26. Maya

14.6K 545 15
                                    

Maya

Gelak suara gelas bertalu riang di pasar Rabaya. Para pedagang yang telah berdagang seharian kembali berkumpul di kedai-kedai untuk melepas penat mereka. Tentu saja, minuman tuak-lah andalan mereka. Maya melangkah sendirian di jalanan pasar yang lembab. Berkali-kali ia harus menutup wajahnya ketika berpapasan dengan para penduduk, termasuk prajurit Jagabaya yang juga dalam pengaruh tuak yang keras. Ia tak pernah mengetahui bahwa para pria ini mabuk-mabukan setiap malam. Maya hanya mengetahui kalau mereka selalu bekerja keras mengumpulkan kepengan disaat siang.

Tubuh Maya bergidik ketika mendengar gelak tawa dari dalam kedai-kedai itu. Suaranya keras dan umpatan kotor sering terdengar dari mulut para penduduk Yudanta. Namun keriuhan itu bukanlah tugas Maya, cukup prajurit Jagabaya yang akan menghukum jika mereka berbuat onar. Maya tak menahu, dimana letak pedagang barang antik tersebut. Tetapi yang jelas, ia cukup mengetahui dimana ia harus bertanya. Maya terpikir dengan Nyi Sukma dan anaknya, Sarmiah. Mereka dikenal sebagai dukun di Yudanta. Entah ilmu darimana, tetapi penduduk Yudanta sering meminta petunjuk kepada mereka berdua.

Langkah kaki Maya menuju ke kediaman milik Nyi Sukma dan keluarganya. Namun ia harus memikirkan cara agar sosoknya tidak ketahuan. Tetapi tak mungkin ia tak ketahuan, seluruh Yudanta mengetahui wajah dan namanya. Ia adalah Raden Ayu yang cukup dikenal oleh rakyatnya selama ini. Lalu Maya terpikir dengan kepengan emas yang dibawanya. Mungkin, emas dapat membeli mulut mereka agar tak menceritakan hal ini kepada orang lain, terutama kepada Adipati Susno.

Tibalah Maya dirumah Nyi Sukma. Rumah yang cukup besar dengan pelataran luas. Atap Joglonya terlihat usang dengan sarang laba-laba menggantung di setiap sisinya. Sebuah pohon Randu yang cukup besar menyambut Maya ketika ia mulai melangkahkan kakinya ke pelataran rumah Nyi Sukma. Nyi Sukma tinggal sekeluarga bersama suami dan seorang putrinya bernama Sarmiah. Sang suami bekerja sebagai tukang jamu dan Nyi Sukma bekerja sebagai dukun. Entah, bagaimana Sukma dapat menjadi orang sakti seperti, tetapi yang jelas banyak yang menduga ia seperti sejak ia dilahirkan.

Langkah Maya telah sampai di teras rumah Nyi Sukma. Langkahnya meragu seiring dengan rintikan gerimis yang menggundang nestapa. Udara dingin dan angin menerpa wajahnya, sehingga penutup wajahnya terbuka setengahnya.

Tuk,,, tuk,,, tuk,,, Maya mulai mengetuk pintu.

Tanpa diduga pintu langsung terbuka dan yang membukanya adalah putri Nyi Sukma, Sarmiah. Wajahnya putih dengan rambut terurai seperti rambut Maya. Matanya begitu hangat memandang setiap orang yang bertemu dengannya. Semburat senyum menandai setiap perangainya. Gadis bernama Sarmiah itu menyapa Maya, "aaahhh,,, Raden Ayu Maya, sebuah kehormatan jika den ayu berkunjung ke rumah kami."

Maya terkejut, ternyata penyamarannya sia-sia. Putri sang dukun itu telah mengetahui sebelum Maya memperkenalkan diri.

"Mari masuk den ayu," pinta Sarmiah dengan keramah-tamahannya. Lalu Maya memasuki rumah itu. Sejenak Maya meragu namun semua keraguan itu harus ia singkirkan terlebih dahulu. Maya kemari mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Tentu saja ia tak ingin pulang tanpa hasil apapun.

"Silahkan duduk den ayu," ujar Sarmiah mempersilahkan Maya duduk disebuah kursi kayu. "Silahkan di minum tehnya, saya panggilkan ibu."

Maya hanya menjawab dengan senyuman saja. Lalu ia duduk di sebuah kursi dengan lengan kayu lengkung di sampingnya. Tatakannya terbuat dari anyaman rotan yang lentur sehingga memanjakan pantat siapa saja yang duduk disana. Mata Maya memandang sekitar, ternyata rumah Nyi Sukma hanya terlihat seram diluarnya saja. Isi dalamnya seperti rumah penduduk lain pada umumnya. Lalu Maya menatap gelas kayu dengan seduhan teh di dalamnya.

Tunggu dulu! perasaan ia belum membawakanku teh, tetapi kenapa ada teh yang masih panas disini. Ujar Maya dalam batinnya sembari meneliti gelas berisi teh panas tersebut. Maya memperhatikan pinggiran gelas dan ia memastikan bahwa teh ini belum tersentuh oleh siapapun, kecuali Maya. Mungkin memang benar, kesaktian keluarga Sukma sudah terbukti diawal kedatangan Maya. Ia belum datang namun minuman sudah disediakan.

Tak perlu menunggu lama ketika Nyi Sukma tiba dengan membawa sebuah cangkir berisi air putih. Kulitnya putih seperti putrinya dan senyumnya tetap menawan walau usianya sudah tak muda. Rambut Sukma tergelung rapi layaknya Raden Ajeng. Kebayanya berasal dari sutra tipis dengan warna kelabu. Lenggokan badannya terlihat menawan ketika ia melangkah mendekati Maya.

"Hmn, Raden ayu Maya. Apa gerangan kemari den ayu." Ujar Nyi Sukma sembari menatap mata lugu Maya yang berlari kesana kemari.

Maya tertegun sesaat, ia tak tahu harus memulai percakapan ini dari mana. Tetapi yang jelas, Maya memang dalam masalah besar kali ini, dan ia tak seharusnya diam seribu bahasa.

"Hmn," Nyi Sukma berdehem sejenak. Lalu ia menebak, "Den ayu telah menumpahkan cairan dari Borneo itu, bukan?"

Maya terkejut, ternyata Sukma sudah mengetahui maksud kedatangan Maya kali ini. Maya hanya menganggukan dagu sembari menatap kagum dengan keahlian Sukma yang tiada duanya itu.

"Sebenarnya, cairan itu sangatlah berbahaya jika digunakan oleh perawan atau perjaka. Sukar sekali untuk disembuhkan apabila terkena cairan itu, apalagi den ayu memakainya terlalu banyak." Ujar Sukma sembari menatap gelasnya. Lalu ia kembali menatap Maya dan tersenyum, "tetapi ada gunanya juga cairan itu."

Maya kembali terperanjat karena topik pembicaraan semakin serius saja. Ia yakin bahwa Nyi Sukma dapat mengobatinya, namun ia belum yakin sepenuhnya.

"Pengaruh cairan itu sungguh kuat den ayu," Nyi Sukma berbicara lagi. Matanya menatap Maya dengan penuh sendu, seakan menjelaskan bahwa Maya akan tertimpa sesuatu yang bukan menjadi keahliannya. "Namun dibalik itu, den ayu dapat membantu orang lain. Asal dengan penggunaan yang benar."

"Apa itu Nyi?" Maya menyahut dengan penuh rasa penasaran dan pengharapan.

"Lidah yang pahit dan telinga yang gatal," lagi-lagi Nyi Sukma memberikan sebuah petunjuk yang tidak pernah dimengerti oleh Maya.

"Maksudnya?" Maya menyahut lagi.

"Den ayu akan menjadi seorang yang pahit lidah dan telinga gatal." Ujar Nyi Sukma kembali.

Maya tak mampu mengartikan semua perkataan Nyi Sukma, sehingga ia hanya menelengkan kepalanya.

"Hmn," Sukma berdehem sembari tersenyum tenang. "Maksudnya seperti ini, lidah yang pahit berarti seluruh perkataan den ayu akan terjadi saat itu atau di masa mendatang. Dan telinga gatal berarti seluruh umpatan dan gunjingan, atau bahkan kutukan seseorang akan terjadi kepada den ayu."

Maya terperanjat ketika mendengar perkataan itu. Ia sendiri tak mengerti, namun ia dipaksa untuk mengerti dengan pernyataan Nyi Sukma. Dalam semua hal Maya terlihat unggul, namun dalam hal gaib seperti ini Maya tak pernah mempelajari.

"Tetapi tenanglah den ayu, engkau hanya perlu berlaku baik, sebaik apapun yang den ayu bisa lakukan. Bergaulah dengan semua orang agar mereka tida menggunjingmu. Aku yakin, den ayu dapat melakukan semua itu." Pernyataan Nyi Sukma itu seakan menjadi penawar bagi Maya.

"Tetapi, ada satu ritual yang dapat menghancurkan pengaruh dari cairan itu." Ujar Nyi Sukma seraya memandang kembali air di cangkirnya.

"Apa itu, nyi!?" Maya semakin penasaran.

"Namun letaknya jauh, di pedalaman hutan Batara." Ujar Nyi Sukma. "Butuh waktu setengah purnama untuk sampai disana. Belum lagi jalur Keprabuan yang semakin tak aman."

"Dimana tempatnya Nyi? Kebetulan sekali, aku akan pindah ke Ardaka sebentar lagi." Ucap Maya yang gelagapan.

"Air terjun Kayangan. Terletak di sebelah timur Kedaton Ardaka, disana ada sebuah air terjun bertuah yang akan mengobati segala jenis kutukan. Bahkan kutukan yang terampuni sekalipun." Balas Nyi Sukma," tetapi syaratnya cukup berat, den ayu."

"Apa itu?" Tantang Maya.

"Engkau harus membawa kami sekeluarga kesana, ke Ardaka sana."

Maya tak tahu lagi harus berkata apa. Hampir tidak mungkin membawa keluarga ini mengikuti arak-arakan ke Ardaka. Orang-orang bisa curiga dengan adanya keluarga Nyi Sukma di rombongan. Maya terpaksa menjawab, sebelum batinnya bertindak.

"Bagaimana den ayu?" Nyi Sukma bertanya lagi.

"Baiklah, tetapi sebelumnya aku harus memikirkan caranya agar Nyi Sukma sekeluarga berangkat ke Ardaka."

Tiga PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang