Maya
Mayalisa Abikusno, itu namanya. Usianya 14 tahun dan ibunya meninggal sesaat sebelum meninggalkannya. Para dayang bercerita bahwa ibunya pergi ke suatu tempat yang jauh dan indah. Mereka bercerita kepada Maya kecil bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan ibunya, juga saudari kembarnya yang ikut dengan ibunya. Sesungguhnya ibunya meninggal karena melahirkan bayi kembar. Seluruh mantri dari penjuru Jawadwipa didatangkan, termasuk salah satu amangkurat Kedaton, ki Harsono. Mereka kehabisan akal dan sang ibu kehabisan tenaga untuk mengeluarkan putri keduanya saat itu.
Maya dan Lisa. Itu adalah pesan sang ibu kepada suaminya sesaat sebelum ia melalui proses persalinan panjangnya. Pesan itu berarti nama sang buah hati jika terlahir perempuan. Ibunya tak memikirkan nama lelaki karena itu bagian untuk sang ayah, Adipati Raden Abikusno, penguasa Kadipaten Yudanta dan benteng pertahanan timur Jawadwipa. Namun persalin ibunya hanya menghasilkan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan Maya. Sang ayah memberi nama Mayalisa sebagai gabungan antara kedua nama yang diberikan oleh ibunya.
Maya mempunyai mata hitam kecoklatan yang jernih dengan bagian putih yang lentik. Alisnya tebal mirip sang ibu, namun matanya mewarisi sang ayah. Perangainya ramah dan ia dijuluki Raden Roro Ayu yang manis. Kulitnya tak putih namun sawo matang. Bibirnya tipis kecil dengan lesungan pipi yang membuatnya semakin manis jika tersenyum. Hidungnya melengkung dengan lubang kecil di setiap sisinya. Ia tak senang rambutnya di gelung, menurutnya digelung itu membuatnya pegah. Padahal para dayang kadipaten Yudanta menceritakan bahwa para ratu mempunyai gelungan rambut yang indah. Namun ia tetap berdalih bahwa ia lebih cantik dengan rambut terurai seperti ini. Tubuhnya ramping dengan buah dada ranum yang mulai menonjol di kedua sisinya. Kakinya jenjang dan selalu rapat menutupi daerah keperawanannya.
Ketika berjalan, ia selalu tersenyum manis kepada setiap orang yang berpapasan dengannya. Tak pelak, ia menjadi sosok idola di hati rakyatnya. Maya tak pernah ragu atau malu bergaul dan berbicara dengan siapa saja. Menurutnya, mereka semua sama, hanya berbeda nasib saja. Ia terlahir di rahim seorang Raden Ayu, sedangkan yang lain lahir di rahim sang ibu. Raden ayu dan ibu itu sama-sama wanita. Jadi tak ada bedanya.
Keluarga Abikusno mendiami salah satu rumah besar yang menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Yudanta. Yudanta berada di bawah kekuasan Kedaton Ardaka yang terletak tepat di pantai timur Jawadwipa. Yudanta mempunyai kota pelabuhan bernama Rabaya karena teluk yang membopengkan Jawadwipa bernama teluk Rabaya. Sang Ayah, Adipati Raden Susno Abikusno merupakan pemimpinya.
Maya memiliki dua orang kakak lelaki, yang pertama bernama Raden Mas Candrika Abikusno dan yang kedua bernama Raden Bagus Candrakanta Abikusno. Namun sang kakak pertama yang bernama Candrika mengabdikan dirinya sebagai prajurit Mangkujiwo dan sekarang hidup matinya di tangan Prabu Aryawangsa di Ardaka sana. Alhasil tahta kadipaten Yudanta berada di tangan kakak keduanya yang berusia 20 tahun, Candrakanta.
Hal itu tak sedikitpun membuat Maya iri. Malahan ia menangis seminggu penuh ketika kakak pertamanya Candrika meninggalkan Yudanta. Sudah 3 tahun kakak pertamanya pergi dan Maya sudah menyibukan dirinya dengan segala aktivitasnya. Candrakanta selalu sibuk menemani sang ayah memimpin Kadipaten. Menurut sang ayah, kadipaten inilah yang menggerakan roda pemerintahan di Jawadwipa. Sedangkan Kedaton Ardaka memberi perlindungan terhadap mereka. Hal itu selalu menjadi perdebatan antara ayah dan anak itu. Menurut sang anak, “kadipaten tak harus mengirimkan upeti-upetinya ke Kedaton. Kedaton juga jarang sekali mengirim prajurit-prajurit mereka. Buktinya kangmas Candrika tidak pernah pulang selama tiga tahun belakangan ini.” Namun sang ayah dengan tenang menjawab, “kadipaten memang cukup kuat dengan prajuritnya sendiri, namun tak cukup kuat untuk menahan musuh dari luar Jawadwipa. Mereka akan mengirim ketika kita benar-benar diserang. Kakanda adalah seorang Mangkujiwo, tugasnya berada disamping Prabu, menjaganya setiap saat dan ia bangga menjadi salah satu dalam torehan sejarah Jawadwipa.” Candra terdiam menanggapi jawaban tegas sang ayah. Adipati Susno justru senang dengan tanggapan sang anak tentang cara memerintah. Namun ia juga takut ketika Candra kelak melawan Kedaton Ardaka dengan perangainya yang keras dan selalu ingin unggul dalam segala hal. Untuk itu sang ayah, Raden Susno mengajarinya cara memerintah dengan sabar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Putri
FantasíaWarning!!! 21+ berisi kata-kata vulgar yang tidak pantas bagi pembaca di bawah umur. Kesamaan nama, tempat dan kejadian hanyalah kebetulan belaka. Ratna, gadis bengal yang terlibat hubungan terlarang dengan seorang teman kecilnya. Padahal ia adala...