TUJUH - Yangire [2]

750 144 88
                                    

***

Sankhara merasa sangat senang karena hari ini akhirnya ia bisa mengenakan pakaian dalam. Ia membeli beberapa pasang pakaian dalam berenda dan beraneka warna saat ia belanja ke pasar swalayan tadi pagi.

Jangan ditanya lebih nyaman mana mengenakan pakaian dalam yang diikat dengan korset atau tidak mengenakan apa-apa dan hanya diikat dengan lakban. Sankhara tidak pernah merasa sesenang ini saat melihat pakaian dalam, padahal ia hanya tidak mengenakan bra selama dua hari, belum setahun.

Sebagai tanda terima kasih karena Rafael memberinya uang jajan, Sankhara memasakkan makan malam yang super enak untuk bupati dan supirnya. Ia tidak pernah memasak rendang sebelumnya, tapi ia mengikuti petunjuk dari acara masak di televisi dan syukurlah rasa masakannya tidak terlalu buruk.

Makan malam sudah siap tepat pada pukul tujuh malam dan Sankhara masih menunggu Rafael pulang untuk makan bersama. Ia memutuskan untuk menonton telenovela saja di televisi sambil menunggu, namun waktu terus berjalan dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika suara mobil Rafael terdengar di depan rumah.

Rafael masuk ke dalam rumah tanpa suara. Ia bahkan melewati Sankhara begitu saja dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Bapak kenapa, At?" Tanya Sankhara.

"Baru pecat orang, Sang."

"Baru pecat orang kok mukanya kaya dia yang dipecat sih?"

"Meneketehe. Dari dulu sudah begitu, kamu juga kudu tahan banting ya kayak aku. Kalau nggak tahan banting, bisa-bisa kamu yang kena banting, Sang."

"Anyway, siapa yang kamu panggil sang sang? Enak aja panggil sang sing song, Nggak tahu apa bonyok gua pas ngasih nama mikirnya tujuh hari tujuh malam?" Sankhara melotot.

"Salah sendiri punya nama susah amat. Tapi buatku nggak masalah lah kamu namanya apa, asal namanya bukan pantat kebo aja."

Sankhara melotot.

"Gua bercanda, Sang. Pis! Pis!" Atma mengacungkan dua jari sembari memamerkan sederet giginya yang kuning.

Ketika Atma hendak pamit, Sankhara menawarkan untuk makan dulu karena ia sudah membuatkan rendang, namun diluar dugaan, Atma yang biasanya tidak kenal malu jika sudah menyangkut makanan, tiba-tiba menolak.

"Besok saja ya, buat sarapan. Lebih baik lo jaga si bapak tapi jangan dari dekat. Jaga dan lihatin saja dari jauh."

Dahi Sankhara berkerut. "Lho, kenapa?"

"Nggak tahu gimana menjelaskannya ya, tapi bapak itu susah ditebak. Kalau ngamuk, nyereminnya ngelebihin ibu kos yang nagih uang bulanan."

"Serius dikit lah, At."

"Ini juga lagi serius, oncom!" Atma geregetan jadinya.

"Lah, kalau begitu buat apa dilihatin coba? Lagian majikan lo itu kan gila, mana mungkin bisa seserem ibu kos?"

"Nggak percaya?"

"Iya."

"Kalau gitu, coba aja sleding palanya si bapak. Gua jamin besok lo tinggal nama doang."

Rasa-rasanya bukan kepala Rafael yang ingin Sankhara sleding, tapi kepala Atma yang ingin Sankhara sleding sampai rata dengan tanah.


***

"Pak Fael, makan dulu, Pak." Sankhara menyembulkan kepala dari balik pintu ruang kerja Rafael.

Rafael yang sedang terduduk di meja kerja sambil memeriksa laporan hanya melirik sekilas. "Kamu saja makan duluan."

"Kalau saya mau makan duluan, saya pasti sudah makan dari tadi. Sayangnya saya nunggu bapak."

FUGOSTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang