Bagian 21

11.3K 759 4
                                    


---

Suara gemericik daun diterpa angin terdengar jelas mengisi keheningan, gorden pun bergoyang memperlihatkan taman indah penuh bunga. Dhan merasakan kulitnya ikut terelus oleh hembusan lembut angin di petang ini. Suasana hening di teras rumah keluarga Mahadri menjadikannya berinisiatif untuk memecahkan keheningan tersebut.

Seharusnya ia diam saja di tempat selepas neneknya pergi meninggalkan Kenan, tetapi kaki dan juga hati bersekongkol untuk menampakkan diri di teras tersebut. Dhan tak tega, menurutnya Shinta berlebihan meskipun semua itu dilakukan demi dirinya, tetapi ia tak tega melihat anak yang sedang bersama Kenan.

Tangannya meraih sendok yang berada di lantai, kemudian mendekati Aji yang katanya adik angkatnya. Aji memiliki pipi gempil, tubuhnya pun cukup berisi, balita itu memakai kaus putih bergambar karakter animasi favorit anak-anak zaman sekarang, rambutnya hitam legam dan sepertinya dibiarkan memanjang.

Dhan perhatikan saat neneknya mengomel, Aji hanya diam seolah-olah mengerti posisi. Itu mengapa hatinya tergerak untuk mendekat, serta pipi Aji seperti memanggilnya untuk mencubit.

"Hai." Dhan tersenyum ramah. "Mau makan lagi? Kakak ambilin," tawarnya yang sepertinya dimengerti oleh anak itu.

Aji menggeleng. Pertama kali melihat balita itu, Dhan langsung tertarik ingin mendekat. Detik kemudian rasa iba itu berganti dengan keinginan untuk membuat Aji tak perlu tahu sekeras apa dunia ini.

Dhan hendak mengatakan sesuatu, tetapi suara Kenan terdengar begitu jelas di dekatnya. Ini mengganggu. Ia tersadar sedang berada di tempat yang sama dengan pria itu.

"Pakai sepatu, Nak. Kita pulang sekarang." Suara Kenan menginterupsi tanpa mempedulikan Dhan yang masih ingin berbicara dengan Aji.

Anak itu diam di tempat, masih menatap Dhan dengan mata bulatnya. "Aji mau nambah," ucapnya kepada Dhan, membuat lelaki di hadapannya  tersenyum lebar.

Dhan mengacak rambut Aji, kemudian segera berdiri. "Kakak ambilin dulu, ya."

"Aji, kita harus pulang, Nak."

"Nggak mau, Aji mau makan sama abang." Anak kecil itu mendekati Dhan kemudian menggenggam tangannya dengan sangat erat.

"Abang?" Ia mengangkat sebelah alis. Dalam kepalanya mengulang ucapan beberapa menit lalu, bahwa Dhan menyebutkan diri sebagai kakak, dan bukan abang. Lantas, mengapa ketika diucapkan oleh Aji, sebutan kakak malah menjadi abang?

"Dia juga punya abang, tapi sudah meninggal," ujar Kenan seakan-akan mengerti maksud dari kebingungan Dhan.

Ia membulatkan bibir, menggumamkan kata "Oh." Dhan berusaha bersikap biasa saja ketika Kenan berbicara kepadanya. "Kalau gitu, kita ambil makanan bareng, ya." Untuk mengalihkan kecanggungan, ia mengajak Aji ikut serta dengannya.

"Jangan." Kenan langsung melarang ketika Dhan serta Aji hendak melangkah masuk ke dalam rumah. "Nanti nenekmu—"

"Nenek nggak bakalan marah kalau aku yang ambilin," potongnya cepat, kemudian kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti.

----

Kenan hanya bisa pasrah, melihat kedua punggung itu menjauh masuk ke bagian ruang dapur. Ia kembali duduk di kursi teras, sudah sangat lama tak berbicara dengan putranya, kehadiran Aji membuat Kenan tersenyum haru karena bisa kembali mendengarkan suara itu dalam jarak yang sangat dekat. Ia menghela napas, terpaan angin menggelitik kulit.

Kenan berdiri kemudian menuju paviliun mencari seseorang yang bisa dimintai tolong untuk membersihkan makanan yang berserakan di lantai. Ia menemukan seorang wanita paruh baya yang sedang menonton acara televisi, seseorang yang baru Kenan temui. Nampaknya rumah ini mempekerjakan asisten rumah tangga baru.

"Bu ...." panggilnya pelan sembari mengetuk pintu.

"Iya." Wanita itu menoleh, ketika melihat siapa yang memanggilnya, ia langsung berdiri. "Iya, Tuan?"

"Bu, saya minta tolong bersihin teras belakang."

Wanita itu tersenyum kaku, mungkin kaget karena kedapatan sedang bersantai. "Iya, Tuan, saya ambil alat-alatnya dulu," ujarnya dan langsung menyambar alat pembersih.

Kenan kembali masuk ke dalam rumah untuk memeriksa keadaan Aji dan juga Dhan, saat kakinya menginjak ubin, ia mendengarkan Aji tertawa yang disusul oleh suara tawa Dhan. Kenan bersembunyi di pilar, sebelum kedua anak itu menyadari kehadirannya.

"Nah, coba tebak." Dhan mengulurkan kedua kepalan tangan kepada Aji.

"Kiri," tebak Aji girang. "Pasti benar."

"Pede." Dhan mengejek, ia membuka kepalan tangan secara perlahan. "Tuh, kan, kanan," ucapnya ketika melihat uang koin yang berada di salah satu telapak tangannya.

"Itu kiri," bantah anak kecil itu.

"Kanan."

"Kiri, Abang!"

"Aji, sejak kapan kamu makan pakai tangan kiri? Kecuali kalau kamu kidal."

"Tapi itu kiri." Aji tak mau kalah.

"Dek, tangan kanan itu yang buat makan, tangan kiri itu yang buat nyebok," jelas Dhan sembari menggerakkan tangannya.

"Gitu, ya." Aji mengangguk mengerti. "Jadi, kalau tangan Aji namanya apa?" tanyanya kepada Dhan.

"Nama?" Jelas saja, lelaki itu langsung mengerutkan kening.

"Itu tangan Abang punya nama kanan dan kiri, Aji juga harus punya nama dong buat tangan Aji."

Dhan menepuk jidat. Dalam hati ia menyesal dari awal tidak menjelaskan apa itu kanan dan kiri. Dhan hendak ingin menjelaskan, tetapi tawa seseorang dari balik pilar membuatnya lebih memilih untuk melihat siapa yang tertawa di sana tanpa ingin keluar dari tempat persembunyian.

"Maaf, maaf." Kenan menampakkan sosoknya dari balik pilar. "Ayah ganggu, ya?" tanyanya kepada Aji.

Bocah kecil itu menunjukkan deretan giginya. "Ayah main bareng, ayo," ajaknya.

"Aji bareng abang dulu, ya, Ayah mau ngecek bunda di kamar." Kenan menolak secara halus, Aji memberikan anggukan persetujuan. "Baik-baik sama abang, jangan nakal."

Anak itu berdiri kemudian memberikan hormat. "Siap Kapten," ujarnya tegas.

Kenan terkekeh, kemudian beralih kepada putra kandungnya. "Dhan, Om titip Aji sebentar, ya." Putranya itu hanya membalas dengan anggukan samar.

Ketika Kenan berlalu, ketika itu pula Dhan menatap tak suka kepada Aji. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa kesal melihat anak laki-laki yang sedari tadi tertawa bersamanya itu, hanya karena Kenan memilih sebutan ayah untuk Aji, sedangkan untuknya adalah om. Sangat simpel diartikan mengapa ia langsung kesal hanya karena perbedaan tersebut, mau mengelak pun Dhan tahu hal itu terjadi karena tak suka tempatnya digantikan oleh siapa pun.

Dhan menghela napas, ia buang jauh-jauh perasaan tersebut. Berurusan kembali dengan Kenan adalah pilihannya karena merasa kasihan kepada Aji. Hanya sebatas itu.  Ia tidak pernah berencana untuk merasa iri, maka tidak ada salahnya menutup mata dan telinga.

Lagi pula untuk mendapatkan informasi tentang keluarga Khanza, Dhan harus punya pembuka jalan. Ah, jangan salahkan dirinya jika tiba-tiba menjadikan rasa kasihan kepada Aji sebagai pintu untuk bertanya, karena Dhan pun baru sadar membutuhkan informasi dari Kenan.

----

VOTE

Ngomong-ngomong guys, di cerita Dear You, di situ Dhan udah nikah, ya. Wkwkwkwk 🤣

Tunggu aja, nanti aku update di sini.

Kalo gak tahan nunggu, hubungi no 082348742307 untuk baca e-book nyaaaaa

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang