Sintha
"Kemana kita harus mencari babi-babi itu!?" Gerutu Sintha yang sedari tadi berjalan di belakang calon suaminya.
"Ah,,, mmmnnnn,,, aku tak be-begitu yakin. Tetapi, aku mencium kotoran mereka." Jawab Suli yang membimbing perjalanan.
Mereka berdua belum sah menjadi suami dan istri jika tak memberikan sesembahan berupa seekor Babi hutan jantan kepada Tetua. Kendati Suli adalah putra mahkota Suku Amuntai, tetapi ia harus menunaikan tugas itu sebelum melaksanakan perkawinan. Sungguh rumit memang adat istiadat suku-suku pedalaman ini, namun mereka berdua harus menjalaninya. Mereka berdua hanya berbekal busur panah lengkap dengan anak panahnya, serta sebilah mandau untuk menebas apa saja. Semua senjata itu harus dibawa sang pria, lalu sang wanita tak membawa apapun. Pakaian Sintha-pun berganti, sebelumnya memakai kebaya Jawadwipa, sekarang hanya kain tanpa lengan untuk menutupi tubuh bagian atas dan kain terusan untuk bagian bawah, tak lupa ikat kepala yang tersangkut bulu burung enggang sebagai lambang kebesaran suku Amuntai. Lalu Suli hanya memakai celana kain tanpa baju, hal itu membuat tubuh kurusnya begitu terlihat oleh Sintha.
Sintha tak mengerti dengan permainan ini. Ia sudah lama tinggal di hutan, namun bukan hutan Borneo yang terasa lembab dan dipenuhi lumpur. Berkali-kali, Sintha memberi tanda pada setiap tanpa sepengetahuan Suli. Ia tak yakin calon suaminya ini mampu melindunginya, atau mungkin Sintha mengira bahwa Suli tak tahu jalan pulang nanti.
Sedari tadi, Suli celingukan menatap sekitar. Hari sudah semakin senja dan entah seberapa dalam mereka memasuki hutan Borneo. Gemuruh petir mulai terdengar dari kejauhan dan hati Sintha semakin bergetar.
"Bagaimana kalau kita kembali saja!?" Ujar Sintha kepada Suli.
"Tidak bisa," ujarnya sembari menatap Sintha dengan tatapan ketakutan. "Petuah buruk akan datang jika kita kembali ke perkampungan sebelum menemukan persembahan."
"Hmn," lagi-lagi, Sintha harus berkutat dengan hal-hal mistis yang belum sepenuhnya ia percayai. "Tetapi, hari sudah mulai gelap dan malam ini hujan akan melanda."
"Mereka terkadang sampai berhari-hari di hutan. Malah terkadang ada yang berminggu-minggu tinggal di dalam hutan." Ujar Suli seraya berbalik meneruskan perjalanan. Kaki kurusnya menapaki jalinan akar pohon ulin yang tumbuh subur di segala tempat.
"Apa!? Bagaimana,,, mereka." Sintha ingin menerka namun ia tak mampu berkata-kata.
"Ya, mereka akan tinggal di hutan, terkadang mereka membangun rumah sementara untuk tinggal. Setelah mendapat buruan, mereka akan persembahkan sepasang taring babi hutan jantan untuk sang tetua." Ujar Suli menjelaskan semuanya kepada Sintha.
"Apa!? Hanya taringnya." Sintha terkejut dengan cerita Suli.
"Ya, hanya taringnya," timpal Suli. Lalu mereka kembali menyusuri hutan dengan tenang. Langkah Sintha terasa berat karena kaki-kaki mulai melepuh karena perjalanan. Pakaian suku Amuntai memang tanpa alas kaki, menurut mereka alas kaki akan menghambat pergerakan mereka.
"Tunggu dulu," ujar Suli yang menghentikan langkah Sintha. Pikiran Sintha yang cukup kesal dengan peraturan seperti ini membuatnya tidak memperhatikan perjalanan, sehingga tubuhnya menabrak tangan Suli yang kebetulan menghadap belakang. Tangan Suli sedikit membuat Sintha bergetar karena buah dada Sintha menabrak tangan Suli.
"Auh," jerit kecil Sintha.
"Maaf, sssttttt." Ujar Suli sembari merendahkan badannya. Sintha juga turut merunduk dan mengendap mengikuti ke arah Suli.
Sintha berpikiran bahwa Suli tidak sebodoh yang ia kira, walau tubuhnya sangat tak layak dari sebutan pangeran. Lalu Suli membuka dedaunan dari balik semak belukar. Ia menatap seekor babi hutan jantan dengan bulu hitam seutuhnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/122543896-288-k199037.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Putri
FantasyWarning!!! 21+ berisi kata-kata vulgar yang tidak pantas bagi pembaca di bawah umur. Kesamaan nama, tempat dan kejadian hanyalah kebetulan belaka. Ratna, gadis bengal yang terlibat hubungan terlarang dengan seorang teman kecilnya. Padahal ia adala...