Bagian 13

9.8K 716 5
                                    

---

"Gue anterin Khanza dulu ke atas," ucap Dhan kepada Leon ketika ia hendak turun dari dalam mobil.

"Jangan lama-lama, gue ngantuk." Nadila menguap lebar tanpa menutup mulut memakai tangan dan tanpa peduli ada orang lain bersamanya.

"Najis, La," hardik Leon.

Dhan tidak menggubris keduanya yang sudah pasti akan mulai bertengkar. "Ayo, Za," ajaknya ke Khanza yang sepertinya lebih tertarik mendengarkan pertengkaran kecil Leon dan Nadila, dibandingkan kembali ke apartemen.

"Iya." Perempuan itu langsung keluar dari dalam mobil.

"Nggak usah digubris." Dhan mulai melangkah, Khanza mengikutinya dan menyamakan langkah mereka.

Sebenarnya, malam ini Dhan berencana hanya akan jalan berdua bersama Khanza, tetapi kejadian di lift siang tadi membuatnya mengiyakan permintaan Leon untuk ikut. Ya, Dhan terlalu takut untuk hanya berdua bersama Khanza ketika suasana hati masih terasa kacau setelah melihat pengkhianatan bundanya tepat di depan mata. Sebenarnya ia tahu bahwa sang bunda masih berhubungan dengan pria itu, tetapi untuk melihat seberapa nyata hubungan tersebut, Dhan baru kali ini diberikan kesempatan.

Kesempatan?

Dalam hati ia mendecih. Jika bisa meminta, Dhan tidak ingin hal tersebut terjadi dalam hidupnya. Ia ingin seperti sebelumnya, mengetahui tetapi tak benar-benar tahu. Jika sudah seperti ini, ia merasa benar-benar ditinggalkan. Semua berpihak kepada pria itu, Dhan sendirian dalam lukanya.

"Emang Karin itu orang yang kayak gimana, sih?"

Pertanyaan dari sebelah kanan, menyadarkannya bahwa ia tak sendirian di sini. Khanza, perempuan yang sempat hilang komunikasi dengannya, adalah seseorang yang lebih mengerti tentang luka. Ya, selama ini hanya Khanza seorang yang benar-benar berdiri di sisinya, bahkan Dhan tahu perempuan itu selalu menjaga omongan untuk tidak menyentil sisi sensitifnya.

Seperti saat ini, seharusnya ini adalah kesempatan Khanza membahas apa yang terjadi di lift tadi siang. Namun, jangankan membahas, bertanya tentang keadaannya sekarang pun tidak.

"Mau tahu aja atau mau tahu banget?"

Jika diingat-ingat, ini kedua kalinya Khanza bertanya tentang Karin. Saat pertama kali temannya itu bertanya tentang Karin, Dhan sengaja menjawab seadanya tanpa memberikan spesifik yang mendetail.

"Ya udah, kalau nggak mau ngasih tahu."

"Ngambek?"

Setelah kembali bertemu Khanza, Dhan seperti tak mengenal dirinya sendiri. Ada beberapa sikap yang sama sekali tak pernah ia lakukan dulu di depan perempuan itu, tetapi sekarang Dhan melakukannya.

Entah sudah berapa kali, ia baru sadar bahwa sering menggoda Khanza dan juga berekspresi terlewat senang dengan pertemuan mereka. Sebenarnya itu sama sekali tidak salah, tetapi Dhan takut Khanza terganggu.

"Ya, enggak, lah." Khanza lebih dulu melangkah memasuki lift.

"Dia cewek, suka drama Korea," ujarnya sembari melangkah masuk ke dalam lift. "Kalau ke sekolah pakai tas warna merah, sepatunya putih campur hitam, rambutnya selalu digerai, dia ke sekolah pakai mo—"

"Ekhem." Khanza berdeham mengisyaratkan Dhan untuk menghentikan ucapannya. "Maksud aku sifatnya, Dhan."

"Oh." Dhan membulatkan bibir. "Dia baik."

"Terus?"

"Pintar bergaul."

"Terus?"

"Serius deh, Za, aku nggak terlalu kenal dia."

"Kok gitu?"

"Ya ..." Dhan menggantung ucapannya ketika lift yang membawa mereka ke lantai tiga berhenti dan terbuka. "Karena aku temenan sama anak cowok, masak iya aku temenan sama anak cewek."

Khanza tertawa. "Emang kamu nggak nyadar dia suka sama kamu?"

Ia menggeleng. "Kita hanya teman biasa. Kalau itu yang mau kamu tahu."

"Sebenarnya aku nggak mau tahu."

"Lah? Terus kenapa kamu nanya?"

"Penasaran aja." Khanza mempercepat langkah dan berhenti ketika ia berdiri di depan pintu apartemen kakaknya. "Mau mampir dulu atau langsung balik?" tanyanya.

"Balik," jawab Dhan diakhiri dengan senyum. "Salam ke Kak Andra."

Khanza mengangguk sekali.

"Aku pulang, Assalamualaikum," pamitnya.

"Wa Alaikum salam."

Setelah memberikan senyum simpul, Dhan hendak berbalik meninggalkan Khanza. Namun, suara perempuan yang memanggil namanya seakan mengisyaratkan ada sesuatu yang ingin disampaikan.

Tak ada rasa curiga sedikit pun sebelum Khanza benar-benar menjatuhkannya dengan pertanyaan. Runtuh sudah pertahanan Dhan, yang ia pikir satu-satunya orang berada di sisinya benar-benar mendukung, tetapi semua sama saja.

Dhan tak bisa membendung kekecewaannya.

----

Kejadian empat jam yang lalu masih terekam jelas di kepala, Dhan menyembunyikan wajah di bantal. Seluruh tubuh seakan lemah untuk digerakkan, ia benar-benar merasa hancur sekarang. Hanya satu yang membuatnya semakin terluka, mengapa Khanza melakukan hal itu di saat ia masih terluka oleh perlakuan sang bunda.

Dhan menyesal mempercayai perempuan itu, seharusnya ia biarkan saja Khanza seperti orang lain yang tak tahu apa-apa dan lebih sering berkomentar.

Namun, Dhan tak bisa, untuknya seorang Khanza bukan lagi seperti orang lain. Perempuan itu berada di sana, saat kejadian dua tahun lalu, ikut menyaksikan pengkhianatan ayahnya, tetapi mengapa Khanza pun masih saja ikut berpihak kepada pria tersebut?

Dhan bingung, setelah kejadian ini akan bersikap seperti apa ia terhadap Khanza. Dalam tatapan perempuan itu, ia tahu terdapat luka atas sikapnya tadi. Ia benar-benar tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya, dan untuk hubungan mereka yang telah maju selangkah, jujur, Dhan tak bisa mengambil keputusan untuk tetap maju atau mundur secara teratur.

Seharusnya bisa saja ia melupakan kejadian tadi dan kembali berhubungan dengan tenang bersama Khanza tanpa memedulikan apa yang telah terjadi. Namun, untuk bersama seseorang yang tidak sependapat dengannya, rasanya akan sia-sia.

Dhan khawatir akan melukai Khanza lagi, dan ia pun takut akan terluka lagi. Jika mereka terus berlanjut, kejadian ini akan terus terulang-ulang jika di antara mereka tak ada rasa saling mendukung.

"Aku harus gimana?" rintihannya.

Dhan menghela napas dengan sangat kasar, ia mengubah posisi terlentang menatap ke arah langit-langit kamar. Kemewahan yang dirasakan sekarang seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia, kenyataannya tidak sama sekali. Dhan merindukan kehidupannya di Semarang, ingin semuanya seperti dulu lagi, di saat ia hanya memiliki sang bunda, begitu pun sebaliknya.

"Lagi pula udah terjadi," ucapnya pasrah.

Mencoba berpikir positif, Dhan meraih gawai, sesuatu yang diabaikan setelah kejadian di apartemen Andra tadi. Nama Khanza terdapat di deretan chat yang terkirim padanya. Dhan bangkit, dengan perasaan campur aduk, ia membaca pesan yang dikirimkan perempuan itu.

Hanya ucapan permohonan maaf, tetapi meskipun begitu Dhan tersenyum. Besok tak ada alasan baginya untuk tidak menemui Khanza. Jika perempuan itu sudah meminta maaf, maka Dhan pun akan meminta maaf.

Memang setelahnya hubungan mereka akan tidak seperti dulu lagi, tetapi Dhan sangat berharap Khanza mau menerimanya yang seperti ini tanpa mempermasalahkan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Ah, lagi-lagi Dhan berharap seseorang berpihak kepadanya.

---

Berasa rajin gue. 😎

27okt18

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang