***
Satu kecerobohan yang Sankhara lakukan -ketiduran sebelum sempat menyimpan jemuran pribadinya dari atas genteng-, membuat jati dirinya hampir terbongkar. Ia terlalu lengah sampai tidak kepikiran bahwa Rafael bisa pulang kapan saja secara tiba-tiba. Contohnya saja sekarang, ia baru saja bangun tidur dan ternyata Rafael sudah tiba di rumah lebih dari setengah jam.
Untung saja Sankhara sempat mengunci pintu sehingga Rafael ataupun Atma tidak bisa masuk ke dalam kamarnya. Sayup-sayup Sankhara mendengar suara Atma dan Rafael sedang berbicara di depan kamarnya berbarengan dengan kenop pintu yang dipaksa untuk terbuka dari luar.
"Dikunci, Pak." Samar-samar suara Atma terdengar.
"Saya bahkan sudah selesai mandi dan kamu masih belum bikin si Sankha keluar? Ketuk pintu dong, gedor sambil teriak-teriak sekalian."
"Sudah, Pak. Cuma tuh anak nggak jawab-jawab dari tadi. Mungkin nggak kalau si Sangsang pingsan?" Atma menatap Rafael. "Gimana kalau kita dobrak saja pintunya?"
Seketika saja Rafael membelalakkan matanya dan mengusap-ngusap pintu kamar Sankhara dengan dramatis, "Jangan sentuh ginjalnya Mirabella."
Atma mendesis jijik. Ia tahu betul siapa 'Mirabella' yang dimaksud bosnya. Rafael memiliki kebiasaan memanggil rumah yang ia tinggali itu dengan sebutan 'Mirabella' dan 'ginjal Mirabella' yang ia maksud adalah pintu kamar Sankhara. Jujur saja saat pertama kali Atma mendengar tentang 'Mirabella', ingin rasanya ia melempar wajah bosnya dengan sepatu, tapi tentu saja ia tidak berani. Ia belum siap untuk dipecat karena terkena kasus kurang ajar terhadap majikan.
Untung ane sudah terbiasa, Pak. Kalau orang lain mungkin akan mikir kalau majikan mereka mantan pasien rumah sakit jiwa.
Sementara kedua orang itu sibuk berdebat di depan pintu, Sankhara yang terduduk di atas ranjang kontan gelagapan. Ia tidak mungkin bisa menemui dua pria itu saat ini karena saat ini dia sama sekali tidak mengenakan dalaman baik bagian atas maupun bawah.
Ia ingin menutupi dadanya dengan sesuatu, tapi tidak ada satupun bisa ia gunakan untuk menutupinya. Sialnya, korsetnya masih dijemur di atas genteng. Untuk saat ini, Sankhara benar-benar berharap bahwa Superman itu nyata, jadi ia bisa memintanya untuk mengambilkan jemuran.
"Pak Rafael?" Panggil Sankhara kemudian, membuat dua orang di depan pintu kamarnya seketika berhenti berdebat. Ia keluar dari kamar dengan sekujur tubuh dililit selimut, persis seperti sosis gulung yang dibalut tepung.
"Hey, kamu masih hidup rupanya?" Rafael terdengar bahagia ketimbang merasa lega. "Untunglah kamu menjawab di saat yang tepat. Atma mengira kamu sudah overdosis di dalam sana dan hampir menghajar 'ginjal Mirabella-ku' yang tersayang dengan kursi."
"Ginjal Mirabella?" Tanya Sankhara bingung.
"Ah, itu cerita yang sangat panjang. Ngomong-ngomong, mengapa kamu begitu? Sakit?" Rafael menunjuk selimut tebal yang membalut tubuh Sankhara dengan dagu.
"Begitulah, Pak. Saya suka begini memang. Tidak biasa kerja rumahan, sekali membabu langsung sakit." Sinis Sankhara.
"Oh, penyakit orang kaya rupanya?" Rafael meresspon santai. "Untung kamu nggak jantungan. Penyakit jantung itu adalah penyakit utama orang kaya. Saya bersyukur kamu bukan orang kaya."
Sankhara berdecak kesal mendengar sindiran Rafael yang sangat mengena tentang keadaannya saat ini. Ia berpikir sebenarnya apa mau pria itu sampai memperlakukannya seperti babu dan membuatnya terpaksa menemui Rafael sekarang juga tanpa pakaian dalam.
Rafael kemudian berpaling menghadap kepada Atma dan memintanya untuk pergi membeli makanan. Setelah atma berlalu, ia kemudian berpaling kepada Sankhara dan tiba-tiba saja ia mendekatkan tubuhnya dan menempelkan punggung telapak tangannya di dahi gadis itu bagaikan seorang dokter yang ahli.
KAMU SEDANG MEMBACA
FUGOSTINE
RomanceTerlalu banyak rahasia. Itu yang Rafael Sridjaja sadari sejak ia pertama kali mengenal Candice Lamdy. Selama ini wanita itu selalu berada di sisinya sebagai lelaki cantik bernama Sankhara. Candice berada di sisi Rafael dengan sebuah misi untuk meng...