4. Candra

26.6K 669 17
                                    

Candrakanta

Matanya tajam seperti elang, hidungnya mancung dengan bibir tipis menyirat di bawahnya. Kulitnya legam sawo matang dan badannya kekar mengikuti tubuh sang ayah. Bahkan Adipati Susno Abikusno berpikir bahwa Candrakanta adalah sosoknya sewaktu muda. Sifatnya tegas dan kritis dalam menanggapi sesuatu, bahkan hal sepele tentang bayaran para kacung dan dayang-pun~~Candra selalu memikirkannya matang-matang. Tidak seperti kakaknya dan adiknya, mereka lembut seperti sang ibu, Nyimas ayu Maranti.

Candra selalu berpikir bahwa Yudanta adalah daerah kekuasaan ayahnya, seharusnya ayahnyalah yang harus memimpin. Namun Kadipaten tetaplah Kadipaten, dan harus mengikuti aturan Kedaton. Sama seperti Kadipaten lainnya.

Candra selalu mendebat keputusan sang ayah, dengan harapan setiap keputusan harus melalui pertimbangan yang agung. Bukan terceletuk dari pikiran dan hati nurani saja. Salah satu contohnya adalah pengiriman Upeti setiap satu purnama ke Kedaton Ardaka. Lebih dari lima puluh gentong ikan segar dari segala jenis dikirim dari Yudanta setiap purnama. Sedangkan Kedaton menjanjikan kedamaian di tanah Yudanta. Kedamaian macam apa? Pikir Candra. Jawadwipa sudah berdamai semenjak ia belum dilahirkan. Peperangan terakhir meletus ketika Tumenggung Bajragini memukul mundur pasukan Adikarya di Pabelan. Akhirnya Adikarya menyerah dan menjadi salah satu bagian dari Ardaka, saat itu sang ayah masih menjabat sebagai seorang Manggalayuda di Ardaka.

Benak Candra menerawang jauh ke belakang. Ia memikirkan kejadian tentang perseturuannya dengan sang ayah. Sang ayah bersih keras menerima sang Prabu untuk berkunjung, namun berbeda dengan keyakinannya. Menurut sang ayah, suatu kehormatan jika Prabu berkunjung ke Kadipaten tempatnya berkuasa, namun baginya itu hanya pemborosan semata. Sang ayah seharusnya tahu bahwa kepengan emas, perak dan perunggu lebih berguna jika digunakan untuk membangun rakyatnya, bukan untuk dihamburkan demi kedatangan Prabu.

Otaknya berpikir keras ketika kepengan di lemari persediaan akan banyak terkuras. Sedangkan, sang ayah bersusah payah mengumpulkannya. Ia tahu, bahwa Prabu memerlukan bangunan baru untuk tempat ia singgah, tentu saja beserta rombongannya yang berjumlah ratusan. Candra hanya terdiam sembari merasakan telinganya yang terus berdengung.

Lalu lamunannya terpecah ketika ketukan pelan terdengar dari luar kamarnya.

Tuk... Tuk... Tuk...

Candrakanta segera menutup lembaran laporannya lalu bergegas menuju pintu setelah sesaat ia merapikan blangkonnya. Di balik pintu, seorang dayang bernama Ranti sudah berdiri menunduk.

“Raden Adipati ingin bertemu dengan anda, Raden Bagus.” Ujar Ranti yang merasa ketakutan dengan tatapan Candra yang bengis.

Candra merasa mual, ketika panggilan sang ayah datang. Ia tahu bahwa perdebatan akan segera hadir di pikirannya.

“Hmn, bicaralah kepada sang ayah. Aku sedang tak ada dirumah, aku akan pergi ke pasar. Setelah pulang nanti, aku akan menemuinya.” Ujar Candrakanta kepada dayangnya.

Ranti sang Dayang mengangguk pelan dan meninggalkan Candra. Lalu dengan langkah mengendap, ia meninggalkan rumahnya.

Berjalan-jalan merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi Candra. Sedari kecil, ia dilarang oleh sang ayah untuk menginjakan kakinya keluar pekarangan rumahnya. Namun seiring bergulirnya waktu dan keberanian Candra untuk menjaga diri, ayahnya berani melepasnya. Terlebih lagi, ia juga mempelajari ilmu beladiri yang cukup mumpuni.

Kerisnya tersepuh emas dengan gagang kayu mahoni terukir indah, selalu terselip di pinggang belakangnya. Beskapnya berwarna hitam dengan jarik coklat bermotif batik membuatnya menjadi pusat perhatian di pasar Rabaya. Ia berjalan sendirian, walau beberapa prajurit Jagabaya menawarkan diri untuk mengawalnya. Ia menolak karena Yudanta terlalu aman untuk dijaga prajurit dengan tombak dan perisai terpasang di setiap genggaman mereka.

Tiga PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang