Bagian 29

10.9K 672 11
                                    

Besok ketemu epilog.

----

"Abi, sih, bikin umi marah." Khanza memutar pasta dengan garpu, yang menjadi santapan makan malamnya.

"Iya, Abi minta maaf. Lagian Umi juga salah, masak uang jajan kakak dikurangin cuma karena musibah itu."

Khanza tak membalas ucapan abinya. Kedatangannya di restoran ini untuk mengisi perut, karena uminya tidak ingin memasak makan malam, sedangkan asisten rumah tangga diancam untuk tidak memasak. Semua itu terjadi karena pertengkaran kecil antara kedua orang dewasa itu.

Alfiah mengurangi uang jajan Andra tanpa memberitahu Hermawan. Bagi Khanza, wajar saja abinya marah.

"Kan, kasihan kakak kamu, udah tinggal jauh dari kita, terus kekurangan uang jajan lagi," jelas Hermawan sembari membaca isi map yang ada di tangannya.

"Itu apaan, Bi?" tanya Khanza menunjuk map menggunakan garpu.

"Berkas."

Ia mengangguk mengerti, yang bisa ditebak, itu adalah tentang pekerjaan. Abinya juga tadi mengatakan akan bertemu klien di restoran ini, tetapi bukan di tempat umum, melainkan private room. Khanza terpaksa menunggu abinya sampai selesai pertemuan, karena sudah malam, ia takut untuk pulang sendirian ke rumah. Lagi pula, ia yang memaksa untuk ikut bersama pria itu, karena rasa lapar yang menggerogoti perut, sedangkan uminya melarang siapa pun untuk masuk ke dapur.

"Pak Hermawan." Seseorang memanggil nama pria yang duduk di hadapan Khanza, ia pun ikut menoleh.

"Ah, Pak Kenan." Hermawan berdiri kemudian menjabat tangan pria yang menyapanya tadi.

"Za, kamu, kok, di sini?"

Khanza yang tadi ingin berdiri untuk menyalami Kenan, terduduk kembali karena terkejut dengan kehadiran lelaki yang tadi ia temui di sekolah. "Dhan."

"Ah, iya, Pak. Ini anak saya, namanya Dhan." Kenan meminta Dhan mendekat dan bersalaman dengan Hermawan.

"Dhan, Om," ujar Dhan sembari bersalaman.

"Hermawan, abinya Khanza," balas Hermawan.

"Heh?" Dhan terdiam dua detik, kemudian menoleh kepada Khanza.

"Om sudah sering dengar tentang kamu, jangan sekaku itu." Hermawan menepuk-nepuk bahu lelaki itu.

Dari tempat Khanza berdiri, ia bisa membaca maksud dari senyuman yang Dhan berikan kepada abinya. Lelaki itu seakan berkata, "Semoga apa yang abinya dengar, bukan sesuatu hal yang buruk."

Jujur saja, ia pun tidak tahu apa yang abinya ketahui tentang Dhan. Jadi, jika Dhan bertanya kepadanya, akan ia jawab seadanya. Mungkin ayah dari lelaki itu yang banyak bercerita kepada abinya.

"Mau langsung masuk sekarang, Pak? Soalnya sebentar lagi klien akan tiba di sini."

"Oh, Iya." Kenan menyetujui, ia menoleh kepada putranya. "Dhan, tunggu Ayah di sini. Ayah meeting dulu di dalam. Pesan makanan saja, Ayah nggak bakalan lama."

"Oke."

Sebelum Kenan beranjak, ia menepuk bahu Dhan dua kali. "Jangan gangguin Khanza, abinya galak," bisiknya yang bisa didengar oleh ketiga orang berada di dekatnya.

"Siapa yang mau gangguin."

Sebelum Hermawan dan Kenan berlalu, kedua pria itu terkekeh mendengar ucapan Dhan. Khanza kembali duduk, hendak melanjutkan makannya, tetapi kemudian ia sadar bahwa orang yang baru datang belum memesan makanan.

"Aku panggilin pelayan?" tawar Khanza berbaik hati kepada lelaki itu meskipun tadi sore sudah bersikap jahil padanya.

"Nggak perlu. Tuh, udah datang." Dhan menerima buku menu yang diberikan pelayan, tanpa pikir panjang ia memesan apa yang ia mau. "Kamu mau nambah, Za?"

Khanza menggeleng. Ia berniat akan melanjutkan makannya nanti ketika makan malam Dhan sudah tersedia di atas meja. Namun, jika menunggu, mungkin cacing di perutnya akan kembali merontak karena masih separuh yang sudah diberi makan.

"Udah, makan aja lagi, Za," ujar Dhan mempersilakan.

Sebelum Khanza kembali makan, ia memicingkan mata menatap Dhan. Lelaki itu menyuruhnya makan seolah tahu isi kepalanya. "Jadi nggak nafsu." Sebenarnya itu hanya kiasan, untuk menyembunyikan niat menunggu makanan Dhan datang.

"Kenapa? Karena lihat wajahku?"

Khanza panik ketika mendengarkan pertanyaan itu. Ia memutar otak untuk menjawab dan juga untuk mengalihkan pertanyaan itu. "Bukan." Ia menggeleng. "Aku cuma mau ...."

"Mau?"

"Ah." Ia tersenyum cerah ketika mendapatkan jawaban yang logis. "Aku nggak nafsu makan karena kaget kamu datang sama ayahmu."

Ya, seharusnya tadi Khanza terkejut dengan kedatangan Dhan bersama Kenan. Sesuatu yang belum pernah dilihat, ayah dan anak itu nampak akrab ketika bersama. Ia pun bingung, kenapa baru menyadari bahwa itu adalah hal yang harusnya membuat terkejut. Ia berasumsi mungkin karena terlalu sering membayangkan hal itu terjadi, maka Khanza tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan.

"Oh, itu." Dhan tersenyum sebelum berujar. "Ayah bilang mau ke Semarang ngurusin pekerjaan, jadi aku ikut soalnya mau ketemu kamu."

"Tunggu." Khanza menatap Dhan dengan sangat seksama. "Ayah?"

Dhan mengangguk kemudian tersenyum menyadari perempuan di hadapannya ini sedang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. "Aku udah baikan sama ayah."

Khanza menutup mulutnya yang setengah terbuka dengan kedua tangannya karena terkejut dengan apa yang diucapkan lelaki itu. "Alhamdulillah, kamu nggak jadi anak durhaka, Dhan," ujarnya bersyukur.

"Nggak segitunya kali, ngatain aku durhaka," sungut Dhan, yang sebenarnya ia bercanda.

"Iyalah, ngelawan orang tua itu namanya durhaka." Sebenarnya tadi Khanza sudah merasa haru dengan kabar tersebut, tetapi tanggapan lelaki itu untuk ucapannya tadi, membuat rasa haru menghilang.

"Kalau aku durhaka, sekarang aku udah di sungai, dong."

"Maksudnya?"

"Batu, Za, batu." Dhan sedikit sewot karena Khanza tidak mengerti candaannya.

"Oh." Dengan polosnya ia hanya memberikan tanggapan seadanya. "Bunda kamu udah tahu?" tanyanya memastikan.

Dhan mengangguk. "Kalau nggak tahu, aku nggak bakalan diizinin ikut ayah ke sini."

Khanza tersenyum. "Jadi? Kenapa kamu ngalah?"

"Bukan ngalah, aku cuma lagi berbaik hati."

Ia berekspresi mengejek Dhan. "Pasti nangis, ya? Waktu minta maaf," ledeknya.

"Nggak segitunya juga kali." Lelaki itu  tertawa menyembunyikan rasa malu, ketika satu pertanyaan muncul di kepala, ketika itu pula ia menghentikan tawanya. "Za, aku penasaran. Kamu bisa masak, nggak?"

Khanza yang ditanya seperti itu, diam beberapa detik kemudian menjawab. "Bisa. Kalau hanya goreng ikan, goreng daging ayam, goreng tempe dan tahu, bikin nasi goreng, goreng pisang, goreng apa lagi, ya?"

Mendesah tawa kecil, Dhan menyimpulkan. "Intinya kamu cuma tahu bikin makanan rumah?"

"Nggak juga. Kalau kamu tantang aku masak sayur asem, gudeg, pecal, pokoknya yang membutuhkan banyak rempah, aku nyerah."

"Ya udah, makan ikan, tahu dan tempe goreng tiap hari aku sanggup kok," celetuk lelaki itu.

"Apaan, sih."

"Ya ... kali aja kamu mau masakin buat aku."

"Entar kamu sakit perut."

"Minum obat."

"Udah, ah, jadi ngelantur."

Dhan tersenyum. "Dari pada bosan nunggu pesanan."

---

Vote kawan!

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang