3. SPECTRUM (Mengenal Autisme Lewat Cerita)

56 4 0
                                    


"Mas, tutup lagi aja kaca jendelanya"

Sayup-sayup, keberisikan itu kami tinggalkan. Mood Aisha makin tak karuan. Dia marah dan mogok bicara. Tenggelam dalam tangisnya yang sulit reda jika sudah dimulai. Sebenarnya bukan kali ini saja Aish 'alergi' dengan suara-suara. Kami hampir tak pernah menghabiskan pesta kembang api bersama. Selain memang bukan budaya kami, suaranya yang memekak telinga itu nggak nyaman banget. Di hari-hari biasa, Aish harus 'kukendalikan' supaya tidak marah setiap aku menyalakan blender yang suaranya juga jedar-jeder. Maklum, blender murahan. Bisingnya bukan main.

***

Pagi yang segar. Aku mematikan pendingin ruangan. Cara yang ampuh untuk membangunkan anakku perlahan. Ketika Aish membuka mata pelan, kusapa dia dengan lembut hangat.

"Sekolah yuk!" Aku bersemangat. Mata Aish yang lugu itu melenguh dikalahkan matahari.

"Nggak mau...."

"Loh, kok nggak mau?"

"Nggaj mau...."

Aku tersenyum dan tetap bingung. Kebingungan yang sama, terjadi hampir setiap hari. Aish memang kadang sering mengulang kata-kata, kalimat, atau mengulang cerita. Yang kadang mengesalkan, kadang jawabannya tidak fokus pada inti percakapan. Aku bisa tahan. Setidaknya sampai detik ini, aku masih bisa mengontrol emosiku. Tapi bagaimana dengan orang di luar sana. Dengan guru-gurunya, anak-anak lain, orang-orang lain.

"Kenapa kok nggak mau sekolah?"

"Nggak.. Itu teman. Itu guru"

Mulai deh... Mulai nggak jelas. Aku memijit kepalaku. Aku menyiapkan diriku untuk menterjemahkan diri dalam bahasa sandi dan emosi anakku yang labil ini. Kenapa ya? Pertanyaan "kenapa" ini seringkali tertunda dalam rutinitas dan laju waktu yang tak menunggu kata "nanti", atau "sebentar lagi".

Nyuuutt... Nyuutt....

Aku meninggalkan Aish sejenak. Masih pagi, aku tak ingin merusak gejala kecill ini di sepanjang hari.

*) Bersambung......

Flash StoryWhere stories live. Discover now