Bagian 11

10.6K 726 6
                                    

"Aku pergi, Kak, Assalamualaikum," pamit Khanza kepada Andra yang sedang duduk di meja belajar sembari sibuk mengerjakan tugas.

"Wa Alaikum salam, bilangin ke Dhan jangan pulang malam."

"Iya, Kak."

Andra melihat dari celah pintu yang setengah terbuka, punggung sang adik menjauh dan hilang di balik pintu utama apartemen. Padahal adik perempuannya itu baru kembali bersama Dhan di jam hampir tiga sore, tetapi malam ini mereka kembali janjian untuk keluar. Entah ke mana, Andra tidak sempat bertanya karena sibuk dengan tugas yang sedang dikerjakan.

Andra yakin selama bersama Dhan adiknya akan baik-baik saja, apalagi lelaki itu selalu memastikan Khanza sampai dengan selamat dengan cara mengantar serta menjemputnya di apartemen. Se-benci apapun Dhan pada gedung bertingkat ini, ia tetap melakukannya. Andra tidak perlu merasa khawatir untuk saat ini.

---

"Hai."

Khanza terdiam di depan mobil yang beberapa hari ini ia tumpangi. Seseorang menyapanya dengan senyum lebar. Karena tak menyangka bahwa Nadila ikut bersama mereka, ia membalas sapaan itu dengan kaku. Khanza pikir malam ini ia hanya akan pergi bersama Dhan, membuatnya telah menyusun topik obrolan malam ini dengan sangat matang.

"Masuk, Za," ucap Dhan sembari membuka lebar pintu jok belakang.

Khanza mengangguk. "Iya."

Saat memasuki mobil tersebut, ia kembali dibuat terdiam ketika melihat sosok di balik kemudi. Leon, sudah dua hari mereka tak saling temu, seharusnya sekarang ia mengucapkan terima kasih, karena berkat lelaki itu Khanza bisa bertemu dengan Dhan.

"Hai, Le." Khanza memberanikan diri menyapa Leon.

"Hai, Za." Leon menoleh ke arahnya. "Sorry kalau rame, soalnya Dhan minta ditemenin, takut khilaf katanya."

Decakan terdengar dari Dhan yang baru saja masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Leon. "Lo yang maksa ikut," ujarnya membela diri.

"Iyalah. Gue, kan, pengin tahu Khanza orangnya seperti apa."

"Iya, gue juga." Nadila yang duduk di sebelah Khanza, mengedipkan mata ke arah Dhan.

Leon mendengkus. "Yang pasti dia lebih baik dari lo, La," ejeknya kepada Nadila.

"Iya tahu, gue kotor." Nadila mencebikkan bibir.

"Berantem dulu atau jalan sekarang, nih?" Dhan menengahi.

Bukannya Leon atau Nadila yang menjawab pertanyaannya, yang terdengar hanyalah suara Khanza yang tertawa kecil.

"Karena Khanza tertawa, ayo kita berangkat!" sorak Leon.

"Kenapa nggak dari tadi kamu ketawa, Za." Dhan menengok ke arah Khanza.

"Gue baru tahu ketawa bisa jadi bensin." Nadila berceletuk.

"Kalau ketawa lo, bisa jadi api," timpal Leon kepada Nadila.

"Kalau gitu kita nggak bisa ketawa bareng, Za, entar kebakaran." Perempuan itu menertawakan ke-garingannya.

"Hehehe, garing." Leon menyindir.

"Biarin, yang penting menghibur."

"Yang kayak gitu dikata menghibur?" Lelaki itu memutar setir, masuk ke area parkir restoran. "Kasian pelawak yang sakit kepala mikirin lelucon."

"Itu, sih, derita mereka."

"Sorry, Za, mereka kalau barengan suka ribut." Dhan memasang wajah menyesal membiarkan mereka untuk ikut bersamanya.

"Nggak apa, jadinya rame." Khanza tersenyum menandakan bahwa ia tidak terganggu.

"Tuh, Khanza aja nggak risih." Nadila terlihat senang diperbolehkan untuk ribut. "Makan malam dulu, yuk, Za."

Bangunan megah khas restoran mahal menyambut mereka ketika turun dari mobil. Khanza harus menjaga mata agar tidak keluar dari tempatnya, kemudian ia pun harus menjaga mulut untuk tidak berkomentar tentang berlebihannya pemilihan tempat makan malam mereka, dan juga ia harus menjaga hatinya untuk mengira seberapa berubahnya hidup Dhan di Jakarta.

Saat memijakkan kaki di bangunan tersebut, mereka dituntun seorang pelayan menuju private room di lantai teratas. Sepertinya ini telah direncanakan oleh Dhan, terlihat dari pelayan tersebut langsung mengenalnya ketika mereka masuk ke gedung tersebut.

"Ini restoran milik kakeknya Dhan," bisik Nadila kepada Khanza, menjawab keterkejutannya akan pemilihan tempat tersebut. "Gue sama Leon sering diajak makan di sini, makanannya enak-enak, lho."

Meskipun ini adalah milik keluarga Dhan, tetapi Khanza merasa tetap berlebihan. Biasanya yang menggunakan private room adalah orang dewasa untuk keperluan bisnis, atau orang dewasa yang ingin suasana romantis. Ya, seperti itulah kebanyakan kejadian yang Khanza baca di novel.

Selama ini ia tak pernah membaca anak SMA mengajak teman lamanya makan di restoran mahal dan memesan private room.

Wacana di atas terlalu ambigu. Lupakan.

"Aku saranin pesan yang banyak, Za, karena makanan di sini mahal, tapi dikit," Bisik Nadila lagi. "Nggak bikin kenyang kalau cuma seporsi."

Khanza sudah sering mendengarkan keluhan tersebut dari temannya yang memang orang kaya. Sedikit membuatnya heran, sudah tahu sedikit dan mahal, masih saja memilih makan di tempat tersebut.

"Astagfirullah." Khanza berbisik dalam hati menghilangkan kebiasaan buruknya.

"La, kok, lo tadi bolos?" tanya Leon setelah menutup buku menu di tangannya.

Nadila ikut menutup buku menu, senyum mencuat di bibir. "Tadi ada diskon besar-besaran di mal."

"Hanya karena diskon, lo bolos?" Dhan mendecak sembari menggelengkan kepala. "Lo banget, La."

"Hanya karena cewek, lo bolos?" Nadila meniru apa yang diucapkan serta yang dilakukan Dhan tadi. "Bukan lo banget, Dhan."

Leon tertawa kecil. "Biasa buat Dhan itu, mah."

"Serius?" Nadila mendekat tiga sentimeter ke arah Dhan sangking antusiasnya ingin tahu apakah yang dikatakan Leon benar atau tidak.

Khanza yang duduk di hadapan Dhan pun memiliki rasa ingin tahu, tetapi ia tidak menyuarakan dan hanya menunggu jawaban dari yang bersangkutan.

"Waktu dia nolak si Karin, besoknya, kan, dia nggak sekolah," jelas Leon membuat Nadila menarik dirinya duduk rapi seperti semula. "Gue heran, Karin yang nembak, dia yang malu."

Dhan mendecak. "Bukan malu, gue nggak enak ketemu orangnya."

Nadila mendengkus. "Gue pikir bolos karena apaan, itu doang, mah, gue udah tahu."

"Lo berharap dapat fakta baru tentang gue?" Dhan menghela napas kasar. "Le, kapan, sih, ini anak berubah?"

"Za, ajarin Nadila buat hijrah." Leon menjawab pertanyaan Dhan dengan meminta bantuan Khanza. "Sekalian diruqyah."

"Semua tergantung orangnya, kalaupun niat, pasti bisa berubah," kaya Khanza sembari menoleh ke arah Nadila yang berada di sebelahnya.

"Tuh, yang penting ada niat." Perempuan itu mengucapkan hal tersebut kepada Leon dan Dhan seolah-olah ia benar dan menang.

"Nungguin dia niat, mending gue pindah planet," dengkus Leon yang dibenarkan oleh Dhan.

"Nih, anak kepalanya paling batu, Za." Dhan mengucapkan fakta tersebut kepada Khanza, yang dibalas dengan dengus tawa kecil.

"Kamu juga batu Dhan," timpal Khanza, membuat Dhan menipiskan bibirnya antara merasa tersinggung dan sadar diri.

----

Aku nggak mau janji juga bisa up cepat, tapi aku akan berusaha!!!

Ganbarimasu!!

25okt18

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang