Bagian 27

7.5K 658 5
                                    

Jangan hiraukan author note-nya ya. Itu aku ketik setahun yg lalu, jadinya gak sesuai keadaan sekarang.

---

Dua tahun berlalu, tetapi bangunan tersebut masih sama seperti saat ia menuntut ilmu di sekolah tersebut. Dhan menyusuri koridor, mengikuti langkah Della dan Khanza yang berjalan menuju bangunan kelas dua belas. Bangunan yang tak pernah ia huni dan juga tempat yang ia kira akan digunakan nanti ketika sudah berada di kelas dua belas.

Di saat harus pindah ke Jakarta, Dhan menelan kekecewaan. Seluruh perkiraannya yang telah dirangkai sejak menjadi murid sekolah tersebut—langsung menghilang dengan seketika. Dulu, ia mengejar jabatan menjadi ketua tim basket, tetapi kenyataannya ia harus pindah dan dengan lapang dada memberikan kesempatan kepada orang lain. Anggap saja sedang bermurah hati.

Sepanjang perjalanan, Dhan asyik memerhatikan sekolah yang sudah ditinggalkannya. Ia terus mengikuti Khanza serta Della, karena jika mereka berjalan berjejeran maka yang terjadi adalah koridor terpakai oleh mereka bertiga. Tentu saja ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, lagi pula Dhan tidak ingin mengundang kehebohan dengan berjalan di sebelah mantan ketua OSIS.

"Sampai. Ini kelas kami," ucap Della ketika mereka telah sampai ke tujuan.

"Boleh masuk?" tanya Dhan.

Ada getaran kecil yang muncul di dada ketika menyadari suasana kelas sedang ramai. Suasana khas ketika jam istirahat kedua tidak lain dan tidak bukan adalah seperti ini. Para siswa dan siswi mengobrol bersama, saling melempar candaan, dan biasanya yang bertingkah konyol adalah kaum Adam. Demi menciptakan tawa mereka harus memutar otak untuk membuat lawakan. Hal serupa pernah Dhan lakukan ketika masih berada di sekolah tersebut, karena saat itu ia adalah pemimpin kelas, maka harus mencari cara untuk menyatukan kekompakan mereka.

Namun, saat ia melempar candaan yang pasti akan memicu tawa, ada satu perempuan yang tidak akan tertawa, yaitu Khanza. Perempuan itu duduk di bangku paling sudut, belajar adalah makanan sehari-hari dan diam adalah kebiasaanya. Hanya saja, di balik itu semua, ada senyum yang selalu Khanza sematkan untuk dirinya, membuat Dhan tetap merasa berhasil mempersatukan kelas tersebut meski perempuan itu tetap pada pendiriannya.

"Dhan, biar aku aja yang bawa belanjaanku," pinta Khanza sebelum Dhan masuk ke dalam kelas.

"Nggak apa-apa, aku antar sampai ke meja kamu."

"Tapi Dhan—" Bukannya takut merepotkan Dhan, melainkan ia tak ingin teman sekelas menggodanya jika melihat perlakuan lelaki itu.

"Meja kamu yang mana?" Dhan tidak menggubris permintaan Khanza, meskipun ia menyadari bahwa perempuan itu terganggu.

"Sebelah jendela baris ke tiga," jawab Della.

"Oh, oke. Aku antar ke sana."

Tanpa keraguan ia melangkah ke dalam kelas. Suara riuh murid di kelas tersebut berangsur-angsur menghilang, ketika Dhan masuk tanpa salam dan menyapa. Ia sengaja melakukan hal itu, agar mereka tidak menghentikan langkahnya untuk menuju meja Khanza.

Ketika kantong plastik yang dibawa telah ia letakkan di atas meja perempuan itu, Dhan berbalik melihat satu per satu wajah teman lamanya. Tidak banyak dari mereka adalah mantan teman sekelasnya, maka ia berikan saja mereka salam terbaik.

"Yo," sapanya.

Dua detik berlalu, barulah terdengar keriuhan di dalam kelas tersebut.

"Dhan!" teriak mereka semua yang baru sadar bahwa seseorang yang masuk ke dalam kelas mereka tanpa mengenakan seragam dan tanpa salam, adalah teman lama mereka.

Bagaikan semut yang sedang mengerumuni gula, Dhan bersikap ramah menyapa teman-temannya. Tidak sedikit dari mereka memeluk, itu hanya berlaku untuk yang laki-laki. Termasuk Rian yang nampak haru melihatnya berada di depan mata. Padahal, saat Dhan menghubungi temannya itu melalui video call, pasti akan menggerutu dan selalu berpendapat hal yang ia lakukan adalah tindakan menggelikan. Lantas, mengapa sekarang Rian harus terharu?

"Astaga Aril, kamu makin tinggi," kejut Dhan kepada salah satu teman laki-lakinya yang terlihat menjulang dari teman lain.

"Biasa aja kamu." Aril menepuk bahunya. "Kamu juga makin tinggi."

"Ah, biasa aja. Naik lima senti doang," timpal Dhan mengelak.

"Lima senti gimana?" Rian berdiri di dekatnya kemudian menyamakan tinggi mereka. "Aku jadi pendek, lho."

"Kamu memang nggak pernah tumbuh," canda Aril.

Sontak mereka semua tertawa. Di tengah tawa tersebut, ada Khanza yang tersenyum melihat betapa akrabnya lelaki itu bersama teman sekelasnya, meskipun mereka sudah lama tidak bertemu. Dari tempatnya berdiri, ia seperti kembali melihat Dhan yang dulu. Entah karena bertemu teman lama atau Dhan memang tidak berbeda dari sebelumnya. Hanya saja Khanza yang terlalu cepat menyimpulkan.

Mungkin karena penampilan lelaki itu yang membuatnya menyimpulkan hal tersebut, dilihat dari segi status sosial pun, Dhan bukan lagi seperti dulu. Ya, yang dulu sangat sederhana, tetapi kini tampil lebih trendi sesuai status saat ini.

Namun, dari itu semua, Khanza berharap ada angin segar yang lelaki itu bawa ketika datang menemuinya.

---

Dua puluh menit yang lalu Dhan harus keluar dari kelas Khanza ketika bel tanda istirahat kedua selesai, berbunyi. Ia putuskan untuk menuju ruang perlengkapan olahraga, biasanya di jam sebelum pulang sekolah ia akan menemukan pelatihnya berada di ruangan tersebut.

Sesampainya di sana, tebakannya benar. Odhi, teman lama ayahnya berada di sana tengah menikmati secangkir kopi panas yang Dhan tebak dibeli di kantin yang berada di belakang ruangan tersebut.

"Terus, kamu sama ayahmu nginep di mana?" tanya Odhi.

Lima menit berlalu setelah mengobrol bersama pelatihnya, pria itu membelikan minuman kaleng untuk Dhan di kantin. Cara membeli di kantin tersebut sangat mudah, Odhi hanya tinggal memesan dari jendela, maka pemilik jajanan akan membawakan pesanan yang dipinta.

Dhan sering melihat kelakuan pria tersebut ketika ia masih berada di sekolah ini. kembali melihat kelakuan pelatihnya, adalah sesuatu yang tidak diperkirakan dalam hidupnya setelah berpisah dengan sekolah ini.

"Di rumah saya yang dulu, Coach," jawab Dhan, kemudian meminum minuman kalengnya.

"Berarti rumah itu nggak dijual?"

Dhan menggeleng. Ia pun sebenarnya kaget ketika Kenan membawanya ke rumah tersebut, yang dipikir selama mereka berada di Semarang, akan menginap di hotel milik pria itu, tetapi kenyataannya tidak. Saat mengetahui hal itu, jujur Dhan bersyukur rumah yang menjadi saksi kehidupannya selama berada di Semarang, tidak sampai jatuh ke tangan orang lain.

"Jadi, udah baikan sama ayahmu?"

"Iyalah, masa marahan mulu," ujarnya santai. "Coach, boleh nggak, saya di sini sampai jam pulang?"

"Boleh, sekalian Coach antar kamu ke rumahmu."

Dhan menggeleng. "Nggak perlu, saya bisa jalan kaki. Mau nostalgia soalnya."

"Oh gitu? Ya udah, deh, Coach duluan ke rumahmu. Mau ketemu Kenan."

"Iya, Coach duluan aja. Mumpung ayah bakalan di rumah sampai sore."

"Emang malam dia mau ke mana?"

"Nyari makan. Kan, nggak ada yang masak di rumah," Jelasnya.

Odhi mengerutkan kening. "Berarti bunda kamu nggak ikut?"

Dhan menggeleng, menciptakan tawa pecah dari pria tersebut. Satu tangan Odhi terulur mengacak rambutnya, hal yang tak terduga.

"Astaga Dhan, jadi akhirnya kamu yang kalah?"

"Kirain mau muji," sungutnya.

---

Like dan komen!

Udah mau tamat aja 🤧

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang