PROLOG

2K 220 170
                                    

***

JAKARTA, 2021

"Aku ini bukanlah jomblo biasa~~~ Menjomblo bukan karena ku tidak laku, tapi karena takut jadi rebutan wanita ~~~"

Sebuah ponsel keluaran China bergetar di atas dashboard mobil, memperdengarkan ringtone legendaris dengan suara penyanyi yang sumbang. Lagu tersebut tidak pernah eksis di dunia permusikan sebelumnya dan lebih terdengar seperti suara pengamen gagal di lampu merah yang mencoba sok beken dengan merekam suara nyanyian yang tidak enak didengar.

Pradatma Setryoraharjo, lelaki bertubuh bongsor berkulit hitam mengkilap keturunan ambon yang biasa dipanggil dengan sebutan Atma, menatap ponsel miliknya sekilas dan menatap sebaris nama terpampang di layar kaca sambil menyetir. 

Sudah tahu suara ringtone tersebut sangat tidak enak didengar, namun lelaki itu masih ragu mengangkat teleponnya, membuat sesosok pria tampan berkulit bening yang duduk di jok belakang menjadi tidak tahan untuk membuka suara.

"Sudah berapa kali saya bilang, At?" Suara bariton yang khas itu terdengar di tengah-tengah suara deringan ponsel yang menyayat telinga. 

Rafael Sridjaja - mantan Bupati belitung Timur itu mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata  lelaki yang berstatus sebagai ajudan, asisten, sekaligus supir pribadinya yang terpantul dari balik spion tengah mobil.

"Ganti ringtone kamu," tegur Rafael. "Lebih baik kamu ganti lagu Keong racun jadi nada dering daripada kamu pasang suaramu sendiri. Telinga saya sudah terkena polusi suara sumbangnya kamu."

"Tega amat, Pak?" Atma melirik atasannya dengan wajah miris. "Jelek-jelek begini, itu lirik lagu tidak ada yang punya loh, pak. Saya bangga dengan produk hasil karya saya, sama dengan bapak yang bangga dengan produk dalam negeri."

"Bodo amat, At. Yang penting sekarang juga, angkat teleponnya terus ganti lagu." 

"Haruskah saya angkat, pak? Tapi ini dari..." Atma belum selesai bicara, akan tetapi Rafael dengan tidak sabar memotong ucapannya, tidak lupa dengan mata melotot yang seolah ingin menguliti Atma hidup-hidup jika lelaki itu kembali membantah untuk kesekian kalinya.

Ah, sabodo teuing, batin Atma. Ia kemudian memasang headset dan mulai mengangkat panggilan.

"Selamat pagi, Bu Iren?" Sapa Atma sopan. Rafael yang tadinya sedang mempelajari berkas-berkas yang ia bawa pulang ke rumah dinasnya kemarin malam, pun langsung mendongak dan menatap Atma dengan raut wajah tertarik.

"At, Bapak sudah berangkat sama kamu?" Tanya Irena Wisessa Sridjaja to the point.

"Ada, Bu. Sudah dari tadi." 

Sesungguhnya bukan sekali dua kali ibu dari atasannya itu menelepon Atma. Atma sudah mengabdi kepada Rafael Sridjaja sejak Rafael itu pertama kali menjabat sebagai Bupati Belitung  sampai naik pangkat menjadi pejabat negara seperti sekarang, sehingga ia sudah menghapal kebiasaan atasan dan juga keluarganya dengan amat sangat baik. Irena hanya akan menelepon jika Rafael sengaja tidak mengangkat teleponnya.

Rafael yang sudah mengetahui bahwa yang menelepon Atma adalah ibunya sendiri, pun menoel Atma dan berkata dengan setengah berbisik, "Itu mama saya kan, At? Matiin."

Lah tadi suruh angkat, sekarang minta matiin? Labil ini bos.

Suara bisikan Rafael memang sangat kecil, akan tetapi Irena yang berada di seberang sana tetap bisa mendengar suara putranya dengan amat sangat jelas. 

"Atma, Kalau kamu sampai berani mematikan telepon saya, secara tidak langsung kamu membantu anak saya untuk durhaka kepada saya." Suara Irena terdengar serius di seberang sana, dan apa yang ia katakan berikutnya sukses membuat Atma merinding disko. "Saya pastikan bukan anak saya saja yang akan saya kutuk, tapi kamu juga."

FUGOSTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang