25. Ratna

15.1K 501 11
                                    

Pergi menunggangi kuda sejauh-jauhnya, pikir Ratna dalam kekalutan hatinya.

Desiran hati merintihkan setiap kenangan senja di perjalanan yang akan mendekati ujungnya. Tak terasa, Yudanta semakin dekat selepas melewati Kadipaten Arundaya. Adipati Brajamusti menyambut baik kedatangan Prabu Aryawangsa, walau hanya sekejap saja. Ratna tak pergi kemanapun ketika berada di Arundaya. Ia menyendiri di kamar yang telah disediakan. Ia juga meminta beberapa penjaga untuk menjaga kamarnya, sehingga Buyung tak mungkin berani menyelinap ke kamarnya. Ia tak ingin pikiran nista itu kembali lagi. Ia adalah seorang putri Kedaton, ia sadar bahwa tugasnya bukan hanya bersenang-senang belaka. Setelah dua malam di Arundaya, arak-arakan mulai melanjutkan perjalanan ke Yudanta. Perjalanan itu hanya membutuhkan tujuh malam. Waktu yang sangat cepat bagi Ratna seorang. Sesampainya disana, ia harus mempersiapkan pernikahannya dengan Raden Candra. Sudah pasti hal itu akan menjadi akhir dari masa perawannya, walau sebenarnya ia tak perawan lagi.

Angin bertiup lirih dan senja begitu jingga di ufuk cakrawala. Perjalanan harus dihentikan sementara dan para prajurit mulai menambatkan kudanya. Ratna hanya terdiam dikamarnya sembari memandangi cahaya lilin yang temaram. Asap hitamnya membumbung setinggi cerobong kaca yang mulai menghitam diujungnya. Udara dingin mulai menerpa seiring dengan derikan suara jangkrik yang mulai menenangkan suasana. Lalu dibalik suasana yang tenang itu, pintu kereta Ratna diketuk oleh seseorang. Entah siapa? Ratna enggan untuk mengetahuinya. Dengan cepat Ratna mengusap mata sembabnya dan bangkit dari pembaringannya. Ia menarik nafas panjang, lalu berkata, "masuk!"

Seketika, pintu kereta Ratna terbuka dan terlihatlah seorang dayang istana. Wajah dayang itu menunduk, lalu ia berbalik. Sesosok wanita yang selama ini mengasuhnya telah berdiri di balik dayang itu. Ratu Padmi, ia berdiri dengan anggunnya sembari menatap Ratna. Wajahnya tenang dengan guratan cahaya pucat rembulan meneranginya.

"Boleh ibu masuk!?" pinta Ratu Padmi kepada putrinya.

Ratna hanya mengangguk pelan sembari menelan ludahnya. Ia tak pernah menduga bahwa sang ibu mendatangi keretanya. Ia memandangi balutan busana sang ibu yang cukup sederhana namun tetap mempesona. Kebaya biru muda dengan kain jarik bernuansa putih membalut tubuh Ratu. Lalu selendang sutra seakan mengikuti tubuh sang Ratu. Ikatan rambutnya tergelung konde dengan hiasan bunga kantil membuat aroma sekitar semerbak mewangi. Berbeda dengan Ratna sekarang ini, ia hanya terbalut kain jarik yang dijadikan kemban dan ikatan rambutnya acak-acakan. Namun sepertinya sang ibu memaklumi keadaan putrinya karena Ratna baru pertama kali melakukan perjalanan jauh seperti ini.

"Ibu," sapa Ratna ketika sang Ratu mulai melangkahkan kakinya di lantai kereta.

"Putriku." Tanya Ratu yang masih berdiri diambang pintu. Ia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Lalu ia berbicara kepada salah satu dayangnya, "biarkan aku sendiri bersama putriku."

Sang dayang menunduk dan menutup pintu kereta. Suasana begitu memanas ketika pintu mulai tertutup. Ratna jarang sekali berbicara empat mata dengan ibunya. Memang, sedari kecil Ratna diasuh oleh dayang-dayang istana. Sang ibu hanya mengasuh pengeran Sahastra karena ia adalah pewaris tahta. Namun kini, ratu Padmi berdiri dihadapan Ratna. Tatapan angkuhnya tiba-tiba melunak ketika menatap Ratna yang berantakan. Mungkin sang ibu mengetahui kegundahan hati Ratna. Lalu sang ibu melangkah mendekati Ratna dan duduk meringkuk dihadapannya. Wajahnya berubah sendu seakan kesedihan Ratna teralih kepada sang Ratu. Dalam keheningan ruangan kereta itu, Padmi memeluk putrinya. Pelukan hangat yang benar-benar dilakukan oleh seorang ibu. Ibu yang telah mengandungnya selama sembilan purnama dan ibu yang pernah mempertaruhkan nyawa demi kelahirannya.

Ratna tersentak ketika sang ibu memeluknya secara tiba-tiba. Air matanya mulai menetes seiring dengan isakan kecil dari bibirnya. Entah, apa yang ingin Ratna katakan kepada ibunya. Tetapi yang jelas, sentuhan sang ibu bagaikan ramuan tanpa kata. Sehingga Ratna sedikit tenang dengan keputusan sang ayah untuk menikahkannya.

Tiga PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang