Suicide [Part 2]

158 5 0
                                    


Aku mengintip dari jendela kamar rumah sakit. Huff..., Agus, Si Ayang. Nafasku lega. Hemm, perkenalkan.... dia pacarku, setahun ini. Si Ayang, derajat hubungan kami mendekati pernikahan. Kendalanya, restu belum di tangan. Tersebab Agus yang belum mapan.
.
.
"Gimana, Din?" tanya Agus.
"Mamak udah bisa ketawa-tawa, Gus." Agus mengalungkan kedua lengannya ke pinggangku. Kami berpelukan.
"Ehh tapi jangan senang dulu. Kata orang, kalo orang sakit tiba-tiba bugar, itu bisa jadi pertanda" ujarnya tiba-tiba, membuat gundah.
"Pertanda gimana?"
.
.
"Iya. Seolah itu pertanda, itulah tenaga terakhir yang dia punya. Ke kitanya jadi lengah. Padahal sehatnya itu, cuma pengen pamit"
.
.
Aku garuk kepala. Heran, apa bener ada yang seperti itu. Selepas ngobrol-ngobrol santai, Agus berpamitan. Giliran Mamak memanggilku. Suaranya tinggi. Dia marah-marah seperti mengigau.
"Ngapain dia peluk kao? Pegang-pegang kao? Cium kening kao? Malu Mamak melihatnya",... Ohh Mamak rupanya mengomentari gaya berpacaranku. Ya, aku pikir nggak papalah. Orang muda, sudah biasa. Apalagi kan aku tunangannya.
"Nggak gimana-gimana, Mak. Agus orangnya baik kok"
.
.
.
Mamak mengomel, seperti radio rusak. "Dosa, dosa,, itu aja yang isi repetannya". Aku tertidur dalam keengganan. Tanpa kutahu, ketika esok mataku terbuka, ruh Mamak telah tiada. Kaku, Wafat. Ternyata benar kata Agus, kemarin itu pertanda, sehat terakhirnya. Aku sepi, sendiri. Satu hal yang kusesali setelah Mamak pergi. Kenapa Bapak berniat kawin lagi?!




*)Bersambung......

Flash StoryWhere stories live. Discover now