Janji 6 - Simbiosis Mutualisme

46.7K 4.9K 198
                                    

Nirma mengaduk mi ayam-nya dalam diam. Dari seberang ia bisa melihat Jendra tengah memarahi Davin yang bersin di depan makanannya. Jendra tampak tak segan memrotes kejorokan cucu pemilik sekolahnya itu.

"Nir, kalau mata lo ngeluarin laser, meja seberang udah kebakar kali ya?" seloroh Alya sembari menikmati bubur ayamnya. Alya melanjutkan ucapannya, tatkala melihat wajah kebingungan Nirma. "Mata lo tuh enggak bisa lepas dari meja seberang. Meja Kak Jendra maksudnya."

Nirma terkekeh canggung karena lagi-lagi ketahuan memperhatikan Jendra. "Gue cuma heran aja. Kak Jendra kok berani marahin Kak Davin. Apa enggak takut dikeluarin dari Linus gitu?"

"Lo enggak tahu gosipnya? Kakeknya Kak Davin kan, orangnya keras. Beliau enggak pengin anak atau cucu-cucunya bawa nama beliau buat gaya-gayaan. Kak Davin aja masuk Linus lewat tes, sama kayak kita kok."

"Lo cerita udah kayak sales panci lagi promosi aja. Lo naksir sama Kak Davin?" tanya Nirma yang langsung dijawab Alya dengan gelengan keras. "Kenapa enggak? Kalau lo entar nikah sama dia, bisa jadi emak-emak sosialita gitu."

"Ih, Kak Davin tuh cocoknya sama Kak Rista tahu. Mereka itu ngegemesin. Kalau ada award buat pelaku friendzone terlama, kayaknya mereka deh yang menang." Alya menelan buburnya dulu baru melanjutkan. "Bayangin aja, mereka tetanggaan, temenan dari kecil, pulang pergi sering bareng, tapi kok sampai sekarang belum jadian ya?"

"Kan lo pernah bilang, dekat itu belum tentu jadian. Kayak Kak Nessa sama Kak Jendra tuh," jawab Nirma menggebu-gebu.

Alya tersenyum meremehkan ke arah Nirma, ketara sekali ia seperti sudah sadar dengar rasa yang sahabatnya ini pendam pada Jendra. "Ah, elo ... apa pun topiknya, muter-muter balik ke sekitar Kak Jendra lagi."

"Kan udah gue bilang, Nir. Dia enggak mungkin notice lo. Lo terlalu biasa." Alya masih berusaha menyadarkan Nirma dari perasaannya yang mustahil bersambut. "Kak Nessa yang cantik aja belum berhasil narik perhatian dia. Apalagi elo."

Nirma menggigit bibir bawahnya. Ucapan Alya sangat masuk akal, mengingat pertemuannya kemarin dengan Jendra berakhir dengan menyebalkan.

"Oh iya, dari tadi kita ngobrol, tapi saya ngenalin adik saya. Ini adik saya Nirma. Kalau Nirma kayaknya udah tahu kamu. Soalnya dia aja kaget waktu atlet sekolah nawarin dia payung."

Nirma sempat melihat Jendra tersenyum miring mendengar ucapan pelatihnya. "Padahal niat saya baik, malah balesannya kayak gini."

"Oh, oke. Kamu masih belum terima soal−"

"Enggak kok, Kak. Saya sih terserah Kak Giri aja," sela Jendra cepat, sebelum Giri berubah pikiran lagi.

Nirma yakin sekali sekilas melihat Giri menyeringai sinis saat Jendra tampak lemah di hadapan kakaknya. "Jadi, bisa mulai kapan, Jen?"

Jendra terdiam sejenak, menimbang-nimbang sesuatu. "Yang jelas jangan hari Minggu. Juga jangan Selasa sore, soalnya itu kan, jadwal latihan taekwondo. Kak Giri sendiri tahu, kan?"

Giri mengangguk, ia seperti akan mengatakan sesuatu, tapi ponsel di sakunya berdering nyaring. "Bentar ya, dosen saya telepon."

Giri menjauh, meninggalkan Nirma dan Jendra yang terdiam seperti patung. Jendra masih setia dengan tatapan sinisnya untuk Nirma, sedangkan Nirma menunduk takut menatap gebetan yang sial karenanya.

"Kemarin itu lo sengaja ya? Lo pura-pura jadi korban, padahal di sini gue yang jadi korban karena keanehan lo!" Jendra segera membuka mulutnya sebelum Nirma sempat menyela. "Lo bilang apa aja sama Kakak lo? Kalau lo udah jelasin semua ke dia, seharusnya gue enggak perlu ngelakuin ini semua, kan?"

Nirma yang semula menunduk, memberanikan diri menatap wajah Jendra yang terlihat angker. "Maaf, Kak. Sumpah gue udah jelasin semua ke Mas Giri, tapi Mas Giri antara percaya enggak percaya."

"Ya mana ada yang percaya sama alasan gila lo! Tapi, paling enggak lo jangan seret-seret gue lagi dong! Ngapain lo minta Kakak lo biar gue jadi tutor lo?"

Nirma menggeleng keras mendengar tuduhan Jendra padanya. "Enggak, Kak! Bukan gue sumpah. Gue enggak tahu apa-apa soal ini. Gue enggak minta Mas Giri biar Kak Jendra jadi tutor Bahasa Inggris gue. Sumpah, Kak."

Jendra terdiam terlihat sekali sedang memikirkan sesuatu. Entahlah, Nirma merasa itu ada kaitannya dengan Giri.

"Gue tahu Kak Jendra keberatan. Gue bakal bilang ke Mas Giri buat batalin semuanya."

Sekarang malah Jendra yang menggeleng. "Enggak usah. Bisa-bisa nama gue dicoret beneran."

"Nir, gue pergi duluan ya." Giri yang datang dari arah jam dua, tampak menghampiri meja itu dengan tergesa-gesa. "Dosen gue butuh bantuan. Lo pulang sendiri ya?" tanya Giri yang dijawab Nirma dengan anggukan. "Jen, kamu bahas aja sama Nirma. Saya duluan ya."

"Kak, gimana kalau Kakak pura-pura jadi tutor aja," tukas Nirma ketika Giri sudah keluar dari kafe. "Enggak usah datang, nanti gue yang urus soal Mas Giri."

Jendra kembali menggeleng. "Gue enggak mau ambil risiko. Kakak lo tuh, susah ditebak." Jendra mendesah lelah seperti pasrah dengan keadaan. "Udah, lo atur aja jadwalnya. Seminggu tiga kali cukup?"

Nirma termangu, antara senang karena bisa sering bertemu Jendra, tapi juga sungkan karena Jendra terpaksa menjadi tutornya. "Seminggu sekali aja deh, Kak."

"Enggak. Kalau seminggu sekali, kapan lo bisanya? Bisa-bisa sampai lulus Linus gue masih harus ngajarin lo!"

Hati Nirma sedikit tercubit mendengar alasan Jendra menawarkan jadwal lebih sering. "Seminggu dua kali aja, Kak. Senin sama Rabu sore, gimana?"

"Oke." Jendra setuju dengan usulan Nirma. "Tapi, sebelum itu, gue pengin ngajuin syarat buat lo. Pertama, lo jangan nyapa gue di area sekolah, anggap aja kita enggak saling kenal. Kedua, lo harus bantu gue, ngeyakinin Kak Giri biar segera rekomendasiin gue ke Pak Abi." Jendra berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Yah, lo tahu diri sedikit lah. Gara-gara lo gue jadi gini, paling enggak lo harus tanggung jawab."

"... Nir? Lo bengong terus kenapa sih?" Pertanyaan Alya menyadarkan Nirma dari lamunan peristiwa kemarin sore. Gadis itu meringis lalu melanjutkan makannya.

Sekilas ia melihat Jendra sempat melirik ke arahnya, tapi dengan cepat pemuda itu membuang muka.

Seharusnya gue senang bisa dekat Kak Jendra, tapi kenapa rasanya ada yang ganjal gini.

***

Kenapa Nirma merasa ada yang mengganjal di hatinya ya?

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

Cheers,
matchaholic

JANJI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang