2. Teman

9 0 0
                                    

"Kerjakan soal yang ada di papan,  yang bisa langsung maju ke depan. Nanti kalo gak bisa,  bisa tanya ke saya langsung atau tanya teman dulu kalau temannya sudah bisa"

Mereka semua hening. Walaupun mereka tidak suka jam mata pelajaran matematika,  tapi mereka semua tetap berusaha mengerjakan. Mengerjakan soal yang mudah setelah itu mereka akan bergosip ke sesama teman sebangkunya.

Sreeeggg.....

Suara kursi bergesek dengan lantai.

"Ajari Gie," dengan senyum lima jarinya. Duduk di samping Giesel dengan kursi yang di tariknya tadi dan dengan buku tulis dan paket di tangannya. Tak lupa pensil ya masih di jepit kan di telinga.

Bangku mereka sekarang sangat jauh. Giesel berada di bangku depan sedangkan Gerald berada di pojok belakang. Makanya dia menarik kursinya agar bisa berada di samping Giesel.

"Yang mana? "Tanya Giesel

"Yang nomor 4"

"Ow ini" dia pun mencoret coret di buku Gerald. Dengan wajah serius dia mulai menghitung dengan tumak ninah.

Gerald yang memperhatikan Giesel yang sangat serius mulai membuat percakapan.

"Kenapa buku gue lo coretin? "

"Katanya suruh ajarin" dengan memandang Gerald

"Tapi kenapa gak buku elo aja"

"Buku gue dipinjam,  mau gue ajarin enggak? " tanya Giesel. Dalam hati dia juga meruntuki kebodohannya. Seharusnya dia mengarahkan bagaimana cara mengerjakan bukan malah mengerjakan soal itu di buku Gerald dan baru menjelaskan. Tapi sudah terlanjur dia akan menjelaskan setelah mengerjakan di buku itu.

"Mau lah... Gak apa-apa lo coret coret buku gue, sampek penuh dengan rumus rumus pun gue rela"

"Hhhh.... Jadi gini,  ini harus di kali dulu sama yang ini..... " Giesel menjelaskan secara detail kepada Gerald. Dan Gerald juga bersungguh sungguh saat mendengar penjelasan dari Giesel.

Padahal jantung Giesel sudah disko karena berdekatan dengan Gerald sedekat ini.

"Trus baru disubtitusi"

"Ow gitu,  bentar gue subtitusikan dulu" dia mulai meneruskan jawaban yang dibuat oleh Giesel. Sedangkan Giesel memandang wajah orang yang selama ini berada di dalam hatinya. Entah,  sudah sejak kapan rasa itu tumbuh. Dan sekarang semakin berkembang.

"Yaampun Gie" Giesel terlonjat kaget. Dia takut jika ketahuan sedang memandangi wajahnya. Dia segera mentralkan wajah keterkejutannya.

"Ada apa? " Gerald memandang wajah Giesel

"Lo tahu gak?" Tanya Gerald. Dan Giesel menaikkan satu alisnya dengan pandangan apa.

"Gue susah susah ngerjain tapi hasilnya cuma 2. Jawaban segini banyaknya dan hasilnya cuma 2?"

"Ya iyalah, orang angkanya juga kecil²"

"Tapi bayangin ya kalau kita ujian,  soal kayak gini,  jawabannya satu lembar,  dan hasilnya cuma 2. Mending gue makai kancing aja buat ngejawab kayak gini" dengan senang hati buku yang dipegang Giesel melayang ke bahunya.

"Kenapa? " dengan tatapan tak mengerti

"Kalau kayak gitu semua,  yang ada nanti lo malah salah semua. Coba dulu kalo udah kepepet baru pakai hitungan kancing" ucap Giesel

"Iya iya,  bercanda doang. Btw thanks ya Gie udah ngajarin. Gue pulang ke tempat semula"

"Udah,  sana pulang. Halangin jalan tu kursi lo"

"Iya iya,  kalau gue pulang jangan kangen ya" dia menatap Gerald dengan datar. Gerald membuat baper orang yang mengajarinya tadi.

"Uhh wajah lo kok nyeselin gitu ya" ledek Gerald. Dan seketika Giesel ingin berdiri.

"Iya iya,  gue pulang. Dadah teman" Gerald sekarang sudah pergi dengan kursinya. Tapi hati seseorang harus kembali meringis. Gerald hanya menganggapnya sebagai teman. Tak lebih dan tak kurang. Takaran yang cukup membuat hati Giesel berdenyut.

.......

Teeeet teeeet teeeet.....

Bel tanda istirahat telah berbunyi. Waktunya untuk menuju surga. Dimana semua makanan tersedia di sana. Mana lagi kalo bukan kantin.

"Ke kanti yuks," ucap Bella yang sudah berada di samping Giesel bersama Zoya. Dijawab anggukan oleh Giesel dan Tiffany.

Saat mereka hendak keluar, tiba tiba suara seseorang yang selama ini dia hafal,  memanggil temannya.

"Zoya... "

"Iya ada apa?"

"Nitip beliin makanan,  terserah yang penting gak pedes sama minumnya satu,  trus sisanya buat lo"

"Oke,  nanti gue beliin" kata Zoya

"Thanks" ucap pemilik suara yang dihafal oleh Giesel.

Dan Giesel meneruskan langkahnya menjajarkan langkah kaki milik Tiffany dan Bella.

"Lo kemana tadi kok tiba tiba hilang gitu aja? " tanya Tiffany

"Benerin tali sepatu tadi lepas" ucap Giesel

"Ow,  gue kira lo gak jadi ke kantin. Oh, dimana Zoya? Perasaan tadi yang ngajak dia deh" ucap Bella

"Gue disini" ucap Zoya

"Dari mana aja lo?  Tumben lama" tanya Tiffany

"Tadi Gerald nitip beliin jajan. Trus sisanya buat gue,  lumayanlah gak ngeluarin uang saku gue"

"Ow,  yaudah buruan pupung kantinnya juga belum begitu ramai" ucap Giesel

Giesel hanya tidak ingin membahas tentang Gerald. Dia cemburu pada sahabatnya. Tapi dia juga sadar bahwa dia juga bukan siapa siapa bagi Gerald. Dia menepis semua yang dirasakannya.

.....

Koridor kelas 11 sudah tidak seramai tadi. Karena sudah banyak siswa ataupun siswi yang sudah pulang. Mungkin tinggal beberapa anak yang masih menunggu. Menunggu jemputan ataupun sepeda motornya yang belum bisa keluar.

Teman teman Giesel sudah dari tadi menuju parkiran. Mereka memilih untuk melewati lapangan ketimbang halaman belakang belakang. Bagi Giesel lebih baik lewat belakang,  selain jaraknya dekat dengan parkiran,  juga gak seramai di lapangan.

Saat dengan santainya berjalan,  ada seseorang yang menjajarkan langkahnya.

"Gie,  minta nomer lo dong. Kita temenan gak pernah kontakan" perasaan Giesel sudah mau loncat. Tapi dia meruntuki kebodohannya lagi. Dia aja lupa gak bawa hp dan lagi dia gak hafal nomer nya sendiri.

"Aduuuh,  gue gak bawa hp lagi. Mana nomernya gak hafal, gimana? "

"Yaudah besok besok aja, santai aja" senyumnya yang bikin melelehkan hati Giesel.

"Kalo lo mau minta,  minta aja ke Riky. Dia punya nomerku"

"Gak pa-pa,  besok besok aja. Yaudah ya gue duluan" dengan senyuman. Giesel bingung apa dia salah berbicara. Dia menganggap wajarkan jika ia menyuruh Gerald untuk minta ke temennya sendiri.

Gerald sudah pergi sedari tadi. Sedangkan Giesel berjalan dengan sangat lambat. Dia tidak ingin bertemu dengannya saat di parkiran. Makanya dia ingin melamakan jalannya.

Saat diparkiran,  tepat dugaan Giesel. Motor Gerald sudah tidak ada. Tapi rasa sedikit kecewa sih saat dia meninggalkannya.

"Huufffh"

Giesel menghembuskan nafasnya dan pergi meninggalkan sekolah yang menjadi saksi perasaannya yang tumbuh.

SODATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang