22. Candra

20.5K 478 12
                                    

Candra

"Apa yang harus kulakukan, Ki?" Tanya Candra dalam kekalutan hatinya. Sesaat setelah ia bertemu dengan sang ayah. Ia mengunjungi padepokan milik Ki Palinggar Jati. Padepokan yang cukup luas dengan dinding batu berukirkan perjalanan panjang Jawadwipa. Dinding itu cukup untuk melindungi rumah Joglo ditengahnya. Ki Palinggar Jati merupakan amangkurat atau bisa saja disebut penasihat.

"Den bagus, kakanda Candrika telah melepaskan tahtanya, sehingga engkaulah yang menjadi ahli waris kadipaten Yudanta ini." Jawab Ki Palinggar Jati sembari menyesap teh di tangannya. "Aku akan selalu mendukungmu dan mendukung Kadipaten Yudanta ini. Aku disumpah oleh Prabu Aryawangsa untuk menjadi amangkurat, tentu saja aku akan tetap setia mendukung siapa saja yang menjadi Adipati di Kadipaten di tempatku bertugas."

"Bagaimana jika Adipati itu memberontak atau melakukan kesalahan? seperti masalah di Kadipaten Samudra dan lain-lainnya." Terbesit keinginan Candra untuk mengorek informasi sedalam-dalamnya tentang tata cara memimpin. Sebenarnya, Candra sudah tahu aturan itu, namun sepertinya Candra meragu. Apakah ia mampu memimpin Yudanta? atau malah menghancurkannya.

"Ada yang bilang, kesetiaan seorang amangkurat sepanjang usianya. Itu terjadi pada Kadipaten Batavia seratus tahun lalu. Pada waktu itu Adipati Marwana memberontak, berikut seluruh pasukan hingga sebagian penduduknya dibantai oleh pihak Kedaton. Namun Ki Amartha tetap hidup hingga penuaan menjemput ajalnya. Kedaton menganggap, kesetiaan seorang amangkurat melebihi kekuasaan sang Prabu."

"Lalu, bagaimana dengan amangkurat itu selanjutnya? Apakah ia diasingkan?" Candra menduga.

"Tidak, Ki Amartha ditugaskan untuk menjadi amangkurat. Namun ia melayani Adipati yang baru." Ki Palinggar Jati kembali menyesap kopinya lagi. "Seorang Amangkurat melayani Kadipaten, den bagus. Bukan Adipati?"

Candra menelisik jemarinya, dijemari itu terdapat salah satu cincin batu akik berwanna hijau tua dengan percikan cahaya keemasan. Lalu ia kembali menatap Ki Palinggar Jati yang tetap tenang dengan teh hangat di tangannya. Wajah keriput Ki Palinggar Jati cukup menggambarkan bagaimana pemikiran dan pengalamannya.

"Tetapi, jika aku adalah Adipati di masa mendatang. Apakah engkau tetap setia mendukung Kadipaten Yudanta ini?" Ucap Candra yang terus mencecar Ki Palinggar Jati.

"Tentu saja, den bagus. Semua keputusanmu akan melewati pertimbangan dariku. Tugasku hanya menimbang, apakah keputusan itu baik atau tidak." Ujar Ki Palinggar Jati.

"Tetapi, jika keputusanku tak baik, apakah engkau tetap menyetujuinya?"

"Tentu saja, jika itu sudah menjadi keputusan Adipati." Ki Palinggar Jati kembali menyeruput tehnya. Lalu ia meletakan gelas teh itu di meja sampingnya. "Namun, satu hal, den bagus."

"Apa itu?"

"Para Dewa dan Dewi menciptakan manusia dengan dua telinga, dua mata, namun para Dewa dan Dewi hanya menciptakan satu mulut. Itu menandakan bahwa kita harus banyak mendengar dan melihat, daripada berbicara." Ki Palinggar Jati sepertinya sedang memberikan wejangan kepada Candra. Candra memang kaku, ia tak senang jika dinasihati seperti itu. Hal itu membuat Candra mengubah posisi duduknya karena ucapan amangkuratnya.

"Tetapi, amangkurat selalu banyak bicara, dimanapun dia berada." Balas Candra dengan desingan tak mengenakan.

"Tidak, dimanapun kami mendengar, dan dimanapun kami melihat. Seorang amangkurat bukanlah orang biasa, mereka diberi kelebihan untuk melihat dan mendengar dari jarak yang cukup jauh. Bahkan saat ini, aku tahu dimana kakanda Candrika berada, dan seperti apa keadaan di Kadipaten Samudra." Ujar Amangkurat tua itu dengan tenangnya.

Candra hanya dapat meredamkan emosinya dengan membanting punggungnya di punggung kursinya. Ia mengetahui bahwa amangkurat bukanlah orang biasa. Kemampuan batinnya cukup untuk meyakinkan seorang prabu sekalipun, tanpa harus berurusan dengan tombak atau keris.

Tiga PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang