Bagian 26

8.2K 644 17
                                    

Repost!

---

Langit cerah membentang cakrawala, awan putih memecah seperti berbuat salah, angin berhembus mendorong bahu agar cepat melangkah. Ah, biasanya Khanza menyukai langit cerah, tetapi sekarang ia benar-benar merindukan hujan agar rasa ini cepat berlalu tanpa berkeluh.

Ada banyak kesempatan yang bisa dijangkau untuk kembali menata hati. Namun, ada juga beribu alasan untuk menetap dan menunggu sepi yang akan merayapi. Jika saja keadaan berbalik dengan sangat cepat kepadanya, maka Khanza tak perlu khawatir meskipun sunyi telah menanti. Ya, dalam hati kecil ini sekuat apapun ia berusaha untuk melupakannya, sekuat itu pula rasa itu tak berhenti menjaga hati.

"Za?" Della memegang bahunya yang terturun lesu tak bersemangat. "Kamu kenapa, sih? Dari kemarin kayak orang nggak semangat."

"Nggak apa-apa." Ia menggeleng. "Ayo masuk." Lebih dulu melangkah memasuki mini market yang berada tidak jauh dari kawasan sekolah.

Dua tahun yang lalu, Khanza pernah pergi ke mini market ini bersama Dhan. Saat itu lelaki tersebut masih seperti remaja yang sederhana. Berteman dengan banyak orang, segan kepada yang lebih tua, selalu tersenyum ramah, tidak pernah bertengkar atau membuat masalah, dan lebih penting Dhan yang Khanza kenal dulu adalah seseorang yang tidak pernah membentaknya.

Ia meraih satu batang cokelat, sesuatu yang akan menaikkan mood-nya. Khanza menyukai sesuatu yang manis dan sedikit tak suka pada rasa pedas.

"Cokelat?" Della mengerutkan kening melihat apa yang sedang Khanza pegang. "Ini bukan valentine kali, Za."

Ia terkekeh mendengar celetukan temannya. "Iya juga, ya."

Terhitung sudah dua hari Khanza tidak menggubris telepon dari Dhan. Hari selasa ini, menandakan sudah satu minggu ia meninggalkan kota Jakarta. Beban yang ditinggalkan saat itu sudah selesai dipecahkan, tetapi kemudian di hari minggu ia kembali menuai salah.

Ya, Khanza pun sadar bersalah memaksa kehendak, tetapi bukan berarti saat menyadarinya ia akan langsung mengangkat telepon dari Dhan. Saat ini untuk kembali mengobrol dengan lelaki itu adalah kesalahan yang sangat besar karena Dhan telah berubah, ia berpresepsi jika masalah terulang lagi maka sakit yang didapatkan lebih dari saat ini.

"Kamu lagi mikirin apa, sih, Za?" Saat menunggu antrean di kasir, Della menanyakan hal tersebut. "Bukannya abimu udah bebas?" Ia menebak hal itulah yang menjadi pemicu temannya kurang bersemangat.

Sekilas Khanza tersenyum, tetapi kemudian senyum itu langsung menghilang jika mengingat mengapa sampai abinya bebas dari tuduhan. "Jangan ingetin, aku lagi kesal sama abiku," dengkusnya.

"Lah? Kenapa?"

Mendecak Khanza menjawab. "Rumah aku yang dulu, dijual abi sama pelaku korupsi itu. Makanya abi aku bebas tuduhan karena hubungan mereka hanyalah penjual dan pembeli," jelasnya.

"Alhamdulillah dong, Za. Kok kamu malah kesal?"

"Habisnya itu, kan, rumah semasa aku kecil. Rumah itu bersejarah banget, Del, dari kami masih nol sampai akhirnya abi aku dapat pekerjaan yang bisa mengubah hidup kami menjadi seperti sekarang."

Mengelus bahu Khanza, Della berujar, "sabar, ya."

Khanza mengangguk. Di antara keluarganya, hanya ia yang tak tahu rumah itu telah terjual sekitar setengah tahun yang lalu. Abinya memiliki alasan yang rasional ketika ia bertanya mengapa sampai harus dijual. Jawabannya adalah untuk menambah biaya masuk kuliah Andra serta membelikan apartemen untuk kakak laki-lakinya itu. Mau protes pun, Khanza tak bisa karena itu menyangkut masa depan kakaknya.

"Kamu duluan, Za." Della memberikan kesempatan kepada Khanza untuk lebih dulu membayar di kasir.

Ia mengangguk kemudian melangkah mendekat. Menaruh keranjang kecil ke atas meja kasir. Makanan ringan yang dibeli terlihat banyak, bukan karena sedang tidak ingin memakan makanan pokok di sekolah, tetapi ia jadikan hari ini sebagai kesempatan untuk membeli stok camilan yang akan ditaruh di kamarnya.

"56.000," ujar penjaga kasir.

Khanza hendak membuka dompet, ketika tangan lain memberikan lembar uang kepada kasir, ia menoleh ke arah orang tersebut.

Dunia seakan terhenti, jam dinding tak bersuara, ada banyak insan di dunia ini, mengapa orang tersebut yang harus hadir di hadapannya. Khanza tak tahu harus berbuat apa, ingin berlari pun rasanya ia akan terkejar, karena senyum yang menyampir di bibir lelaki itu membuatnya tak bisa berkutik seinci pun.

Seharusnya ia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi, karena Dhan bukan lelaki sederhana yang seperti dulu, maka mengejarnya sampai ke Semarang bukanlah suatu hal yang sulit. Namun, untuk menduga pun Khanza sudah sangat terlambat, karena lelaki itu sudah berada di hadapannya, maka bukan menduga yang harus dilakukan, melainkan memikirkan cara untuk menghadapi.

"Saya yang bayar, Mbak. Sekalian sama belanjaan teman saya ini." Lelaki itu meraih keranjang yang dipegang oleh Della, kemudian menaruhnya di atas meja kasir.

"Dhan?" Della, perempuan yang lebih dulu bereaksi ketika sadar apa yang berada di tangannya telah berpindah ke atas meja kasir. "Ini kamu?"

"Yep." Dhan berikan senyum terbaiknya kepada Della. "Apa kabar?" tanyanya kepada perempuan itu.

"Baik." Della tak bisa berkedip, sama halnya dengan Khanza yang juga tak bisa berkutik. "Kenapa kamu di sini?" Ia suarakan keterkejutannya. "Kamu harusnya di sekolah, 'kan?"

"Aku udah minta izin, kok," jawab Dhan santai. "Ada nona yang nggak mau angkat teleponku, jadinya aku harus ke sini." Ia meraih dua kantung plastik yang diberikan kasir kepadanya.

"Biar aku bawa belanjaanku, Dhan." Della meraih satu kantung plastik dari tangan lelaki itu, yang ia yakini adalah berisi belanjaannya.

Tersadar dari keterkejutan, Khanza pun ikut meraih kantung belanjaannya, tetapi Dhan menghindar. "Aku bisa—"

"Aku aja yang bawa." Lelaki itu tersenyum ketika ia mau menatap matanya. "Lagian, aku juga mau ke sekolah, kangen."

Della menyenggol bahu Khanza. "Nggak apa kali, Za." Ia menaik-turunkan alis ketika Khanza melayangkan tatapan protes. "Wah, kelas bisa heboh, nih, kedatangan tamu."

"Nggak segitunya kali," timpal Dhan.

"Hahaha ... jadi nggak sabar lihat ekspresi mereka. Ayo." Della lebih dulu melangkah, meninggalkan dua sejoli yang diberikan kesempatan untuk dipertemukan kembali.

Nampaknya hujan tidak akan turun sampai semua beban ini selesai. Tak apa, jika itu untuk menjemput pelangi maka Khanza tidak akan keberatan menjalaninya. Lagi pula, cerah tak berawan pun masih terlihat indah meski suhunya terasa panas.

---

Vote + komen, yaaaa.

Different #2 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang