Bagian 19

9.9K 726 7
                                    

---

Setelah dua hari bundanya berada di kota Semarang bersama seseorang yang masih ia benci, Dhan bertemu kembali dengan bundanya di rumah orang tua Viona. Di pagi buta ayah dari tantenya itu meninggal dunia karena penyakit jantung yang sudah lama diidap. Dhan sudah berjam-jam berada di rumah tersebut bersama kakek dan nenek, sedangkan pamannya masih dalam perjalanan menuju Tangerang untuk menjemput tante serta adik sepupunya.

Karena Dhan masih termasuk baru dalam keluarga ini, ia hanya bisa duduk menunggu seseorang yang dikenal datang mendekati. Ia pikir sang bunda adalah orang pertama yang akan mendekatinya, ternyata salah. Ketika ia melihat bundanya masuk ke rumah tersebut, wanita itu langsung mendekati jenazah Kakek Ahmad. Catat, ada Kenan yang mengekor dari belakang. Ketika melihat itu, Dhan mendengkus.

Menyadari kelakuannya, ia beristigfar di dalam hati menghilangkan semua kebencian untuk saat ini. Rumah duka semakin ramai didatangi oleh pelayat, Dhan mengungsikan diri ke teras samping rumah. Sepuluh menit berada di sana, Nevan datang sambil menggendong Nathan, kemudian menitipkan balita tersebut kepadanya.

"Di sini aja sama Kakak." Dhan memangku adik sepupunya. "Kita main game."

Bujukan Dhan tersebut sangat berhasil karena adik sepupunya berhenti meronta ingin ikut sang ayah. Sekitar dua puluh menit menjaga adiknya, ia dibuat terkejut mendengar teriakan seseorang dari dalam rumah. Merasa penasaran, Dhan masukkan ponsel ke dalam saku celana hitamnya, kemudian menggendong Nathan untuk diajak serta masuk ke dalam rumah.

Pandangan langsung tertuju kepada seorang wanita yang biasanya memakai baju terbuka, kini berpakaian sopan. Wanita itu menangis sambil meraung, Nada berada di balik punggung, memeluk untuk menenangkan.

Dhan masih mengenal Viona, meskipun penampilan sekarang berbeda. Ia masih mengingat tatapan penuh kebencian wanita itu, tetapi sekarang yang ada hanya pilu serta racauan kehilangan. Bundanya terus berada di sebelah Viona, masa lalu tak membuat hubungan keduanya renggang.

Serius melihat ratapan wanita itu, tanpa Dhan sadari seseorang menyentuh kepala Nathan yang masih dalam gendongannya. Ketika merasakan adiknya bergerak aktif seperti ingin digendong seseorang, ia menengok ke belakang. Betapa terkejutnya ketika sadar Kenan berada sangat dekat dengannya.

"Ikut, Om?" Kenan mengambil alih Nathan dari gendongan putranya.

Dhan menaikkan alis, untuk seseorang yang baru bertemu kekasih masa lalu, gerak-gerik Kenan sangat jelas terlihat tidak tenang. Apa salahnya ia berpikir ada seseorang yang merasa sangat khawatir sekarang. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan hati?

Membiarkan adiknya dibawa oleh Kenan, Dhan memilih untuk duduk di sebelah sang kakek yang hari ini terlihat sangat terpukul. Ketika mendaratkan bokong di sebelah Kakek Ravi, ia baru sadar ternyata ayah dari Kenan juga berada di sana.

"Kek, apa kabar?" tanyanya.

Pria tua itu menurunkan kacamata, menatap sang cucu yang memberikan senyum lebar. "Masih ingat sama Kakek?"

"Hehe ...." Terdengar sumbang memang, tetapi itu terjadi karena Dhan melakukan kesalahan. "Maaf, Dhan kedatangan tamu dari Semarang."

Seharusnya akhir pekan menjadi harinya bersama kakek dan nenek, orang tua dari Kenan. Namun, pekan kemarin ia absen karena menghabiskan waktu bersama Khanza. Dhan tak tahu apa yang akan dilakukan jika kakeknya ini benar-benar marah.

Mungkin ia tidak akan mendapatkan suntikan dana lagi dari Ferdi. Jangan sampai itu terjadi, Dhan sudah menghabiskan separuh jatah uang jajannya selama satu bulan ini, jika ia tak mendapatkan tambahan dana dari kakeknya, maka sudah pasti akhir bulan Dhan akan melarat di sekolah.

----

Seseorang mengacak pelan rambutnya, membuat ia menoleh untuk melihat seseorang tersebut. Juna tersenyum lebar, ada Bobby yang juga ikut tersenyum kepadanya. Entah sudah berapa lama Dhan tidak melihat kedua sahabat Kenan ini, terakhir kali saat ulang tahun pertama Arnathan yang saat itu Bobby dan Juna datang membawa anak-anak mereka.

"Apa kabar?" tanya Juna ramah.

"Baik, Om." Dhan memberikan seulas senyum.

"Ajak bunda kamu menjauh dari Tante Viona, gih, itu bunda kamu lama-lama kesakitan nahan tante kamu." Juna seperti menyuruh. "Ayah kamu nggak bisa berkutik, takut dicakar sama Viona."

Dhan melihat ke arah bundanya, kemudian kembali menatap Juna. "Nggak, ah, itu bunda lagi sama saudaranya. Kasihan kalau ditinggal."

Pemakaman telah selesai sekitar lima belas menit yang lalu, beberapa pelayat pun telah pulang. Hanya tinggal kerabat dekat serta keluarga yang masih bertahan di pemakaman. Meskipun begitu, Nada masih tetap berada di dekat Viona, memeluk wanita itu yang masih meracau karena kehilangan.

Melihat situasi itu, Dhan tak punya keinginan untuk menjauhkan bundanya dari wanita itu, tetapi jika dilihat lagi fisik sang bunda masih sangat lemah untuk menerima tugas seperti itu.

Ia melangkahkan kaki mendekati bundanya. "Bun, menjauh, yuk. Nanti Bunda sakit," bisiknya pelan.

"Bunda nggak apa-apa Dhan." Nada memberikan seulas senyum.

Seperti menerima sinyal aneh saat mendengarkan nama Dhan disebut, Viona langsung menatapnya dengan mata nyalang. Mendapati tatapan seperti itu, Dhan langsung tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Maka demi menghindari kejadian tak mengenakkan tersebut, ia menarik pelan langkahmenjauhi bundanya.

"Kenapa, Vi?" tanya Nada kepada sepupunya yang kini menatap Dhan tanpa berkedip.

"Anak sialan!" teriak Viona.

Dhan menghela napas pelan. Ah, terulang lagi. Sudah sangat lama ia tidak mendengarkan julukan itu untuknya. Terlambat untuk mencegah, karena semua pasang mata telah menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. Ia kembali menghela napas, entah mengapa rasanya lebih sakit daripada ketika pertama kali mendapatkan predikat tersebut dari seorang Viona. Mungkin karena sekarang didengarkan oleh banyak orang, maka Dhan merasakan malu yang bertubi-tubi.

"Sini kamu! Biar saya cakar-cakar muka kamu!" racau wanita itu lagi.

"Vi, Dhan anak aku!" Nada membalas ketus.

"Nggak apa, Bun," ujarnya, kemudian mengangkat kaki, menjauh dari keramaian itu.

Dhan tidak menggubris orang-orang yang memanggil namanya. Sebagai seseorang yang juga telah menjadi bagian dari keluarga Adinan, ia bersikap mengerti bahwa Viona masih dalam kondisi mental yang belum stabil. Jadi, untuk tidak memicu kekacauan yang lebih hebat, Dhan lebih baik menjauh dan kembali ke area parkir.

Matanya mencari mobil sang kakek, berniat menunggu anggota keluarganya di sana. Kaki terasa lelah diajak berlari dari kenyataan, Dhan berjongkok menyembunyikan wajah yang sedih di balik telapak tangan.

Setelah merasa tenang, ia menengadahkan kepala ke langit dan menghela napas panjang. Ketika menoleh ke kiri, matanya bertemu dengan mata pria yang paling ia benci. Kenan berada di sana, menatap tanpa berkedip. Tidak ada satu pun emosi yang tersirat di wajah pria itu, maka Dhan berpendapat bahwa Kenan sedang bingung untuk bertindak.

"Dhan!"

Panggilan seorang wanita terdengar, Kenan segera menyahut. "Dhan ada di sini, Nad." Ia terlihat lega Nada berada di tempat yang sama dengan mereka.

Detik kemudian Dhan mendengarkan suara langkah kaki yang berlari kecil ke tempatnya berada. Wajah sedih sang bunda membuat semburan hawa dingin menerpa dada. Sudah sangat lama ia tak membuat bundanya sedih, maka untuk hari ini Dhan kembali merasa bersalah. Lalu, jika sudah seperti ini, apakah ia harus memaafkan kenyataan?

"Jangan masukin ke hati, ya," ucap Nada sebagai penghibur.

Terlambat. Jauh sebelum hari ini terjadi, Dhan sudah memasukkan kata-kata tersebut ke dalam hatinya. "Tadi, kan, Dhan udah bilang nggak apa-apa." Jangan paksa ia untuk mengatakan yang sejujurnya, karena saat ini Dhan lebih suka bersembunyi dari pada mengungkapkan.

Hari ini ia putuskan untuk mengalah pada Viona.

---

Rasain tuh Dhan.. kualat sih.

5des18

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang