai dari Leon, terlalu cerewet kepada seseorang yang baru dikenal. Ah tidak, Khanza baru mengenal lelaki itu, jadi ia tak bisa mengambil kesimpulan bahwa memang seperti itu pada semua orang, lantas apa salahnya Khanza berpikir bahwa Leon seperti telah mengenalnya?

"Ayo, rumah gue deket banget, kok. Di situ doang." Ia menunjuk rumah yang berada di dekat gapura perumahan. "Emang lo mau nungguin Kak Andra di sini kayak kemarin malam?"

Jujur Khanza sama sekali tidak mau malam itu terulang lagi, di mana ia duduk di kap mobil dengan ditemani cerita panjang Leon yang sebenarnya ia tak menyimak sedikit pun. Namun, meskipun begitu bukan berarti Khanza akan menerima tawaran dari Leon. "Nggak, aku di sini aja," tolaknya.

Mengembuskan napas pelan Leon menyerah. "Ya udah, di sini aja." Lelaki itu duduk di kap depan mobil Andra.

Khanza memilih membuka pintu kemudi, kemudian duduk di bangku tersebut dengan kaki berada di luar mobil dan pintu dibiarkan terbuka. Padahal tadi ia berencana duduk di tempat yang diduduki Leon, tetapi lelaki itu memupuskan rencananya.

Tangan Khanza merogoh saku celana, kemudian mengeluarkan benda pipih dari sana. Ia melirik ke arah Leon yang juga sedang memegang ponsel. Dari arah pandangnya, Khanza bisa menebak apa yang sedang dilakukan oleh laki-laki itu. Chat di Whatsapp.

Sudah tiga hari Khanza berada di kota ini, tetapi ia belum juga merasakan asyik. Ya, Khanza harus berada di apartemen selama sang kakak berada di kampus, sekalinya keluar pasti hanya untuk pergi mengisi perut dan menemani Andra bermain basket.

Selama di sini pun, Khanza belum mendengarkan tentang kakaknya yang telah memiliki kekasih atau malah masih sendiri sejak berpisah dengan mantan pertamanya.

"Leon, aku boleh nanya nggak?" Khanza mencoba membuka percakapan setelah diam beberapa menit.

"Mau nanya apa?"

Dari balik kaca mobil, Khanza bisa melihat Leon menengok ke arahnya. "Setahu kamu Kak Andra udah punya pacar belum?"

Terkekeh, Leon sekilas melihat ke arah lapangan kemudian kembali menatap lawan bicaranya. "Belum, mereka semua ini jomblo. Erik, doang, yang enggak," jawabnya sambil menunjuk ke arah lapangan.

Khanza mengulas senyumnya. "Gitu, ya."

"Yep." Lelaki itu kembali menatap ponsel. Begitu pula dengan Khanza.

Dalam benak Khanza, ia berpikir kakaknya belum bisa melupakan Alika, teman seangkatan Khanza. Bedanya perempuan itu berada di jurusan IPA, sedangkan Khanza berada di jurusan IPS.

Sebelum Khanza mematikan layar ponsel, satu notifikasi dari aplikasi WhatsApp masuk. Mengerutkan kening, ia menatap deretan angka yang belum dinamai.

"Itu gue, simpen, ye, jangan diblokir."

Khanza menoleh, ia menatap Leon yang kini kembali sibuk dengan ponsel. Ingin bertanya dari siapa Leon mendapatkan nomornya, tetapi niat itu ia urungkan saat Leon menempelkan benda pipih ke telinga. Lelaki itu sedang menelepon seseorang.

Melakukan apa yang dikatakan Leon, Khanza mematikan layar ponsel kemudian menghela napas. Menggoyang-goyangkan kaki, ia mencoba menikmati malam ini. Tak apakan, jika Khanza berharap malam ini akan menjadi malam yang tak bisa dilupakan?

Tentu saja tak bisa dilupakan, karena pilihannya untuk mengunjungi kota ini akan menjadi kenangan aneh dan membosankan yang akan selalu diingat. Jangan pernah menemui orang sibuk, maka kau akan berakhir seperti ini.

Lima menit duduk diam menatap langit, Khanza menoleh ke arah Leon yang sepertinya sedang mengobrol dengan seseorang. Namun, di tempat duduknya tadi, Leon sudah tak berada di sana. Ia menengok ke belakang, di mana dari arah kaca jendela pintu penumpang bisa melihat lelaki itu sedang bersama seseorang.

Khanza tak menghiraukan, akan lebih bagus jika Leon pergi, agar ia bisa duduk di kap depan mobil. Namun, keinginan Khanza itu lagi-lagi pupus saat melihat Leon kembali duduk di sana dan kali ini seseorang menemaninya. Entah siapa, Khanza tak tahu dan tak ingin tahu.

Saat laki-laki yang duduk di sebelah Leon, memanggil nama Andra dan sedetik kemudian Khanza melihat kakak laki-lakinya itu menoleh memberikan seulas senyum. Khanza menaruh rasa penasaran saat itu juga. Sepertinya Andra mengenal lelaki itu, dan detik kemudian Khanza tak ingin tahu sejak kapan mereka saling mengenal karena itu bukan urusannya.

Khanza ingin kembali menyalakan layar ponsel, tetapi seperti sedang diperhatikan Khanza menoleh ke arah Leon, yang ternyata tak melihat ke arahnya, lelaki itu sedang menatap lurus ke arah lapangan. Mengetahui itu, Khanza beralih ke seseorang yang berada di sebelah Leon. Tepat, Khanza tahu siapa yang mengganggu aktivitasnya untuk mengusir kebosanan.

Mata itu sama kagetnya dengan mata Khanza. Ia benar-benar tak tahu harus melakukan apa, selain berusaha untuk tetap bernapas meskipun sekarang jantungnya terasa benar-benar berhenti berdetak. Di detik ke sepuluh, Khanza lebih dulu mematahkan tatapan mereka, dan saat itu ia kembali merasakan jantungnya berdetak, tetapi kali ini teramat kencang sampai-sampai ia takut seseorang bisa mendengarkan.

Khanza menunduk menatap sepatunya. satu detik, dua detik, dan entah detik keberapa, Khanza melihat sepasang sepatu berhenti di hadapannya.

Dhan menghampirinya.

Dhan berada di sini.

Dhan ada di hadapannya.

----

23Mar18

🙄

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang