EMPAT - Sebuah Misi

794 130 81
                                    

***

Vote and comment biar lanjut. Happy reading :)

***

Sankhara menutup telepon rumah milik Rafael dengan kasar sambil mengeluarkan segudang umpatan yang semuanya ia tujukan untuk seorang Rafael Sridjaja. Ia baru saja mengakhiri pembicaraannya dengan Atma di telepon, dan pesan yang disampaikan Atma sukses membuat suasana pagi harinya yang tadinya cerah, ceria, dan seterik matahari seketika berubah menjadi kelabu.

Padahal hari ini bukan hari senin, hanya hari rabu. Akan tetapi hari ini terasa sangat kelam untuk Sankhara. Apalagi penyebabnya jika bukan gara-gara si bupati berengsek dan sialan itu?

"Kata bapak, kamu kapan-kapan aja masuk kantornya. Urus rumah saja belum becus gimana mau urus kantor? Terus, jangan pakai telepon rumah lagi biar aku yang nelpon kamu, Sang. Gara-gara kamu rusakin tujuh cangcut kesayangan bapak, gaji kamu bakal dipotong buat biaya ganti rugi cangcut mahalnya bapak dan tarif si telepon."

"Lebih baik kamu jangan bikin ulah lagi ya, Sang. Mending belajar bikin menu baru biar bapak berubah pikiran buat motong gaji kamu, dan jangan lupa baik-baikin aku Sang."

Ketika Sankhara mempertanyakan maksud ucapan Atma mengapa dirinya harus bersikap baik kepada Atma, pria itu pun menjawab dengan penuh percaya diri, "Supaya kamu punya bekingan, Sang. Kan lumayan aku mau beking kamu. Jadi mohon bantuannya mulai hari ini ya, aku mau makan rendang. Bikinin yang enak ya?"

See? Baik majikan maupun supir, keduanya sama saja. Sama-sama sakit jiwa. Pupus sudah sekarang harapan Sankhara untuk menjadi asisten di sebuah organisasi, padahal ia sudah berandai-andai betapa kerennya dia jika menggunakan setelan jas, ataupun seragam seperti Rafael.

Hmmm, kalau dipikir-pikir untuk menjadi staff di kantor bupati yang memakai seragam itu haruslah seorang PNS, tapi Sankhara merasa sudah cukup senang jika bisa masuk ke kantor itu sebagai asisten Rafael meskipun hanya mengenakan kemeja biasa. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, alih-alih menjadikannya sebagai asisten kantor, Rafael justru menjadikannya sebagai asisten rumah tangga.

Kalau begini mah, namanya saja yang 'Asisten'. Kenyataanya sih 'Asisten rasa babu'.

Seumur hidupnya Sankhara hidup sebagai seorang lelaki, ia tidak pernah merasa direndahkan seperti ini. Ia bisa memasak masakan yang agak mudah, namun ia sekalipun tidak pernah mencuci pakaian. Wong pakaiannya selama ini masih dicuciin orang, sekarang bupati berengsek itu dengan tidak berdosanya meninggalkan cucian kotor yang menumpuk seperti ini.

Rasa-rasanya Sankhara ingin menarik semua celana dalam Rafael sampai karetnya lepas biar pria itu tahu rasa sedikit. Tapi jika celana dalam saja yang rusak, tentu bukan masalah yang besar karena Rafael bisa membelinya lagi.

Sama saja bohong, batinnya.

Dengan kesal, ia membanting tujuh helai kain berbentuk segitiga yang bentuknya sudah abstrak itu ke atas lantai dan menginjaknya sambil melompat-lompat sambil mengutuk agar bokong Rafael bisulan dan tidak bisa duduk dengan baik selama seminggu.

Dan kutukan Sankhara sepertinya mulai tersampaikan kepada Rafael. Buktinya di kantor Bupati, pria yang sedang rapat bersama para stafnya tiba-tiba bersin tanpa henti.

"Mau tissue, Pak?" Tawar seorang staf wanita.

"Atau mungkin mau sapu tangan?" Seorang ibu yang duduk di arah jam tiga Rafael ikut menawarkan.

"Mau minum dulu, Pak?" Seorang bapak-bapak berkumis bergegas pura-pura meraih ceret dan hendak menuangkannya ke dalam cangkir, namun aksi cari mukanya pun sukses terhenti ketika Rafael mengisyaratkan 'Tidak' dengan lambaian tangan.

FUGOSTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang