Bagian 4

14K 995 2
                                    

Bulan masih setia menerangi langit saat Khanza dengan susah payahnya menormalkan degup jantung. Bintang masih menghiasi angkasa, saat ia tak tahu harus berbuat apa selain menatap sepatu yang dipakai oleh lelaki itu.

Khanza tahu ini yang ia inginkan, tetapi mengapa rasanya sangat sesak. Ini menyiksa, rindu yang menguap keluar menyiksa jantung, dan bahkan seluruh anggota tubuh berubah menjadi kaku. Khanza tak tahu sedalam ini perasaan yang ia rasakan, dan ia pun tak tahu sejak kapan rasa ini meluas. Rasanya sangat cepat, seperti riak air yang menyentuh hingga tepi danau.

Hampir dua tahun lelaki itu tak bertatap muka dengannya, selama itu pula Khanza tak bisa melenyapkan Dhan dari dalam ingatan. Astaga, seharusnya ia merasa bahagia karena ini yang diinginkan. Khanza merindukan lelaki itu, kenapa sangat sulit bahkan hanya untuk menatap wajahnya.

"Za."

Suaranya ....

Khanza memejamkan mata, ia berusaha untuk mengangkat kepala. Efek bertemu Dhan sedahsyat ini, benar-benar dibuat sibuk dengan perasaanya. Ia pikir perasaan yang tumbuh dengan sendirinya dan terus dibiarkan tidak akan membawanya dalam masalah. Aah ... tidak, hanya Khanza yang menganggap masalah, karena ini pertama kali untuknya.

Menghela napas, ia mendongak berani menatap mata Dhan. "Hai," sahutnya berusaha menyunggingkan senyum santai.

Lelaki itu tak membuka mulut, hanya diam menatap wajah Khanza yang perlahan menghilangkan senyumnya saat tak mendapatkan respon yang dipikir Dhan akan membalas sapaan. Ternyata tidak, hanya diam yang diberikan padanya.

Ditatap seperti itu, Khanza menunduk berusaha menyembunyikan wajah. Bukannya malu, hanya saja ia harus kembali beradaptasi dengan tatapan Dhan. Mereka sudah lama tidak bertemu, itu sebabnya Khanza tak lagi sama seperti saat Dhan meninggalkannya.

Tanpa ia duga, Dhan berlutut di hadapannya. Seperti tak menghiraukan ketidaknyamanan Khanza yang ditatap seperti itu, Dhan malah mengabsen wajah Khanza, dimulai dari mata hingga berhenti di dagu perempuan itu.

"Ini kamu?"

Suara Dhan masih sama seperti dulu, lembut dan membuat nyaman. Namun, saat ini suara itu mampu memporak-porandakan apa yang ada di dada kirinya. Astaga, mati-matian Khanza berusaha membuat degup jantung kembali normal, dan hanya dengan mendengar dua kata tersebut, ia harus mengalami kesusahan.

"Hm ...." Khanza mengangguk sekali, ia tersenyum kaku. "Apa kabar?" tanyanya berusaha mencairkan suasana.

"Baik." Dhan mengucapkan itu masih dengan tatapan tak percaya bahwa Khanza berada di hadapannya. "Kamu di sini?" Ia mengeluarkan pertanyaan yang entah kenapa keluar begitu saja. "Iya, ini kamu," ujarnya kemudian.

"Bunda kamu apa kabar?" Khanza mengabaikan sikap Dhan yang benar-benar di luar perkiraannya.

Dhan berdiri, tetapi sedetik kemudian ia duduk di rumput hijau yang dipijaki, masih dengan mata menatap Khanza. "Baik," jawabnya, kemudian mata beralih ke alas kaki Khanza menyentuh ujung sepatu tersebut, kemudian kembali mendongak untuk menatap. "Iya, kamu nyata."

"Emangnya aku hantu?" sungut Khanza yang mampu membuat Dhan tersenyum, kemudian lelaki itu kembali berlutut.

Mati-matian Dhan menahan tangannya untuk tidak menyentuh Khanza, ia menyembunyikan tangan di balik punggung, matanya tak lepas dari mata Khanza yang terlihat sedang tersenyum geli melihat kelakuannya. "Za, aku nggak mimpikan?" tanyanya membuat Khanza tertawa kecil.

"Berdiri Dhan." Perintah lembut Khanza yang langsung dituruti oleh Dhan. Ia mendongak untuk bisa melihat lelaki itu. Harus diakui Dhan bertambah tinggi dan juga tubuhnya lebih berisi. Terlihat jelas dalam keadaan baik-baik saja selama mereka terpisah. "Kamu ke sini mau main basket juga?"

"Biasanya, sih, gitu, kalau mereka ngajakin."

Detik kemudian Khanza berdiri, membuat lelaki itu mundur selangkah. "Kamu satu sekolahan sama Leon?" tanyanya lagi, sambil menoleh ke arah di mana Leon duduk, dan ternyata sudah tak berada di sana.

"Iya, dia sepupu aku." Sebenarnya Dhan pun ingin bertanya, tetapi ia masih larut dalam keterkejutannya. "Za ...," gumamnya.

"Ya?"

Tersenyum, Dhan menggeleng. "Kamu nyata," ujarnya.

Terkekeh Khanza menutup pintu mobil Andra. "Tadi Leon ke mana, ya?" Sebenarnya ini bukan urusannya, tetapi tetap saja penasaran ke mana lelaki itu yang tiba-tiba menghilang.

"Kenal Leon di mana?"

Khanza menarik ujung bibir. "Di sini, dua hari yang lalu."

Dhan diam, mata beralih mencari seseorang. Khanza tahu siapa yang dicari oleh lelaki itu, ia membiarkan Dhan berjalan meninggalkannya berjarak lima langkah untuk mencari Leon, tetapi tak ditemukan. Entah di mana dia.

"Pakek nggak ngomong ke gue," gerutu Dhan saat kembali berjalan ke arah Khanza. "Serius, Za, aku nggak tahu kamu di sini. Rian tahu kamu ke sini?"

Khanza mengangguk.

Dhan langsung mendengkus. "Dia juga nggak ngomong ke aku."

Khanza tersenyum melihat Dhan, sangat jelas terlihat lelaki itu sedang kesal. "Kak Andra nggak ngomong?"

Seketika wajah kesal Dhan menghilang. "Kak Andra sama aku nggak sedekat dulu."

-----

Nulis sesuai mood..
Maaf

7Apr18

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang