CLAIRE
Aku menapakkan kakiku ke dek kayu yang sudah lapuk. Pandanganku tertuju pada sambungan kayunya yang mulai keropos di beberapa bagian.
Bagaimana kalau dek ini tiba-tiba roboh dan aku jatuh ke laut? Tentu saja aku bisa berenang, tapi ini kan lautan, bukannya kolam renang umum yang biasanya kudatangi tiap akhir pekan.
"Hei, Nona yang di sana, kau mau turun di sini atau tidak?" Suara serak seorang lelaki mengusik kosentrasiku.
Aku mengalihkan pandangan dari dek kayu serta semua khayalanku tentang tenggelam di laut dan mendongak, menemukan lelaki berusia sekitar 40 tahun berjalan menghampiriku. Badannya tidak terlalu tinggi, tapi masih lebih tinggi dariku, rambutnya hitam kecoklatan dan dipotong cepak seadanya. Laki-laki itu berjalan ke arahku dengan langkah besar dan keras.
"Kalau ini Mineral Town, ya, aku turun di sini" Sahutku cepat, takut kalau-kalau ini bukan tempat yang kutuju. Aku menoleh was-was, mencari kapal kecil yang tadi kunaiki untuk datang kesini, lega begitu menemukannya masih bersandar di pelabuhan kecil ini. Kalau aku salah tempat, aku masih bisa melompat ke kapal kan.
"Tentu saja ini Mineral Town, ayo kubantu kau mengangkat tasmu." Lelaki tadi dengan gesit mengangkat tasku, aku mengernyit heran, tas itu beratnya tidak kurang dari 20 kilogram dan dia mengangkatnya seakan beratnya seringan kapas, "wow, untuk ukuran seorang turis bawaanmu banyak juga ya," dia mengernyit sebentar, "well, sangat banyak sebenarnya, apa kau berencana untuk menetap lama disini Nona?"
Aku tidak menjawab, kuperhatikan dia mulai berjalan menjauhiku dengan membawa tasku. Aku menoleh lagi pada perahu yang kunaiki tadi. Apa benar ini tempat tujuanku? Kelihatannya sangat... asing.
"Hei, Nona! Kau mau berdiri disana semalaman ya?" Lelaki itu sudah sampai di ujung lain dek, di dekat sebuah rumah, atau mungkin pondok pantai kecil beratap merah marun.
Aku segera berjalan menghampirinya, membawa koper lain dan tas ransel. Sebenarnya koper ini lumayan berat, tapi karena isinya sangat penting aku tidak berani menyerahkannya pada orang lain, apalagi pada orang yang baru kukenal.
"Jadi, kau mau langsung kuantar ke penginapan terdekat, atau kau punya tujuan sendiri?" tanya lelaki tadi sembari memperhatikanku sekilas.
"Kau tau Mapple Farm? Aku ingin kau mengantarku ke sana." Aku mengeluarkan sebuah kertas yang sudah lusuh dari saku jaketku, "di sini tertulis Mapple Farm, Mineral Town" aku menunjukkan kertas itu pada lelaki tadi. "Ngomong-ngomong, aku bukan turis. Namaku Claire"
"Hai Claire, senang bertemu denganmu, namaku Zack. Kau boleh memanggilku Zack si penjaga pantai." Zack terkekeh, kemudian mengambil dan mengamati kertas yang kusodorkan. "Mapple Farm, yeah, aku tau dimana tempatnya. Tapi ngomong-ngomong kalau bukan turis, kau ini siapa? Ada keperluan apa datang ke Mineral Town?"
"Kurasa kau akan tau nanti, kalau sudah sampai di Mapple Farm" aku tersenyum misterius padanya.
"Oke, baiklah. Rupanya kau nona kecil yang suka bermain teka-teki ya" Zack nyengir. Dia mengangkat tas-tasku yang tadi diletakkan di kursi panjang depan pondok. "Kuharap kau bukan Nona kecil yang manja, karena perjalanan ke Mapple Farm lumayan jauh dan sayangnya kita hanya bisa jalan kaki sekarang." Zack menoleh, menatapku lagi.
"Tidak apa, mmm.. Zack-si-penjaga-pantai, aku sudah biasa jalan kaki."
"Well, kalau begitu bagus." Zack mulai menuntun jalan. Meninggalkan hamparan pasir putih di pantai. Aku menengok sekilas, melihat kapal kecil yang membawaku kesini untuk terakhir kalinya. Sepertinya kapal itu sudah siap untuk berlayar kembali. Sejenak aku ragu, benarkah ini jalan hidup yang kupilih? Kemudian mataku menangkap semburat warna senja di ujung langit.
Indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harvest Moon: A Fanfiction
FanfictionClaire memutuskan sudah saatnya dia menyusul Jack, kakaknya yang pergi meninggalkan rumah lima tahun lalu untuk mengurus lahan perkebunan di Mineral Town. Masalahnya, sudah bertahun-tahun berlalu sejak Claire terakhir kali pergi ke Mineral Town, dia...