Bagian 16

10K 709 2
                                    

Ketukan jari di atas meja menjadi tanda bahwa seseorang yang duduk di sudut kelas masih bernyawa. Dhan menghela napas berat, tak berniat mengangkat wajah dari atas lipatan tangan. Setelah bel istirahat pertama berbunyi, ia sudah berada dalam posisi tersebut untuk merenung apa yang akan dilakukan untuk meminta maaf kepada gadis yang mengambil setengah isi otaknya.

Tadi pagi Dhan sudah menitipkan gelang tersebut kepada bundanya, dan hanya untuk sekadar informasi, sejak terakhir ia mengirimkan pesan kepada Khanza, perempuan tersebut belum juga membalas pesan darinya dan juga belum mengaktifkan ponsel. Dhan kembali menghela napas berat mengingat nasibnya yang akan selalu digentayangi rasa bersalah. Sungguh ironis nasibnya sekarang.

"Dhan."

Seseorang memanggilnya, Dhan sedikit mengangkat wajah untuk melihat sang pelaku. "Hm ...," sahutnya.

"Lo kenapa, sih, dari tadi pagi kayak nggak semangat?"

Pelaku tersebut adalah seseorang yang duduk di bangku depan Dhan, namanya Hayan, biasa dipeleset menjadi Ayang oleh teman sekelasnya. "Semangat gue hilang, Yan."

"Hilang kenapa?" Menurut penilaian Dhan, Hayan ini salah satu teman yang sangat peduli pada sesama.

"Dia udah pulang."

"Siapa?"

Pada ekor matanya, ia bisa melihat Hayan yang semakin mendekat, memberikan perhatian penuh hanya untuk dirinya. "Ada, teman gue," jawab Dhan apa adanya.

"Serius, teman doang?"

Dhan mengangguk.

"Kalau teman, doang, mana mungkin lo segalau ini," tembak Hayan yang membuat Dhan merasakan seseorang memukul dadanya.

"Teman spesial," akunya. Ya, ia akui Khanza berada dua tingkat di atas teman-temannya yang lain.

"Cewek?" Hayan sengaja memelankan suara saat mengucapkan satu kata tersebut.

"Hm."

"Tumben lo galauin cewek?"

Dhan mendengkus. "Gue udah bilang dia ini spesial."

Lelaki itu menyengir seperti kuda. "Emangnya, tuh, cewek pulang ke mana?"

"Semarang." Dhan menghela napas, mengangkat kepala, melihat suasana kelas yang mulai berdatangan penghuni.

"Oh, cewek yang katanya bareng lo di bioskop?"

Ia membelalakkan mata. "Lo tahu dari mana?" Sungguh, ini akan menjadi masalah jika sampai didengarkan gurunya. Apalagi, ia beralasan sakit di hari itu.

"Aelah, Dhan, dari tadi pagi itu udah jadi hot news di sekolah."

"Hah?"

Dhan mengerutkan kening, sudah berapa lama ia kehilangan fokus sampai-sampai gosip tentangnya tak didengarkan, dan juga siapa yang menyebarkan tentang dirinya yang pergi ke bioskop bersama Khanza?

"Dhan, lo dipanggil Bu Ami."

Ia menoleh ke asal suara, ketua kelas berada di depan kelas memasang wajah khawatir. Tanpa pikir panjang Dhan berdiri bersiap menerima ceramah dari wali kelasnya. Ya, sepertinya hot news yang disampaikan Hayan tadi sudah terdengar di telinga Bu Ami. Lalu, apa salahnya Dhan meyakini bahwa dirinya ketahuan membolos di hari senin hanya untuk menemui Khanza. Dhan berharap semoga tidak sampai menerima surat panggilan untuk orang tua.

----

Perkiraannya salah. Ketika ia sudah berada di hadapan wali kelas, wanita tersebut hanya menanyakan tentang kedua orang tuanya sekaligus meminta nomor yang bisa dihubungi. Saat Dhan bertanya untuk apa, wali kelasnya bilang ingin menyampaikan rencana acara reuni akbar.

Saat itu Dhan bisa bernapas lega, seketika senyum terbit di bibir serta ketegangan di wajah menghilang. Itu berarti Bu Ami belum mendengar tentang hot news yang sudah tersebar. Dalam hati Dhan bersyukur wali kelasnya ini adalah seseorang yang kurang update.

"Serius, Ibu baru tahu, lho, Dhan, kamu anaknya Nada sama Kenan."

Dhan juga baru tahu ternyata Bu Ami ini berada di kelas yang sama dengan bundanya di tahun terakhir SMA. "Ibu, sih, nggak nanya." Ia terkekeh.

"Iya, habisnya yang ambil raport kamu, selalu nenekmu, kalau bukan pamanmu."

Karena Bu Ami tidak mengenal nenek serta pamannya, maka apa salahnya Dhan berpikir bahwa wali kelasnya ini bukanlah teman dekat bundanya. "Iya, Bu, soalnya bunda saya waktu itu lagi sakit."

"Iya, Ibu juga baru tahu tentang itu. Kepala sekolah tadi banyak cerita tentang Kenan dan Nada."

Dhan membulatkan bibirnya. Dalam kepalanya memutar kembali kejadian di mana Viona mengaku sebagai bundanya. Jadi, saat ini apa salahnya Dhan berpikir bahwa Kenan telah membersihkan masalah tersebut. Lagi pula saat itu di sekolah ini selain ia, dan teman-temannya, hanya kepala sekolah yang tahu tentang pengakuan Viona tersebut.

Akan sangat mudah untuk memperbaiki apa yang sebenarnya terjadi. Untuk yang satu ini, Dhan harus akui Kenan bertanggung jawab. Namun, ia tidak akan mengucapkan terima kasih karena itu memang yang seharusnya dilakukan.

"Sebenarnya waktu itu Ibu dengar tentang kabar orang tua kamu menikah, tapi Ibu nggak percaya karena yang Ibu tahu ayah kamu pacaran sama tante kamu, si Viona." Bu Ami menjeda penjelasannya. "Jadinya tadi Ibu kaget pas dengar cerita dari kepala sekolah." Wali kelas Dhan tersebut tertawa kecil tanpa sebab yang Dhan tak ketahui. "Ibu jadi penasaran, gimana bisa kamu sepintar ini? Sedangkan waktu SMA ayah kamu badung banget."

Dhan terkekeh sumbang. Jika wali kelasnya ini benar-benar bertanya tentang hal tersebut, maka akan sangat panjang ceritanya. Jam istirahat tidak akan cukup untuk menceritakan kisah hidupnya yang ironis bagai Cinderella mencari kebahagiaan. "Ya ... saya, kan, paling dekat sama bunda saya, Bu."

Ibu Ami tertawa lagi, kali ini naik satu oktaf dari tawanya yang tadi. "Rasain, tuh, Ken." Ia tertawa lagi. "Jadi, tante kamu sekarang di mana?"

Pertanyaan yang tak bisa Dhan jawab, alhasil ia hanya menyunggingkan deretan gigi putih sembari menggeleng pertanda bahwa ia tak tahu, karena pertemuan terakhirnya bersama Viona adalah saat di parkiran rumah sakit dua tahun yang lalu. "Udah nggak pernah kelihatan, Bu."

Bu Ami memasang wajah yang entah mengapa terlihat sendu di mata Dhan. "Dulu Ibu lebih dekat sama tante kamu daripada bunda kamu. Zaman dulu bisa dikatakan kita buat geng-gengan. Ibu dulu sering nongkrong sama tante kamu, pulangnya kalau Kenan mau jemput Viona, kalau nggak mau biasanya Viona ngancam. Zaman dulu, tuh, di sekolah mobil ayah kamu yang paling bagus." Bu Ami tertawa kecil. "Kok, jadi cerita, ya."

"Nggak apa, Bu, saya siap menjadi pendengar." Entah mengapa Dhan cukup tertarik pada cerita yang diluncurkan Bu Ami.

"Nggak-nggak, kamu pasti cari alasan buat nggak masuk kelas. Balik ke kelas Dhan, jangan jadi kayak ayah kamu."

"Hehehe ...." Diberi peringatan seperti itu, Dhan hanya menyengir sembari berdiri. "Iya, Bu. Saya ke kelas dulu, permisi."

"Iya."

Bu Ami tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga Dhan, maka untuk menyembunyikan hal tersebut ia ikuti saja alur kisahnya tanpa membocorkan bahwa sebenarnya sebelum bahagia menyapa sang bunda, ada penolakan yang meluluhlantakkan hidupnya. Ah, itu sudah sangat lama berlalu, sekarang bundanya lebih banyak tersenyum. Jadi, apakah sudah seharusnya Dhan memaafkan?

----

Rajinnyaaaaa

7nov18

Belum juga tamat, udah ada yg beli bonus babnya di Karyakarsa 😁😁

Makasih ya, kakak-kakak 🥰🥰

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang