Bagian 22

12.4K 717 18
                                    

---

"Kenapa nggak ada yang nyangkut, ya?" Afif memandang frustasi ke sekeliling. Ia menghela napas, kemudian menoleh kepada kedua temannya. Hanya Hayan yang berekspresi sama dengannya. "Spesias cewek jomblo udah langka, ya?"

Hayan menghela napas. "Mungkin ada, tapi tinggal sisa."

"Udahlah, jodoh itu di tangan Tuhan." Dhan menepuk bahu Hayan, memberikan kekuatan dalam tepukan itu.

"Kalau itu gue juga tahu." Lelaki itu menepis pelan tangan Dhan yang masih berada di bahunya. "Tapi Dhan, yang namanya cowok itu mencari, sedangkan cewek menunggu. Kalau kita para cowok pasrah saja, nggak bakalan ketemu sama yang namanya jodoh."

"Masih ada yang maha kuasa yang akan mempersatukan," balas Dhan kalem.

"Ah, lo mah. Pakek acara ceramah segala." Hayan mengalah. Ia tak ingin membantah, karena sudah pasti temannya itu yang akan menang.

"Lo mah enak, jomblo tapi ada yang suka." Tiba-tiba Afif merasa iri pada temannya itu. "Cuma lo doang yang bego, pada nolak mereka semua."

Hari Minggu kali ini diisi dengan kegiatan jalan-jalan bersama kedua temannya. Leon tak ikut karena sedang kencan bersama sang kekasih. Status jomlo yang dipegang oleh Dhan, membuatnya harus terima berjalan tanpa pasangan bersama Hayan dan Afif.

Ancol ramai, lebih ramai dari pasar malam. Kedua temannya memilih tempat ini untuk mencari gebetan, sedangkan Dhan hanya ikut arus. Menurutnya masa bodoh dengan semua itu, pikiran ini masih melayang ke Semarang. Sampai sekarang Khanza belum bisa dihubungi, membuatnya semakin penasaran.

"Udahlah nggak usah sok drama, mending kita naik kora-kora," sarannya.

"Dhan, itu ide lo atau ide hati kecil lo?" tanya Hayan yang hanya Dhan jawab dengan menaikkan bahu sekilas.

Selama dua jam lamanya mereka bertiga mengelilingi dunia fantasi tersebut, tetapi di Minggu pagi ini belum juga menemukan perempuan yang ingin berkenalan. Jangankan berkenalan, mendapatkan tanda-tanda mengagumi saja, tidak. Mereka sedari tadi berpapasan dengan perempuan yang sudah memiliki pasangan, atau berkeluarga, atau mungkin masih jomlo, tetapi sudah dalam masa pendekatan. Hari ini Hayan dan Afif sangat kesal pada keadaan yang belum berbalik kepada mereka.

"Yang jomblo, yang jomblo, kalau cocok langsung gue nikahin," gumam Afif dengan suara pelan, yang hanya bisa didengarkan oleh kedua temannya. "Andai gue udah nikah, pasti hidup gue sebahagia keluarga itu." Ia menunjuk memakai ujung dagu kepada keluarga kecil yang sedang tertawa riang. "Eh, tapi Dhan?"

Dhan yang memainkan ponsel hanya menyahut dengan gumaman. Sekarang, ia sedang mengirimkan pesan penting kepada seseorang. Jadi, untuk beberapa menit ke depan tidak akan menggubris teman-temannya.

"Itu bunda lo bukan?" Afif menajamkan pandangan.

"Iya, Dhan." Hayan ikut melihat ke arah pandang Afif. "Lo punya adik?" Ia menoleh kepada lelaki yang masih sibuk dengan ponselnya. "Ditanyain, ya ampun, malah asyik main HP."

"Apa?" tanya Dhan ketika ia selesai mengirimkan pesan.

Hayan yang hampir jengah menunjuk ke arah keluarga bahagia yang dikatakan Afif tadi. "Itu bunda lo, 'kan?"

Dhan melihat ke arah yang ditunjuk temannya itu. Ia terdiam. Di sana, orang tuanya tertawa bahagia bersama seorang anak laki-laki menangkap gelembung yang ditiupkan oleh Kenan. Kekesalan yang pernah dirasakan muncul lagi, Dhan berusaha mengelak, tetapi tetap tidak bisa. Sekuat apapun itu, ia tak bisa membohongi hatinya yang sedang terluka, kecewa, dan marah pada kebahagian mereka.

Lalu, jika sudah yakin merasakan hal tersebut, apa yang harus ia lakukan?

"Iya, bunda gue." Dhan berpura-pura kembali sibuk dengan ponselnya.

"Berarti itu bokap lo, dan itu adik lo?" Afif mengerutkan keningnya. "Bukannya lo anak tunggal?"

"Adik angkat," Sahutnya, di balik jawaban itu, ia memohon kepada mereka berdua untuk tidak bertanya lagi.

"Pantes nggak mirip sama bunda dan ayah lo." Afif mengangguk-angguk mengerti. "Tapi ngomong-ngomong, lo mirip banget sama bokap lo."

"Iyalah, namanya juga ayah dan anak," timpal Hayan. "Kalau Dhan mirip tetangga, baru lo wajib heran."

Semua orang pasti akan berpendapat yang sama dengan kedua temannya itu. Dhan pun tak bisa mengelak bahwa ia benar-benar mirip dengan Kenan. Seorang pria yang sampai sekarang masih masuk dalam daftar sosok yang dibenci.

Dhan yakin, masih menyimpan kebencian kepada Kenan, tetapi sekarang ia lebih menyimpan kemarahan kepada pria itu yang memberikan perhatian lebih kepada Aji di saat putra kandungnya tak pernah mendapatkan perhatian tersebut semasa kecilnya.

Ia sangat marah, sampai-sampai sedikit melupakan kebenciannya.

"Samperin, gih," suruh Hayan sembari menyenggol lengannya.

"Ogah, biarin aja," dengkus Dhan, ekspresi wajahnya sudah berubah marah tak berminat melanjutkan petualangan bersama Hayan dan Afif.

"Lo cemburu, ya?" Afif menembak tepat sasaran. "Kalau gue, sih, nggak apa mereka punya anak angkat, yang penting hartanya nggak nurun ke anak angkat."

"Lo harta mulu." Hayan menjitak kepala temannya itu. "Dasar calon koruptor."

"Ogah, ya. Mati gue ditembak sama nyokap-bokap."

"Jangan bilang lo mau jadi polisi juga?" Hayan tahu bahwa keluarga Afif kebanyakan berprofesi sebagai polisi. Bukan hanya ayah dan ibunya saja yang berprofesi sebagai abdi negara tersebut, melainkan kakaknya juga. "Nggak bosen apa?"

"Iya, gue mau yang beda," ujar Afif mantap. "Gue mau kerja di kantoran, target gue, sih, perusahaan keluarga Mahadri. Karena udah temenan sama penerusnya, itu berarti gue udah punya japri."

Hayan menoyor kepala Afif. "Jadi lo temenan sama Dhan, ada maunya?"

"Kagaklah, gue tulus kok." Afif membela diri. "Gue tahu posisinya nggak bakalan aman, karena lo lihat mukanya. Kayak orang nggak tertarik hidup mewah."

Dhan yang mendengarkan itu hanya bisa tertawa kecil. "Apaan sih, be—"

"Tuh, kan, beneran abang." Suara anak kecil terdengar, mengharuskan Dhan menghentikan ucapannya.

Ia serta kedua temannya menoleh ke asal suara, keluarga kecil yang dikatakan Afif tadi kini telah berada di hadapan mereka. Jujur, Dhan tak tahu harus berbuat apa di hadapan mereka, karena ia benar-benar belum siap dengan pertemuan yang bisa membuat amarahnya naik sangat drastis. Sekarang saja, Dhan harus mati-matian menahan emosi serta menahan lidah untuk tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Selamat siang, Om, Tante, Adik." Afif lebih dulu menyapa. "Dhan, orang tua lo." Ia memberikan kode kepada temannya itu untuk ikut menyapa, tetapi Dhan hanya membalas dengan gumaman tak berminat untuk menyapa.

"Temannya abang, ya?" tanya Aji kepada Hayan dan Afif.

"Iya, kami temannya abangmu." Hayan berjongkok untuk bisa berbicara lebih kepada Aji. "Nama kamu siapa, Adik Ganteng?"

"Aji." Senyum Aji mengembang.

"Dhan, kakek sama nenek, kamu tinggalin lagi?" tanya Nada kepada putranya itu, Dhan hanya bergumam mengiyakan. "Gimana, sih, ka—"

"Nad, udah nggak apa-apa," interupsi Kenan, meminta Nada untuk tidak mengomeli Dhan di depan teman-temannya.

Dhan mendengkus. "Emang cucunya aku doang," gerutunya, sekaligus menyindir.

Nada menghela napas. "Cepat pulang, sebentar sore kita ke rumah Kakek Ahmad buat tahlilan." Lagi, putranya hanya membalas dengan gumaman.

Mungkin Dhan tidak akan datang, karena ia tak ingin bertemu dengan Viona lagi atau lebih tepatnya ia tak ingin bertemu keluarga besar bundanya. Kejadian di pemakaman masih sangat membekas di kenangan, ia tidak ingin mereka membahas kejadian tersebut atau mendapatkan tatapan iba.

Masalah yang terjadi di keluarga mereka, sudah menjadi rahasia umum di keluarga besar, itu sebabnya Dhan selalu menyendiri saat ada acara. Jika itu keluarga besar Kenan, ia belum pernah ikut bergabung. Jadi, Dhan belum tahu bagaimana suasananya.

---

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang