3. Candrika

30.1K 733 8
                                    

Candrika

“Kau tahu! sebentar lagi kita akan mengunjungi Yudanta.” Ujar Bajang sembari mengasah kerisnya di sebuah batu asahan yang berwarna perak.

“Hmn,” gumam Caadrika. Sepertinya prajurit itu tak begitu tertarik dengan perjalanan sang Prabu. Menurut Candrika, berbahaya jika orang sepenting Prabu Aryawangsa meninggalkan dinding Kedaton, apalagi untuk bepergian jauh ke teluk Rabaya, tempat Kadipaten Yudanta berdiri. Ia bisa saja terbunuh di perjalanan, atau meninggal dalam perjalanan. Perasaan Candrika dipenuhi perasaan was-was akan keselamatan sang Prabu.

Tentu saja ia cemas, Candrika adalah prajurit Mangkujiwo. Mangku berarti memapah, dan Jiwo berarti jiwa. Sehingga dapat diartikan prajurit ini khusus untuk melindungi sang Prabu. Mata-mata mereka selalu menatap curiga kesemua orang, bahkan kepada orang terdekat Prabu sekalipun. Menurut aturan Prajurit Mangkujiwo terikat kontrak mati dengan Kedaton. Jika Prabu terbunuh, maka mereka prajurit-prajurit Mangkujiwo juga harus dibunuh karena gagal menjalankan tugasnya. Kecuali jika mereka berhasil menjaga Prabu hingga sang Prabu mangkat dengan sendirinya karena faktor usia atau sakit. Prajurit Mangkujiwo akan mendapat ganjaran berupa gelar kehormatan beserta harta kekayaan yang tak akan habis tujuh turunan. Aturan tentang keprajuritan diatur oleh pihak Kedaton. Para Prajurit Mangkujiwo berbeda dengan prajurit Jagabaya atau Manggalayuda. Jagabaya bertugas untuk menjaga kedamaian, Manggalayuda bertugas di medan pertempuran, dan Mangkujiwo berada disekitaran Prabu. Mereka menjadi benteng pertanahan terakhir jika Manggalayuda dan Jagabaya dikalahkan dan juga melindungi Prabu dari para penyusup. Prajurit Jagabaya tersebar di seluruh Kadipaten di Jawadwipa, sedangkan Manggalayuda dan Mangkujiwo hanya ada di Kedaton Ardaka.

Sebagai prajurit Mangkujiwo, Candrika dilarang untuk menikah, punya anak, atau keluarga. Seperti dalam aturan, bahwa hidup dan matinya prajurit ini berada di tangan Kedaton. Mereka akan dipensiunkan ketika Prabu telah tiada atau prajurit ini terlalu tua untuk memegang senjata. Setelah mereka berhenti, kebanyakan dari mereka bersenang-senang dengan harta kekayaan mereka, atau beberapa diantaranya tetap mengabdi kepada Kedaton sebagai pelatih atau abdi dalem Kedaton.

Candrika sadar bahwa keputusannya sama saja mengorbankan kebahagiaan duniawinya. Namun kebanggaan akan membela tanah air, menghapuskan kebahagiaan itu. Ia senang walau sebenarnya sang ayah tak setuju Candrika Abikusno menjadi salah satu pengawal terbaik di Jawadwipa. Ia ditempa di Mayapada dan dibiarkan hidup sendirian di hutan Batara. Sehingga ia berhasil menjadi prajurit Mangkujiwo, yang menjadi kebahagiaan di dalam hatinya.

Di dalam benaknya, keputusan Prabu tentang perjalanannya mengunjungi Yudanta sungguh mengganggunya. Hatinya semakin bergejolak ketika ia teringat rumahnya. Namun tugas harus ia laksanakan sebaik mungkin, agar kehormatan dan nyawanya selalu terjaga.

Dalam keheningan itu, wajah garang yang mewakili ayahnya terlihat murung. Rambutnya yang ikal terasa kebas karena musim kemarau yang tak kunjung reda. Otot-ototnya yang kekar melemas karena perasaan di benaknya yang campur aduk. Belum lagi, ia mendapat berita bahwa guru silatnya, bahwa Tumenggung Bajragini menghilang ketika mengejar sekelompok berandalan di hutan Batara. Bajra sudah menjadi ayah kedua bagi Candrika. Walau sifat Bajra keras dan tak kenal ampun, ialah yang telah menempa Candrika menjadi salah satu prajurit terbaik di Jawadwipa ini. Ditambah lagi dengan persiapan Prabu yang akan berangkat ke Yudanta. Perjalanannya akan memakan waktu dua minggu dan akan melelahkan. Belum lagi jalur pantai selatan yang harus diamankan.

Seseorang prajurit menerobos masuk ke gudang senjata. Prajurit muda dengan wajah polos karena belum sekalipun terlibat dalam pertempuran. Hal itu sontak membuat Candrika dan Bajang terkejut, lalu menatap prajurit muda yang ngos-ngosan itu.

“Raden Candrika, Ksatria Balapradhana.” Sapa Prajurit yang pangkatnya lebih rendah itu kepada mereka berdua. Balapradhana adalah nama asli dari Bajang. Ia dipanggil Bajang karena mukanya terlalu lucu untuk seorang prajurit. Giginya tonggos dengan rambut keriting keribo. Kulitnya hitam dengan tatapan tak meyakinkan, namun keahliannya menggunakan tombak dan perisai jangan pernah diragukan. Berbeda dengan Candrika, sosoknya tegak berisi dengan mata bak seekor elang. Bibirnya sedikit lebar dengan kumis tipis mirip sang ayah. Jika dahinya mengernyit, kedua alis tebalnya akan menyatu, sehingga membuat siapa saja takut kepadanya.

Tiga PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang