DELAPAN - The Real Gangster (1)

849 137 92
                                    

***

Satu hal yang paling Sankhara benci dari seorang Rafael adalah muka bodohnya.

Mengapa muka bodoh? Pasalnya pria berkulit putih bening, berpostur tubuh tegap dengan tinggi 185cm sesungguhnya adalah sosok yang terlampau cerdas, jenius yang terlampau overdosis, dan juga memiliki kelicikan yang tidak dapat diprediksi. Namun sampai sekarang Sankhara masih tidak mengerti mengapa dengan tingkat kecerdasan diatas rata-rata tersebut, pria itu bisa memasang muka bodoh yang membuatnya terlihat dungu di saat-saat serius.

Contohnya sekarang, disaat pria itu terbangun dari tidurnya, ia dengan wajah tidak berdosa meminta makan kepada Sankhara. Ia bersikap seolah hal yang kemarin ia lakukan dan ia katakan kepada Sankhara, tidak pernah terjadi.

"Minta makan." Satu kalimat itu adalah kalimat pertama yang Rafael ucapkan kepada Sankhara saat ia terbangun dan menemukan Sankhara tertidur di sofa kamar Rafael.

Sankhara mengira bahwa Rafael akan membahas soal ciuman kemarin, ataupun mempertanyakan bagaimana cara Sankhara yang bertubuh kecil mampu mengangkat dan memindahkan tubuhnya ke kamar tidur, akan tetapi pria itu justru meminta makanan dengan wajah tak berdosa dan melupakan bahwa dirinya sudah merenggut ciuman pertama Sankhara.

Namun meskipun Sankhara masih merasa marah dengan terenggutnya ciuman pertamanya sebagai seorang lelaki, ia tetap menuruti permintaan Rafael untuk membawakan makanan. Untunglah ia sudah memasakkan bubur kemarin malam, sehingga ia hanya perlu memanaskannya kembali untuk Rafael.

Tak lama kemudian, Sankhara kembali dengan membawa sebuah nampan berisi bubur, segelas air, dan juga obat flu. Ia meletakkan nampan itu di atas nakas di samping tempat tidur Rafael dan bergerak mundur, membuat pria itu mendongak menatapnya dengan heran.

"Kamu tidak mencoba mengecek panas saya sudah turun atau belum?" Tanya Rafael.

Sankhara menggeleng, "Bapak bisa minta makan dengan semangat, tandanya anda sudah sembuh."

Rafael beringsut menegakkan tubuhnya dan saat itulah dia baru merasakan bahwa pinggang dan punggungnya terasa sakit. Saat ia menyingkap kaosnya,semburat biru kemerahan terlihat mewarnai pinggang dan punggungnya.

"Saya tidak ingat bahwa kemarin ada luka memar di tubuh saya," Rafael melirik Sankhara. "Kamu tahu saya kenapa bisa begini, Sank?"

"Bapak tidak ingat sama sekali apa yang terjadi kemarin?"

Rafael menggeleng.

"Kalau yang bapak katakan kemarin kepada saya? Ingat?" Pancing Sankhara.

"Ng, yang mana ya?" Rafael terlihat bingung.

Ingin sekali Sankhara mempertanyakan masalah Rafael yang ia duga adalah seorang gay atau seorang biseksual karena statement Rafael kemarin tentang, "Tidak masalah kalau kamu laki-laki atau perempuan", namun ia mengurungkan niatnya untuk mengungkit kejadian kemarin.

"Ah, tidak ada Pak. Kemarin kita hanya membahas soal bapak yang tidak mau makan rendang karena lagi bad mood." Sankhara tersenyum garing, membuat Rafael menqatapnya dengan curiga.

"Lalu luka saya? Bagaimana saya bisa lebam begini?"

"Saya tidak kuat membopong bapak saat menaiki menaiki tangga, jadi anda sempat terjatuh di tangga saat saya mencoba menyeret anda."

"Hmm... Jadi saya begini karena kamu?" Rafael menatap Sankhara dengan tatapan menilai.

"Maaf, Pak. Habisnya bapak berat," Sankhara nyengir garing. Akan jauh lebih baik Rafael tidak mengetahui bahwa setelah pria itu menciumnya dan tertidur karena panas tinggi, Sankhara langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan menginjak-injaknya dengan keji sebelum akhirnya menyeret pria itu ke kamar tidur dan mengompresnya hingga panasnya turun.

FUGOSTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang