28. Ratna

13.2K 426 8
                                    

Ratna

"Siapa yang melakukan itu?" Seru Prabu Aryawangsa kepada para prajurit yang sengaja ia kumpulkan. Di tanah lapang itu, mereka semua berkumpul. Para Dayang, Prajurit, Tumenggung Rupadi, Ratu Padmi, dan tentu saja Ratna yang sedang menggigil kedinginan.

Ratna baru saja siuman dari pingsan. Hidungnya serasa perih dan nafasnya terengah. Ia barusaja mengalami kejadian mengerikan. Ia hampir diculik oleh Buyung, teman masa kecilnya. Sedari tadi Ratna terdiam tanpa berkata apapun. Mungkin sekarang Buyung telah mati dibunuh oleh para prajurit, atau ia melarikan diri setelah ketahuan. Ratna tak mengerti apa yang dipikirkan oleh Buyung, sehingga ia tega berbuat seperti itu kepada Ratna.

"Sudah kubilang, Ratna tak boleh pergi terlalu jauh meninggalkan rombongan!" Suara Prabu Aryawangsa terlihat begitu geram ketika berbicara kepada Tumenggung Rupadi. Tumenggung Rupadi-lah yang mengijinkan Ratna mandi di sungai pada petang hari, tentu saja Ratna di dampingi oleh para Dayang dan Prajurit yang berjaga. Namun semuanya sia-sia ketika upaya penculikan itu terjadi.

"Hei! Rupadi, kau kuangkat sebagai Tumenggung bukan karena kau pandai berdiam diri." Umpat Prabu Aryawangsa sembari menarik Kelat bahu perak milik Rupadi. "Jawab?"

Lalu Ratu Padmi yang sedari tadi memeluk putrinya menyela perkataan Prabu. Pelukan yang menghangatkan Ratna itu terlepas ketika sang adik di cacimaki.

"Bukan salah Rupadi jika ia mengijinkan Ratna mandi," sela Ratu Padmi sembari menatap geram kearah suaminya. Lalu Ratu Padmi menatap Ratna yang tetap meringkuk kedinginan, "Ratna-lah yang memaksa ingin mandi, ia memang..."

Plaaaakkk!!! Suara tamparan terdengar nyaring.

"Berani benar kau menyela pembicaraanku!" Cecar sang Prabu kepada istrinya yang kurang ajar terhadapnya.

Ratu Padmi terdiam seraya memegang pipinya. Lalu air mata merembes mengikuti alur cekungan matanya. Ia tak sanggup lagi menahannya, Ratu lalu berlari meninggalkan rombongan untuk menuju ke keretanya.

"Tak boleh ada yang tidur malam ini, cari pelakunya sampai dapat!" Perintah Prabu Aryawangsa kepada prajuritnya.

Syukurlah! Ia selamat. Puja Ratna dalam hati. Walau ia telah tersakiti, tetapi Buyung tak boleh mati dengan cara seperti itu. Prabu meminta para prajurit mencari Buyung, hal itu dapat dipastikan bahwa Buyung telah selamat dan melarikan diri.

"Laksanakan, Paduka Prabu!" Ujar Tumenggung Rupadi yang menunduk memberi hormat, lalu diikuti oleh para prajurit lainnya.

Prabu beralih ke Ki Sastramandira yang menatap penuh keprihatinan. "Ki, kirimkan pesan ke Yudanta bahwa perjalanan kita akan terlambat tiga hari."

"Baik, selamat malam paduka Prabu." Ki Sastramandira mengangguk memberi hormat lalu ia berbalik ke arah tendanya untuk segera menulis pesan dan melepaskan burung merpati di pagi nanti.

Ratna masih terduduk di keliling para Dayang setianya. Wajahnya murung menatap jejak-jejak kaki yang tercetak di rerumputan. Lalu, Prabu Aryawangsa berjongkok di hadapan putrinya. Sorotan matanya sayu ketika menatap wajah putrinya. Sorot mata seorang ayah yang sedang menatap putrinya yang hampir meregang yang nyawanya.

"Apakah engkau melihat wajahnya, putriku?" Tanya Prabu secara halus.

Ratna bisa saja menjawab bahwa itu adalah perbuatan Buyung. Namun ia hanya menggeleng perlahan, seakan ia tak tahu menahu tentang pelaku penculikan itu.

"Baik, istirahatlah." Ujar Prabu sembari mengusap rambut kusut Ratna, lalu Prabu mencium kening putrinya.

°•○●

Pagi menjelang, tak ada tanda-tanda dari para prajurit tentang pelaku. Mereka beranggapan bahwa pelaku sudah melarikan diri mengikuti sungai Brantas yang sangat panjang. Sungai itu bermuara ke teluk Rabaya, wilayah kekuasaan Yudanta. Mungkin pelaku itu juga dapat berhenti di suatu tempat dan melarikan diri ke segala arah. Tak mungkin para prajurit Manggalayuda mengejar pelaku sampai sejauh itu.

Ratna mendengar kabar itu ketika Tumenggung Rupadi menceritakan pencarian itu kepada Prabu. Di tenda yang dibuat sementara itu, mereka kembali berkumpul untuk membahas pencarian. Apakah pencarian akan terus dilakukan, atau dihentikan.

"Bagaimana jika lanjutkan perjalanan kita, Prabu?" Ujar Ki Sastramandira yang bertindak sebagai Amangkurat Prabu.

"Tidak! Aku harus temukan pelaku itu dan menggantung lehernya, tepat hadapan mataku. Kejadian ini telah mencoreng Kedaton Ardaka, dan tentu saja diriku. Bagaimana mungkin putriku menjadi sasaran penculikan, dan mengapa pelaku itu menculik putriku." Prabu berkata sembari menatap meja panjang berisi salinan peta Jawadwipa yang dibuat Empu Tantra ratusan tahun silam.

"Hmn, aku menduga, berandal Batara yang melakukan ini." Sela Rupadi meyakinkan sang Prabu.

"Berandal Batara bukan bagianmu, Berandalan itu bagian Tumenggung Bajra." Prabu menjawabnya dengan sengit.

"Dan dimana sekarang Tumenggung Bajra, Prabu?" Rupadi menjawab seakan membalikan perkataan sang Prabu.

"Tidak mungkin Berandalan itu yang melakukannya, karena mereka sudah berlayar ke Borneo. Pasukan Tumenggung Sudra sudah mengejarnya." Kata Prabu seraya menatap ke arah Ratna yang tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan. Batin Ratna berharap jika Berandalan itulah pelakunya, sehingga Buyung dapat selamat dan kembali ke rombongan.

"Apakah paduka melihat sebuah tipuan disini?" Sela Ki Sastramandira menarik kesimpulan. Semua mata tertuju pada pak tua berjenggot nan bijaksana itu. Lalu, Ki Sastramandira melanjutkan ceritanya, "cerita bahwa berandalan Batara telah meninggalkan Jawadwipa bisa saja tipuan. Mereka mengatakannya agar pertahanan kita mengendur dan pemburuan para Berandal dapat ditangguhnya. Kurasa, mereka punya seseorang yang cukup pintar untuk mengelabuhi Kedaton."

"Apa!? Tidak mungkin mereka,,," Prabu Aryawangsa seakan tak percaya dengan perkataan Ki Sastramandira.

"Mereka punya Wardi Sandjaya. Aku pernah bertemu dengannya ketika masih di Paguyuban Maguworekso beberapa tahun lalu. Ia menyamar menjadi salah satu murid disana dengan nama Sukarna Wijaya Kusuma. Ia belajar banyak hal mengenai strategi perang dan lainnya, lalu setelah mencapai tingkat kebijaksanaan tertentu, ia kembali ke hutan Batara untuk bergabung dengan Berandal lainnya." Tukas Ki Sastramandira kepada Prabu.

Prabu tak percaya dengan perkataan Ki Sastramandira, sehingga amarahnya kembali meninggi. "Kenapa engkau tak pernah bilang kalau Wardi Sandjaya pernah tinggal di Ardaka?" Tegas Prabu sembari menatap tajam ke arah penasihatnya.

"Paguyuban Maguworekso terbuka bagi setiap orang Prabu. Setiap orang yang ingin memperoleh kebijaksaan dan menjadi seorang amangkurat. Kita tidak pernah menjadikan amangkurat lawan adalah musuh. Mereka sama seperti saya, tidak memihak kepada siapapun agar terjadi kedamaian diantara kita semua." Ujar Ki Sastramandira. Hal itu membuat Prabu melemah. Memang benar, Amangkurat hanyalah penasihat, tugasnya adalah membuat Jawadwipa ini menjadi negeri yang damai tanpa adanya peperangan.

Untung saja, si tua sok tahu itu dapat meyakinkan Romo. Ratna mendengar adanya celah diantara masalah yang ia dera. Dirinya cukup malu karena mengingkari kenyataan yang ia perbuat. Ratna lalu berdiri dan undur diri dari majelis kecil yang berada di dalam tenda. Ia ingin kembali ke keretanya daripada bergelut dengan para pria yang berbicara soal kekuasaan. Ratna ingin segera pergi dari hutan ini, namun semua itu hanyalah bualan belaka. Tujuannya adalah ke Yudanta dan menetap disana, Ia harus bersiap menghadapi kenyataan disana.

Tiga PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang