Bagian 6

12.9K 835 4
                                    

Debarannya masih ada meski sudah beberapa jam berlalu, suaranya masih terngiang meski ia mencoba untuk tertidur, senyumnya, wajahnya, Dhan tak bisa mengelak bahwa ia masih merasakan apa yang dirasakan dua tahun lalu pada perempuan yang saat ini mampu mengambil setengah kewarasannya.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat, selama itu pula Dhan merindukan permaisurinya. Lalu apa daya seorang Dhan yang belum mampu menjemput perempuan itu, kala ia pun belum terlalu tangguh menjadi sandaran.

Tiba-tiba saja ia merasa mual dengan pemikirannya. Memeluk guling, Dhan tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Saat ia memejamkan mata, saat itu pula yakin tak akan bisa tertidur karena Khanza terus berlari di pikirannya. Bisa saja gila jika tak bisa mengontrol pikirannya yang malam ini berubah menjadi tak waras.

"Astaghfirullah," ucapnya sambil membuka mata.

Dhan bangun kemudian mengambil ponsel, menelepon seseorang yang malam ini menjadi jembatan menuju kebahagiaan. Ia tak menyangka Leon bisa membuatnya tak henti mengucapkan terima kasih atas kejutan ini.

"Woi," ucapnya saat gumaman Leon terdengar. "Udah tidur lo?"

"Hhmm ...."

Hanya itu jawaban dari seberang sana. Meskipun begitu Dhan tetap tersenyum bahagia. "Makasih banget, Le. Sumpah malam ini gue seneng banget."

"Kampret lo! Gue ngantuk, goblok!"

Dhan terkekeh kemudian memutuskan secara sepihak sambungan tersebut. Sebenarnya i telah mengucapkan terima kasih tadi sebelum pulang ke rumahnya, tetapi meskipun begitu Dhan akan tetap mengucapkan terima kasih meski ini sudah kesekian kalinya.

"Ceritain ke bunda nggak, ya?" Dhan melirik pintu kamar. "Nggak-nggak, bunda udah tidur," lanjutnya.

Dhan kembali ke rumah hampir menyentuh pukul sebelas malam, dan saat ia sampai, yang masih membuka mata hanyalah kakeknya, pria tua itu sedang menunggunya pulang. Jangan berpikir Dhan akan diomeli, karena yang sering mengomelinya hanyalah sang bunda. Kedua kakek dan neneknya dan bahkan pamannya sekalipun tak pernah mengomelinya.

Sudahkah Dhan katakan bahwa di Jakarta ia seperti pangeran?

Beginilah kehidupannya, di umur yang baru saja menginjak angka enam belas, Dhan masih saja merasa diperlakukan seperti anak kecil. Mungkin ini karena orang-orang dewasa itu merasa bersalah, atau mungkin karena ia belum memiliki KTP.

Abaikan yang terakhir.

Dhan kembali merebahkan tubuh, ia harus tidur karena besok akan menjemput calon permaisurinya menuju istana yang akan membawa keduanya menuju jembatan kebahagiaan. Astaga, sepertinya otaknya harus segera dicuci jika tak ingin kegilaan ini akan berlanjut.

Dhan kembali mengambil ponsel, kali ini ia membuka ruang chat-nya dengan Rian, sahabatnya itu tak memberitahu tentang Khanza yang sekarang berada di Jakarta, pantas saja Rian tak pernah lagi membalas chat-nya.

Rafardhan: aku ketemu Khanza, tega nggak ngasih tau.

Dhan menatap langit-langit kamar, ponselnya ditaruh di sebelahnya, meskipun ia tahu Rian tak akan membalas, tetapi Dhan setia menunggu respon dari sahabatnya itu. Sepertinya malam ini Dhan tidak akan tidur.

Lagi-lagi mengulang kembali kejadian beberapa jam yang lalu di kepalanya. Harus Dhan akui, tinggi Khanza bertambah, telah mencapai telinganya. Lalu pipi perempuan itu berisi, dan Khanza tak tahu seberapa besar keinginannya untuk menyentuh perempuan itu.

Dhan bersyukur ia tak melakukannya, ujung sepatu Khanza menjadi pelariannya. Sangat tidak etis perempuan baik-baik disentuh olehnya. Tunggu saatnya nanti, saat Dhan sudah siap menjadi sandaran. Di umur yang seperti ini, ia tahu adalah umur yang masih main-main, belum ada keseriusan. Lalu, ia bisa apa selain berusaha menjaga hatinya, dan juga memeluk Khanza dari jauh.

------

Makin lama makin pendek ya.

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang