DUA PULUH - Perhatian Kecil

806 137 73
                                    

***

Tadinya Sankhara ingin bicara empat mata dengan Rafael seusai pria itu keluar dari toilet, tapi entah mengapa Rafael tiba-tiba sibuk sekali. Semua orang mencarinya sampai pria itu makan siang sambil bekerja sehingga Sankhara akhirnya berakhir dengan makan nasi padang di warung depan bersama Atma.

Banyak sekali yang ingin ia bicarakan dengan pria itu walaupun ia tidak yakin apakah ia berani menanyakan apa pandangan Rafael tentangnya, mengapa pria itu mempertahankannya untuk berada di sana, dan mengapa pria itu ingin tahu banyak tentang masa lalu Sankhara. Semua pertanyaan yang tersusun rapi di dalam kepala cantik Sankhara hanyalah wacana yang sampai kapanpun belum tentu akan ia sampaikan kepada Rafael. Mungkin ia akan tetap seperti ini, hidup dalam kebohongan yang ia ciptakan dan menebak isi kepala Rafael yang penuh dengan duri kaktus, dimana jika ia salah menduga, pada akhirnya Sankharalah yang akan terkena imbasnya.

"Woy, Sang! Makan yang benar. Kalau nggak mau makan, sini!" Atma yang sejak tadi melihat Sankhara mengaduk nasi dengan tidak nafsu pun akhirnya tidak tahan juga untuk berceloteh. Ia mengambil garpu dan bersiap-siap menancapkan garpu pada daging rendang yang masih nangkring cantik di atas piring Sankhara, namun Sankhara yang sudah bisa menebak maksud tersembunyi Atma langsung mengangkat piringnya jauh-jauh dari jangkauan Atma.

"Kita ini bayar sendiri-sendiri, jadi makan rendang punya lo." Sankhara meletakkan piringnya kembali dan kembali menyantap makan siangnya.

"Kok lo tahu gue ngincer rendang lo?" Tanya Atma polos.

"Dari tadi lo udah ngences aja ngeliat rendang gue."

"Emangnya keliatan banget ya?" Atma mengelap sudut bibirnya dengan polos.

"Lagian lo itu gampang sekali ditebak." Kata Sankhara. Beda sekali dengan seseorang, batinnya kemudian.

"Ngomong-ngomong ya, Sang." Atma menoleh pada Sankhara. Jarang-jarang kita makan berdua di luar begini. Biasanya kan Pak Rafael pesan makan, jadi kita makan di kantor. Ini si bapak cuma makan mie instan aja di kantor, gue curiga deh. Jangan-jangan si bapak bukannya sibuk, tapi dia lagi miskin, nggak sanggup gaji kita makanya dia makan mie instan."

Sankhara terkekeh mendengar celotehan tak masuk akal Atma tersebut, ia menatap wajah Atma dan seketika saja ekspresi wajahnya berubah datar. "Kebanyakan makan micin ya lo?"

"Tapi bener kan?" Atma tidak mau kalah. "Setiap sibuk, si bapak selalu makan mie tapi tetap aja pinternya nggak ilang-ilang. Mungkin habis makan mie, beliau makan suplemen penambah kecerdasan otak kali yah demi pinter, demi ngirit, dan demi kita bisa gajian?"

Sankhara geleng-geleng. "Fix, lo gila. Sama gilanya sama bos lo yang isi otaknya sama sekali nggak bisa ditebak."

"Bos kita bersama ini, Sang." Atma membenarkan.

"Terserah lo deh," ucap Sankhara putus asa. Ia merasa sia-sia saja meladeni ucapan bodoh Atma. Padahal ia sedang berpikir keras apa yang harus ia katakan pada Rafael nanti dan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ia belum tahu apakah ia akan tetap tinggal ataukah pergi. Tapi jika ia memilih untuk pergi, entah mengapa hati kecilnya mengatakan bahwa ia tidak rela meninggalkan semua kenyamanan ini.

"Tapi kalau masalah si bapak nggak bisa ditebak, gue setuju." Atma berkata tiba-tiba. Sankhara sampai menoleh padanya karena pembicaraan kali ini terasa menarik.

"Asal lo tahu ya, Sang... Si bapak pernah punya cewek, cakep banget, bodynya macam gitar spanyol, tapi nggak tahu kenapa mereka putus. Waktu itu pernah ada artis yang PDKT, tapi si bapak nolak mentah-mentah. Gue bingung, si bapak begitu karena emang seleranya yang ketinggian atau udah nggak normal."

"Lo tahu nggak kenapa si bapak bisa putus sama mantannya?" Entah mengapa Sankhara lebih tertarik dengan cerita mantan pacarnya Rafael.

"Denger-denger sih mantannya nikah ama orang yang lebih tajir."

FUGOSTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang