Bagian 12**

10.5K 717 6
                                    

"Dhan." Khanza mencegah Dhan yang hendak berbalik untuk pulang. "Soal yang tadi, aku minta maaf."

Dhan yang sudah setengah memutar tubuh, kembali ke hadapan Khanza dengan alis yang bertaut. "Yang mana?"

Khanza menghela napas pelan. "Yang aku bilang kamu batu."

Lelaki itu membulatkan bibir. "Gitu doang, nggak apa-apa."

"Tapi-"

"Jangan terlalu serius mukanya, aku jadi takut ngobrol sama kamu."

Hening tercipta di detik selanjutnya. Dhan menunggu Khanza untuk membuka mulut, jawaban atas keseriusan di wajah perempuan itu. Sedangkan Khanza menyiapkan hati untuk sesuatu yang akan terjadi setelah ia mengucapkan apa yang selama ini mengganjal.

"Sampai kapan kamu benci sama ayahmu?" Khanza menahan napas beberapa detik setelah mengucapkan kalimat tersebut.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat rahang Dhan mengerat, sesuatu yang terjadi ketika seseorang menahan emosi. Ini kali kedua Khanza melihat ekspresi Dhan seperti ini, pertama saat mereka bertemu orang tua lelaki itu di lift siang tadi, dan kedua adalah sekarang, di depan pintu apartemen Andra.

Jika Dhan membecinya setelah membahas tentang ini, maka Khanza siap akan hal tersebut.

"Kemarin kamu bilang, meskipun ada seribu Kak Andra yang menentang kamu, kamu nggak akan mundur." Ia menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya. "Gimana kalau aku bilang aku nentang kamu?"

Hening. Khanza menunggu jawaban dari Dhan, sedangkan lelaki itu masih memasang ekspresi yang sama, terlihat tak berniat menjawab pertanyaan Khanza.

"Aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu."

Khanza siap akan hal ini, tatapan dan ucapan dingin dari Dhan sudah diperkirakan beberapa jam setelah menyusun pertanyaan yang akan ia lontarkan. Namun, ia tak memperkirakan perasaan terluka yang akan dirasakan saat ini.

Cukup. Khanza akan berhenti sampai di sini, hubungannya dengan Dhan tidak akan sama lagi setelah kejadian ini. Maka tak ada alasan baginya untuk tetap di sini jika seseorang yang ingin ditemui bukan lagi orang yang sama. Khanza kalah. Dhan pun pasti tahu, ia telah menarik langkah untuk mundur sejak detik tersebut.

"Aku harus balik ke mobil, kasihan Leon sama Nadila lama nunggu." Setelah mengucapkan itu Dhan berlalu.

Khanza bersandar di daun pintu, tak ada niat untuk masuk ke dalam apartemen. Kaki terlalu lemah untuk diajak beranjak, entah sampai kapan akan merenung di sini, yang jelas ia sudah siap akan kemungkinan ini. Sudah tak ada yang perlu dipikirkan lagi, perjuangannya selesai. Akan berakhir seperti apa keadaan lelaki tersebut, Khanza sudah tak peduli lagi. Seperti halnya burung yang dibiarkan terbang, siapa pun tak bisa memaksa ia akan kembali.

----

Kak Andra: Udah jam 11, pulang cepat.

Dua detik pesan tersebut terkirim, pintu utama apartemen Andra terbuka menampakkan Khanza yang masuk tanpa salam dan tanpa berniat untuk menyapanya. Aneh jika Andra tidak merasakan ada hal yang ganjil kepada sang adik. Dengan tanpa memikirkan apa yang terjadi kepada adiknya itu, ia menyusul Khanza masuk ke dalam kamar.

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Andra sebelum Khanza menutup pintu kamar.

"Hm?" Dalam gumaman itu, Khanza bermaksud mengatakan jangan ganggu dirinya untuk saat ini.

"Dhan ngelakuin apa ke kamu?" tanya Andra lagi, kali ini suara beratnya terdengar tegas tak ingin menerima jawaban ambigu dari Khanza lagi.

"Nggak ada, kok, Kak," jawab Khanza. Tangannya hendak melepaskan hijab, tetapi detik kemudian ia urungkan niat tersebut.

"Serius?" Andra ragu. "Terus, kenapa muka kamu kusut kayak gitu?"

"Kakak menghina atau bagaimana?"

"Za." Dalam satu kata itu, Andra memperingatkan kepada sang adik bahwa ia serius.

"Aku baik-baik aja, kok, Kak," ujar Khanza, kali ini wajahnya ia paksakan untuk tersenyum.

"Serius?" Adiknya mengangguk. "Awas aja kalau Kakak tahu ada apa-apa." Andra mengeluarkan ancaman, yang mampu melunturkan senyum palsu perempuan itu.

"Kalau ada apa-apa?" Khanza hanya ingin memastikan kakaknya tidak akan melakukan hal yang buruk.

"Jangan ketemu Dhan lagi."

----

"Jangan ketemu Dhan lagi." Khanza mengulang-ulang ucapan Andra tadi. "Jangan ketemu Dhan lagi."

Ia tahu tak ada gunanya mengulang-ulang kalimat tersebut, tetapi untuk memastikan hatinya akan baik-baik saja setelah memutuskan untuk tak bertemu lagi, Khanza memilih mengulang kalimat tersebut. Ya, ucapan Andra bagaikan dukungan baginya untuk menjauhi Dhan.

Besok adalah hari selasa, Khanza terlanjur berniat kembali ke Semarang hari rabu. Namun, niat itu batal ketika sang abi menyuruh untuk cepat kembali ke Semarang karena uminya sendirian di rumah akibat ditinggal pergi pria itu untuk perjalanan bisnis. Alhasil besok pagi Khanza harus kembali sendirian tanpa diantarkan oleh Andra ke bandara, karena lagi-lagi kakaknya itu punya jadwal kuliah pagi.

Kejadian tiga jam yang lalu masih tergambar jelas di ingatan. Tatapan dingin Dhan, ucapan, rahang yang mengerat, sikap tak acuh pergi tanpa salam. Menakutkan menurut Khanza, sekaligus membuatnya terluka.

Khanza mengira dirinya sosok yang istimewa, yang jika memihak kepada Kenan, maka akan tetap menjadi yang istimewa. Nyatanya tidak, meskipun begitu ia tidak merasa terluka saat Dhan tak menganggapnya istimewa, melainkan ia lebih terluka karena sikap lelaki itu tadi.

Memang menurutnya, wajar jika Dhan berperilaku seperti itu, tetapi hatinya tetap merasa seperti diiris oleh tatapan dan ucapan tadi.

Meskipun terluka, tidak ada alasan baginya untuk tidak meminta maaf. Khanza yang lebih dulu menyulutkan api amarah Dhan, maka ia yang harus meminta maaf untuk meringankan situasi ini. Khanza mengaku kalah, dengan meminta maaf bukan berarti ia akan berjuang kembali. Anggap saja ucapan tersebut sekaligus untuk ucapan selamat tinggal.

Tangannya meraih ponsel, ia mencari satu nama di daftar kontak. Setelah menemukan, Khanza mengetikkan kata maaf di ruang chat-nya bersama Dhan.

Khanza Ashadiyah: Dhan, aku minta maaf soal yang tadi.

Tak ada balasan. Wajar saja, ini sudah menunjukkan pukul satu pagi. Sudah pasti Dhan telah tertidur, lelaki itu kelelahan karena seharian menemani Khanza untuk jalan-jalan.

Khanza Ashadiyah: Kamu udah tidur?

Khanza menepuk-nepuk jidatnya ketika sadar seharusnya ia tak mengirimkan pesan beruntun kepada Dhan. Jika seperti ini, ia bukan seperti seseorang yang mengucapkan selamat tinggal, melainkan seseorang yang sangat ingin dibalas chat-nya.

Khanza Ashadiyah: Maaf untuk yang tadi. Have a nice dream.

Setelah mengetikkan ucapan selamat tinggalnya dalam bentuk-hanya ia sendiri yang paham, Khanza menaruh ponsel di atas nakas kemudian berusaha untuk terlelap. Karena ia sudah menarik langkah mundur, maka ia pun akan menuruti apa kata kakaknya.

----

Lelah hayati 😥

26okt18

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang