Bagian 17

9.8K 675 8
                                    

"Lo di mana?" Dhan menatap layar ponselnya, sembari berbicara kepada seseorang yang berada di layar.

"Di kantin, kenapa kamu VC aku?"

"Kangen." Ia terkekeh melihat ekspresi Rian.

Di waktu istirahat kedua ini Dhan memutuskan untuk menghubungi Rian dengan niat untuk bisa mendengarkan kabar dari Khanza. Agar lebih merasa puas, ia menggunakan via video call untuk mendapatkan kabar yang lebih real.

"Della mana?" Pertanyaan Dhan hanya untuk sekadar menggoda temannya.

"Ada, nih."

Detik kemudian ia melihat layar ponselnya menampilkan Della sedang melambaikan tangan. "Ciee ... PJ, woi."

"Jomblo diam, aah," sindir Rian.

Dhan mendecak. "Khanza mana, An? Dia udah masuk sekolah?"

Temannya itu mengangguk. "Dia di kelas. Tak panggil, nih?"

Dalam hati, ia berucap syukur, setidaknya perempuan itu masih ingat dengan kewajiban untuk sekolah. "Nanti aja kalau lo udah balik ke kelas. Dia baik-baik aja, 'kan?"

"Yaa ... seperti biasanya. Kamu tahu, kan, si Khanza diam terus."

"Bawa HP nggak dia?"

"Lah? Manaku tahu. Del, Khanza bawa HP, nggak?"

"Kalau bawa, bilangin aktifin, gue mau nelepon."

"Iya iya, nanti Tak bilangin."

"Oke, jangan lupa ya, tak." Kemudian Dhan menyemburkan tawanya. "Bercanda, jangan diambil hati."

"Matiin, nih."

"Ya udah, matiin aja, gue juga udah selesai ngomong."

"Yee ... kalau ada maunya aja hubungin aku."

Detik kemudian wajah Rian menghilang di balik layar. Dhan terkekeh. "Setidaknya dia lagi di sekolah," gumamnya, helaan napas setengah lega ia hembuskan.

Dhan bersandar di sandaran bangku, tangan memutar ponsel, matanya memandangi keadaan kelas yang hanya dihuni beberapa murid karena yang lainnya sedang menikmati istirahat kedua. Matanya menangkap sosok yang memanggil kecil ke arahnya di depan pintu kelas.

Nadila, sepertinya perempuan itu punya hal penting yang ingin disampaikan kepadanya. Tak ingin menggubris Nadila, Dhan bergeming di tempat. Setelah itu yang bisa ia lihat, perempuan tersebut mengalah, dan memilih untuk mendekatinya.

"Ada kaki juga ternyata," sindir Dhan.

Nadila mendengkus. Ia menarik satu kursi, kemudian duduk. "Beneran Khanza udah balik ke Semarang?"

"Iye." Dengan sedikit sewot Dhan menjawabnya.

"Pantesan lo kelihatan galau," ledek Nadila.

"Biasa aja, sih, gue."

Nadila mendecak. "Padahal gue mau promosiin baju couple buat lo berdua." Ia terlihat kecewa telah gagal menggait calon pembeli. "Eh, tapi kalau lo ma—"

"Kagak," potong Dhan, sebelum Nadila mulai dengan kata-kata maut menarik hati pelanggan. "Jangan ngomong ke gue dulu, anggap aja gue lagi hibernasi nggak bisa diajak ngomong."

Perempuan itu mendecak lagi, kali ini sampai tiga kali. "Gue nggak nyangka, efek ditinggalin Khanza separah ini." Ia bersedekap memeluk dada. "Lo mau gue kasih nasihat cinta—"

"Nggak," potong Dhan lagi. "La, gue lagi mau sendirian."

Nadila berekspresi cemberut yang ia buat-buat. "Lo sama Kak Andra lagi lomba siapa yang paling galau ditinggal Khanza?"

Dhan mengerutkan kening. "Maksud lo?"

Perempuan itu mengulurkan tangan kepada Dhan sembari menaik-turunkan alis dan tersenyum licik. "Lima puluh ribu untuk informasi ini."

Ia memutar bola mata. "Ceritain dulu, kalau bermutu gue bayar." Nadila hendak memprotes, tetapi Dhan mencegah dengan telapak tangan. "Kalau bermutu, gue bayar seratus ribu," tambahnya.

Mata hijau Nadila langsung menyala. "Jadi gini, semalam gue sama Leon ke rumah Bang Dito, terus ketemu Kak Andra di sana. Nah, gue lihat mukanya Kak Andra ditekuk mulu bahkan dia kayak nggak konsen sama tugasnya."

Rumah Leon dan Dito memang bersebelahan, untuk mendapatkan informasi Andra mungkin di sana tempat yang paling detail, karena mantan kakak kelasnya tersebut, sangat sering berada di rumah Dito.

"Kurang lebih kelakuannya sama kayak lo gini," imbuh Nadila demi untuk meyakinkan Dhan.

"Lo nanya nggak, dia kenapa?"

Perempuan itu menggeleng. "Ya kali, bisa-bisa disemprot gue sama dia."

Dhan mendengkus. "Informasi lo terlalu ambigu. Bisa jadi Kak Andra galau karena gebetannya."

"Bilang aja lo nggak mau bayar gue."

"Itu lo tahu."

"Ya ampun Dhan, lo kaya, jangan terlalu pelit."

"Eh, yang kaya itu kakek gue."

"Ya, kan, bakalan nurun ke elo, secara lo cucu satu-satunya."

Ia menghela napas kasar. "Lo lagi ngomongin kakek yang mana?"

"Belum baikan juga, nih, anak. Nyebut Dhan. Orang tua itu dihormati, bukan dimusuhi. Lo dari kecil udah diajarin agama—"

"Tahu dari mana gue diajarin agama sejak kecil?"

Nadila berdecak. "Ya kali, anak dari kecil diajarin maksiat."

Ia mendengkus lagi. "Nggak usah sok tahu, ang ada dari kecil gue diajarin berbohong."

Untuk seorang Nadila yang tinggal bersama Leon, pasti tahu apa yang terjadi pada keluarga Dhan. Namun, untuk masalah internal, perempuan itu tidak pernah menyebarluaskan hal tersebut kepada pemburu informasi.

"Hidup itu melangkah Dhan, kalau lo nengok ke belakang mulu, bisa-bisa leher lo patah." Nadila mengakhiri ucapannya dengan mencolek dagu Dhan kemudian secepat kilat ia meninggalkan sepupu angkatnya itu. "Bye bye, Dhan. Jangan sampai dendam menjauhkan orang yang lo sayang," tambahnya ketika ia sudah berada di depan pintu kelas.

"Sok bijak lo." Dhan berekspresi kesal karena telah digurui oleh seorang Nadila.

Ponselnya bergetar, satu notifikasi masuk. Ia meraih gawai dan membuka pesan dari seseorang yang baru saja ditemui.

Nadila: Di buku manapun, lo nggak bakalan nemu arti kebahagiaan. Karena bahagia itu kita sendiri yang ciptakan.

"Sok iye lo," Dengkus Dhan.

Rafardhan: Kebahagiaan: kesenangan dan ketentraman hidup (lahir dan batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin (source: KBBI).

Setelah membalas pesan Nadila, panggilan masuk dari perempuan tersebut membuatnya menaruh ponsel di dalam tas tanpa berniat mengangkat. Bukan apa-apa, Dhan sudah memprediksi ujung-ujungnya ia akan bertengkar dengan Nadila. Jadi, biarkan saja ponselnya bergetar meskipun menggelitik tangan yang sedang menopang di atas meja.

"Dhan! Dhan!" Perempuan itu kembali muncul di kelasnya sembari berlari, meneriakkan namanya, dengan wajah tegang dan napas ngos-ngosan. "Leon berantem!" teriaknya membuat semua pasang mata tertuju padanya.

Ah, sepertinya Dhan harus melupakan kegalauannya jika tak ingin hal yang lebih parah terjadi. "Di mana? Sama siapa?" Ia langsung berdiri dan mengikuti Nadila yang lebih dulu melangkah meninggalkan kelas.

"Di kelasnya, sama Abu," ujar Nadila sembari berlari menghindari murid-murid yang mulai kembali ke kelas masing-masing.

Di hari ini Dhan mengerti, tak ada seorang pun yang akan membiarkannya bergalau-ria. Baik disengaja, maupun tidak disengaja. Saat bertemu Leon nanti, izinkan ia untuk memukul kepala sepupunya itu, sebagai hukuman karena mengganggu waktu luangnya yang sudah sangat diidamkan selepas ditinggalkan Nadila. Dhan akan membuat Leon merasakan sebercanda apa dunia ini.

---

Hari bersama Nadila yang sok bijak.

14nov18

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang