Bab 28.1 : The Innocent

146K 10.1K 294
                                    

Adria sedang duduk dibawah pohon yang daunnya sudah berguguran, di taman belakang kampusnya. Cuaca yang sangat dingin membuat para mahasiswa lain malas untuk sekedar bersantai atau berkumpul di taman. Mereka lebih memilih berada di café atau di dalam ruangan dengan penghangat ruangan, ketimbang berada di luar ruangan. Namun tidak bagi Adria karena dia saat ini sedang duduk sambil membuka-buka majalah fashion dan mencoba beberapa kali membuat sketsa meski terus gagal.

Saat dingin semakin menusuk dan angin berembus, Adria merapatkan coat pink miliknya dan juga scarf-nya. Beberapa kali ia meniup kedua tangannya dan menggosoknya, untuk mengurangi rasa dingin yang membuat tangannya nyaris mati rasa.

Ketika ia membuat sketsa di atas kertas sketsa, tangannya beberapa kali bergetar dan wajahnya memerah karena merona. Ingatan itu kembali, memenuhi otaknya dan segala pikirannya hingga ia tak bisa fokus. Bayangan tubuh gagah Damien tanpa penghalang, dan semua kegiatan malam mereka yang membuatnya terus terbayang.

Damien benar, ketika mereka melakukannya saat Adria mabuk, justru melakukannya dalam keadaan sadar lebih menyenangkan. Tangan dinginnya menyentuh lehernya dibalik scarf kemudian menyentuh bibirnya yang masih terasa ciuman panas dan sentuhan Damien. Beberapa kali Adria tersenyum-senyum sendiri.

"Kau tersenyum sendiri, ada yang membuatmu senang?" tanya Alan dengan suara berat.

Adria menoleh dan mendongak kemudian tersenyum ramah dan menggeser duduknya. Membuat Alan yang masih berdiri pun ikut duduk. Pemuda itu memberikan satu cup hot coffee pada Adria dan langsung diterimanya.

"Thanks," ujar Adria.

"Ya. Kau belum datang ke café tempatku biasa perform, padahal aku selalu menunggumu datang bersama suamimu," balas Alan.

Adria terkekeh pelan dan menyeruput kopi panasnya yang mulai menghangat. "Kau selalu mentraktirku kopi panas, kapan-kapan aku yang akan mentraktirmu ya," ujar Adria.

"Cukup kau datang ke café tempatku perform sudah cukup, aku akan menunjukan makanan khas di café-ku."

Adria menaikan sebelah alisnya, "Jadi itu café milikmu?"

"Ya, karena aku suka dengan kuliner dan musik, aku membuka café sendiri. Dari hasil perform selama ini, aku menabung dan membuka sebuah café bersama adikku. Dia masih sekolah tingkat akhir, karena orang tua kami sudah tidak ada, jadi kami harus hidup berdua." Alan menjelaskan dengan raut wajah yang terlihat sedikit sedih. Namun Alan langsung tertawa kecil, "Maaf, aku sampai tak sadar bercerita seperti ini."

Adria ikut tersenyum tapi merasa bahwa hidup Alan tak ubahnya seperti hidupnya sendiri, atau mungkin Alan lebih beruntung karena tidak pernah dijual sebagai manusia. Adria menatap Alan dengan seksama, tak menyangka dibalik penampilan Alan yang cukup modis, terlihat tampan bagai pangeran kampus, dan anak musik, ternyata ia memiliki latar belakang yang cukup suram.

"Tidak apa-apa, aku senang kau mau berbagi padaku," balas Adria. Ia juga ingin bercerita bagaimana hidupnya, tapi tidak ingin karena saat ini hidupnya cukup sempurna. Memilki suami setampan Damien, kaya raya dan tidak kekurangan meski ia tak memiliki seorang ibu dan ayahnya yang jauh.

"Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan pesawat saat aku dan adikku masih kecil, perusahaan ayahku diambil semua oleh pamanku dan kami dititipkan ke panti sosial. Aku dan adikku kabur dan mulai mengamen, dari sana aku mulai mencintai musik dan berusaha mengumpulkan uang." Alan kembali bercerita.

"Jadi karena itu ya kau begitu mengenal Luci? Karena kalian mengalami kehidupan yang sama?" bisik Adria dengan dahi mengerut.

Alan mengangguk, "Ya, karena kami memang mengalami nasib yang sama."

Adria pun mengangguk paham, Alan menyembunyikan semua kesuraman dalam hidupnya dengan menjadi bintang di kampus dan pemuda yang cukup ceria. Dari cerita Alan, ada yang bisa Adria pelajari bahwa meski keluarganya hancur ia masih memiliki ayah. Dia harus memaafkan ayahnya dan kembali seperti dulu, menjadi Adria yang mneyayangi sang ayah.

"Adria, kau tahu tentang kematian Luci? Apa menurutmu dia bunuh diri?" ujar Alan tiba-tiba.

Adria mengerutkan dahinya, "Aku tidak tahu apa dia bunuh diri atau dibunuh. Mendengar ceritamu tentangnya, dugaan dia bunuh diri sangat kuat dan mungkin saja dia depresi dengan hidupnya."

"Ya, saat Luci pergi ke café-ku bersama seorang pria beberapa minggu lalu aku sempat mendengarnya bertengkar dan membawa-bawa masalah perceraian. Pria itu merupakan kekasihnya, dan dia simpanannya. Karena istrinya mengetahui tentang hubungan mereka, jadi istri pria itu meminta cerai, ini yang aku dengar dari pertengkaran mereka ketika aku mau pulang."

"Apa dia dibunuh?" Adria membulatkan mata abu-abunya. "Alan, suamiku seorang pengacara handal. Kita bisa meminta bantuannya untuk membantu mengungkap kasus Luciana."

"Suamimu kan pengacara, mengungkap kasus kematian Luci hanya bisa dilakukan oleh polisi," balas Alan.

"Tapi kan kasihan Luci, dia meninggal karena depresi lalu minum racun. Bagaimana jika meminta bantuan Daddy-ku? Dad seorang polisi di desa kami."

Alan tertawa kecil, "Adria, London bukan wilayah ayahmu, dia tidak bisa mengungkap kasus kematian Luci. Biarkan saja kepolisian London yang menanganinya."

Adria menyengir karena merasa begitu konyol dan tak mengerti apapun tentang hukum, meski ayah dan suaminya orang-orang yang berada di bidang hukum.

"Adria!" suara panggilan seorang pria terdengar.

Adria dan Alan menoleh ke belakang dan melihat sosok Damien dalam balutan jas biru dan kemeja biru sedang berjalan ke arah mereka dengan wajah yang sangat datar dan tatapan dingin.
Melihat Damien yang berjalan ke arahnya, Adria tersenyum dan ikut bangun menunggu Damien mendekat. Ketika Damien mendekatinya dan merengkuh pinggangnya, Adria pun memeluk perutnya.

"Alan, ini Damien suamiku," ujar Adria pada Alan.
Alan bangun dan mengangguk dengan sopan pada Damien, menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan, tapi Damien tetap bergeming dengan wajah dingin. Hal itu membuat Alan merasa malu dan menurunkan kembali tangannya.

"Alan Witscher," ujar Alan dengan ramah.

"Damien Romanov," balas Damien masih dengan wajah datar dan suara rendah.

"Dami, nanti malam kita ke café milik Alan ya? Aku ingin mengunjunginya dan melihat perform-nya. Kau tahu? Dia akan mentraktir kita dengan menu andalannya," ujar Adria seraya menoleh pada Alan dan menaik turunkan kedua alisnya.

Alan tertawa kecil dan mengangguk, "Dan secangkir kopi."

Damien masih diam, menunduk dan menatap Adria dengan sebelah alis terangkat, "Semalam kau mengatakan ingin ke desa dan sekarang ingin ke café?"

"Kita ke café Alan nanti malam, dan pergi ke desa hari minggu besok," balas Adria. "Kau ini, bilang saja takut aku suruh bayar kan?"

Damien semakin merengkuh tubuh Adria seakan menunjukan keposesifannya yang sangat nyata pada Alan. Dia juga mengecup rahang Adria dan berbisik, "Aku tidak akan bangkrut, sayangku."

Adria mencibir dan mencubit pinggang Damien karena mencium rahangnya, "Iya, iya aku tahu."

"Kita pulang," lanjut Damien lagi.

Adria mengangguk kemudian menatap Alan. "Alan, kami pulang ya, nanti malam aku akan bujuk Damien supaya mau datang."

Alan mengangguk dengan senyuman ramah tanpa mengatakan apapun. Setelah itu Adria pun pergi bersama Damien meninggalkannya, dengan Damien yang masih memeluk Adria dengan posesif. Membuat beberapa mahasiswa yang melihat hal itu merasa iri, karena Adria dipeuk dengan posesif oleh pria setampan dan segagah Damien.

Tanpa Adria sadari, Damien menyembunyikan seringai dan tatapan misteriusnya.




(^0^)(^0^)


Yaaaayy... Damien kambeeeeekkk....

Masih lanjut gaaaaaakk? Wkwkkwwk #plak!
Pelan2 ya, alurnya memang sengaja kubuat agak lambat. Karena aku pengen ada proses antara cinta adria sama damie. Gak mau yg langsung saling cinta, dlm waktu singkat.

Semua kelakuan dimitry dan semua rahasianya juga perlahan di ungkap. Nggak bakal sekaligus, kaya biasa akan selalu aku sisipkan clue gitu.

Jangan lupa vote ah. Okeh, muach!

Satu lagiii, nanti kalo Dimitry sudah terbit jangan lupa pada beli ya. Hihihi #plak!

Pokoknya jgn lupa vote, barangkali ajah Damien yg gila ini disenggol penerbit mayor. Efek senggolan, palingan mejeng di Gramedia, atau bisa jadi malah nyungsep di selokan😂😂😂😂😂

Damien's Lover ✔ [Tersedia di Google Play & platform Kubaca}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang