Pintu kamar ditutup rapat, lampu ia nyalakan, sesegera mungkin menuju ranjang, merebahkan tubuh di atas kasur. Di tangannya benda elektronik berbentuk persegi panjang ia aktifkan. Beberapa detik berlalu, Khanza menghela napas lega ketika ponsel itu aktif dan tidak menerima pesan masuk lagi dari siapapun karena kartu perdananya telah ia ganti, serta aplikasi yang berhubungan dengan sosial media telah dihapus dari ponselnya, yang tersisa tinggal isi galeri, serta nomor kontak keluarga dan kerabatnya.
Khanza berniat untuk tidak menggunakan sosial media sementara waktu dan juga nomor barunya hanya ia beritahukan kepada orang terdekat. Seperti sekarang, yang tahu nomor ponsel itu hanyalah orang tuanya, Andra, Rian dan Della, serta ketua kelasnya. Untuk Dhan, ia akan menghubunginya sekarang, karena salah satu alasan Khanza mengganti SIM card-nya adalah untuk bertukar kabar dengan lelaki itu.
Tidak perlu menunggu waktu lama, suara Dhan langsung terdengar di ujung sambungan. Dari caranya mengucapkan salam, Khanza tahu Dhan sedang dalam keadaan baik-baik saja. Oleh karena itu ia memutuskan untuk sedikit bersikap jahil kepada lelaki itu.
"Halo, bisa bicara dengan Bapak Rafardhan?" Khanza menahan tawanya ketika Dhan membalas candaan itu dengan suara serius.
"Iya, saya sendiri."
"Selamat, Pak, Bapak mendapatkan satu telepon penting yang hanya sekali dalam seminggu."
"Hah? Maksud Mbak apa?"
"Pikir aja sendiri," ucapnya, kemudian terkikik.
"Za?"
Khanza tertawa lepas. "Yah, ketahuan deh."
"Apaan, sih? Nggak jelas." Dhan ikut tertawa. "Kok, nomornya beda?"
"Aku ganti nomor."
"Oh." Ada jeda, terdengar suara kursi ditarik. "Jadi, sekarang kamu pakai nomor ini?"
"Iya. Nanti kalau keadaan udah normal aku pakai yang lama." Khanza melepaskan peniti hijabnya.
"Ada yang mau aku tanyain." Suara Dhan terdengar serius.
"Apa?"
"Tapi jangan marah. Seharusnya, sih, aku yang berhak marah sama kamu karena kamu udah nyembunyiin masalah ini dari aku."
Khanza berjengit mendengarkan kata-kata Dhan yang sepertinya sangat menyeramkan. "Kok, aku jadi takut, ya?"
"Karena kamu salah nggak ngasih tahu aku dari awal."
"Serry, Jenderal," candanya, hanya untuk mencairkan keseriusan Dhan. "Jadi, apa yang aku sembunyiin dari kamu?"
Di ujung sambungan, Dhan menghela napas. "Soal abi kamu," jawabnya serius.
Khanza terdiam.
"Za, apa yang sebenarnya terjadi?"
Ia tetap diam.
"Kamu baik-baik aja, 'kan?"
"Iya, aku baik-baik aja," ujar Khanza, kemudian ia menghela napas, dari awal ia sudah menebak, cepat atau lambat Dhan pasti akan mengetahui masalah ini. "Kamu tahu dari mana?" tanyanya serius.
"Nggak perlu tanya aku tahu dari mana, sekarang aku mau tanya, ayahku bantuin abi kamu nggak?"
Khanza mengerutkan alis, bukan karena pertanyaan lelaki itu yang membuatnya heran, tetapi karena Dhan dengan enteng menyebut Kenan sebagai ayahnya. Mau tak mau ia tersenyum, kalau masalah yang dialami abinya bisa membuat lelaki itu berbaikan dengan Kenan, maka Khanza tak akan ragu memberitahukan kepada Dhan apa yang sebenarnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different #2 (END) ✓
Ficção AdolescenteTAHAP REVISI #2 di Ayah (26 Maret 2019) #1 di Khanza (26 Maret 2019) #30 di Seru (27 Maret 2019) (Sequel: Directions of Love) "Itu masalah aku, Za. Kamu nggak perlu ikut campur!" Dhan membentaknya, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. "Gitu?" Kha...