EMPAT BELAS - Simba, The Lion King

660 133 44
                                    

***

"Hari ini cukup menyenangkan, tapi ini waktunya pulang. Tidak baik anak perempuan pulang terlalu malam," Rafael berkata kepada Candice begitu hari sudah berubah gelap.

Padahal baru jam enam, tapi Rafael sudah mengakhiri pertemuan mereka. Entah mengapa Candice merasa begitu kecewa.

"Kenapa? Kecewa ya?" Rafael tersenyum kepada Candice. "Mau bagaimana lagi? Kamu baru saja kembali dari luar kota ke sini. Paman dan bibimu bisa marah kalau kamu pulang terlalu malam."

"Kamu tidak mau mengantarku?" Candice merasa ia telah mengeluarkan pertanyaan yang super duper bodoh.

Bisa-bisanya ia terlena dengan penyamarannya sebagai adik kembarnya sampai membongkar penyamarannya sendiri.

Candice yang Rafael kenal adalah seorang gadis yang tinggal baik-baik dengan paman dan bibinya di daerah Damar. Ia mengaku baru saja kembali dari Surabaya ke Beltim karena ada urusan keluarga, padahal sesungguhnya ia sama sekali tidak memiliki kerabat di sana. Ia yang sebenarnya tinggal di Manggar, itupun menumpang bersama Rafael.

"Memangnya jika aku ingin mengantar, kamu mau?" Lagi-lagi ucapan Rafael terdengar sangat ambigu, namun Candice alias Sankhara kurang peka untuk menganggap hal yang dikatakan Rafael sebagai ucapan yang serius.

"Om ku mau jemput, jadi kamu tidak perlu repot-repot."

"Benarkah? Kalau begitu tidak apa jika aku duluan?"

Candice mengangguk tanpa merasa heran apalagi curiga. Ia pikir mungkin Rafael memang tipe yang tidak suka repot mengantar pulang setiap pergi dengan wanita.

Rafael melambai kepada Candice lalu berjalan menuju tempat ia memarkir mobilnya. Namun sebelum ia benar-benar menghilang dari pandangan Candice, Rafael tiba-tiba menoleh kepadanya.

"Tidak mau titip salam kepada kakakmu?" Tanyanya tiba-tiba.

"Eh? Iya, ya. Titip salam untuk kakakku." Jawab Candice kikuk.

Rafael tersenyum mendengarnya. "Baiklah."

Mata Candice tertuju pada boneka singa berukuran besar yang sedang dipeluk Rafael.

"Kamu harus memberinya nama," kata Candice.

"Oh,ya? Ide bagus. Kamu saja yang berikan nama untuknya."

"Wah, tapi untuk sekarang aku tidak mempunyai ide nama yang bagus."

"Tidak masalah. Kamu bisa memberinya nama saat kita bertemu kembali," Rafael tersenyum penuh arti. "Kita ini akan sering bertemu."

"Kalau begitu hati-hati di jalan."

"Kamu juga, Dis."

Begitu sosok Rafael menghilang dari balik gedung, Candice bergegas masuk ke dalam Mall.

Ia masuk ke dalam toilet wanita dengan tergesa, mengeluarkan sebuah tas berukuran besar yang sejak tadi ia titipkan di loker cleaning service, dan melepas wig yang sejak tadi ia pakai.

Ia bahkan tidak menggubris pandangan beberapa wanita yang menatapnya dengan tatapan aneh.

Sambil menghapus riasan di wajahnya, Candice mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang.

"Gimana, Det? Beres?"

Suara serak di seberang sana menjawab dengan penuh kebanggaan, "Beres, bos. Soal mengulur waktu, Codet jagonya. Ban mobilnya empat-empatnya 'tak kempesin."

"Good."

"Terus sekarang apa lagi bos?"

"Jemput gua di belakang gedung. Sekarang."

FUGOSTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang