Nirma bolak-balik mengecek jam tangannya, pukul 15.30 dan ia masih mengerjakan tugas kelompok di kelas. Padahal, setengah jam lagi, waktu lesnya bersama tutor paling galak sejagat raya, Rajendra Wardhana.
Nirma berpikir, entah apa yang akan laki-laki itu katakan jika Nirma terlambat pulang, dan membuatnya menunggu lama di teras rumah. Pasti rentetan kalimat sepedas Bhut Jolokia, dengan senang hati keluar dari mulutnya.
"Lo ada acara?" tanya Agil yang dari tadi memperhatikan Nirma tak konsentrasi dengan bagian materi yang harus ia ringkas.
"Hah?" Nirma sedikit tergagap dengan pertanyaan Agil. "Oh, itu gue ada les jam empat."
"Kalau misalnya, lo izin aja hari ini gimana?" tanya Fataya seraya membuat mind map di kertas folio.
Nirma menggeleng keras. "Tutor gue itu galaknya melebihi induk ayam yang anaknya dicuri, Taya. Kalau lo dengar omongannya yang nyelekit itu, rasanya pengin sleding kepalanya."
Agil dan Fataya terkikik geli mendengar istilah yang Nira berikan untuk tutornya. "Kenapa enggak ganti tutor aja? Kan, sayang aja lo bayar cuma buat dengerin omelannya." Agil tampak heran dengan keputusan Nirma mau bertahan dengan tutor yang galak.
"Uhm ... dia kenalan Kakak gue, jadi ya ... gitu." Nirma berusaha mencari alasan yang tepat tanpa perlu berbohong. Untung saja dua orang itu mau percaya dan tidak bertanya lebih lanjut lagi.
"Udahan yuk, gue laper. Lagian, masih tiga hari ini. Takut banget lo, Gil, kalau enggak selesai," celetuk Damar yang juga tampak malas mengerjakan tugasnya. "Kasihan Nirma nih, kalau telat diomelin tutornya."
Agil menghela napas panjang sebelum akhirnya berujar, "Ya udah, kita bagi tugasnya dulu aja." Kemudian dengan cekatan, Agil membagi tugas mereka berempat. Nirma sendiri mendapat jatah meringkas lumayan banyak.
Ini pertama kalinya Nirma berkelompok dengan Agil dan Damar. Awalnya, Bu Dias, guru Geografi mereka, memilih delapan orang yang layak menjadi ketua kelompok. Salah satunya Alya dan Agil.
Setiap ketua kelompok, bebas memilih satu anggotanya, lalu anggota tersebut yang akan memilih anggota berikutnya, hingga akhirnya terbentuk satu kelompok yang terdiri dari empat orang. Setiap anak yang sudah dipilih salah satu kelompok, tidak boleh dipilih lagi oleh kelompok lain.
Seperti halnya Nirma, jelas saja, ia ingin dipilih Alya menjadi teman sekelompoknya. Mereka sudah sering satu kelompok, sehingga Nirma merasa lebih nyaman. Sayang, entah mendapat bisikan setan dari mana, Agil malah memilihnya lebih dulu.
Kontan saja, kor ala komentator sepak bola mulai beraksi lagi, bahkan Alya pun ikut-ikutan. Jelas-jelas Nirma memasang tampang sebal karena tidak sekelompok dengan sahabatnya, malah dengan orang yang entah kenapa sekarang sering digosipkan dengannya.
Sebelum Nirma terpaksa memuji Agil, anak-anak sekelas lebih mengenalnya sebagai Nirma yang aneh. Namun, sejak teori ngawur Alya dan Agil yang tampak tak merasa aneh atas pujian Nirma, teman-teman sekelas mulai bisa membaur dengan gadis itu.
Memang, di setiap kejadian, pasti ada hikmah yang bisa diambil, tapi Nirma tetap saja merasa kesal sekaligus heran, kenapa Agil biasa aja waktu digosipkan dengannya? Seharusnya kan, cowok itu merasa terganggu, atau bahkan malu. Ah, sudahlah. Toh, tidak buruk juga sekelompok dengan cowok ini.
"Gue duluan ya," seloroh Nirma setelah merapikan barang-barangnya.
Baru saja beberapa langkah, Agil berseru lumayan keras, "Gue anter, Nir."
Langsung sama mulut jahil Damar bercie-cie ria, sementara Fataya, menyeringai jahil dan berujar, "Lo terang-terangan banget ya, Gil, PDKT ke Nirma."
"PDKT apaan?!" seru Nirma tak terima. "Udah, Gil, gue pulang sendiri aja."
Agil mencekal pergelangan tangan Nirma sesaat sebelum gadis itu menjauh. "Sebagai ketua kelompok, gue cuma mau bertanggung jawab aja karena bikin lo nyaris diomelin tutor lo."
"Gil, tapi kalau lo kayak gini, temen-temen bakal mikir yang enggak-enggak tentang kita." Nirma sedikit geram karena Agil memang seperti sengaja mendekatinya. "Lo sih cowok bisa cuek. Lah gue? Gue jadi bahan omongan lagi. Lo enggak tahu cewek-cewek ngomongin gue kayak gimana? Mereka bilang mata lo rabun karena milih gue yang aneh ini. Mereka bilang gue kegenitan pakai muji-muji lo segala. Bahkan tadi ada yang bilang makanan bikinan gue ada jampi-jampinya." Nirma yang awalnya hanya ingin menolak tawaran Agil, sekarang malah seperti curhat di depan ketiga teman sekelasnya. "Gue tahu, sebelum ini pun gue sering diomongin. Tapi, ketika gue berusaha berubah jadi lebih baik, kenapa masih ada aja yang ngatain gue?"
Mereka bertiga terdiam saat mendengar Nirma yang terlihat frustrasi mengutarakan unek-uneknya. Fataya akhirnya mendekati Nirma dan mengusap lembut punggungnya. "Biarin aja, Nir. Lagian, paling itu-itu yang ngomongin kamu. Iri kali, tadi enggak kebagian sushi kamu."
Nirma akhirnya mengangguk dan berpamitan pada mereka bertiga. Tanpa menunggu lagi, gadis itu melesat cepat meninggalkan kelas, sebelum Agil menahannya lebih jauh lagi.
Nirma melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 15.50 ketika sampai di halte bus dekat sekolah, jelas saja ia akan terlambat sampai di rumah. Namun, mau bagaimana lagi? Ia tak bisa menghubungi Jendra karena tak punya nomornya.
Ingin rasanya ia libur les saja hari ini. Mood-nya sedang dalam keadaan kacau, belum nanti jika ia tak konsentrasi saat mengerjakan soal, atau jawaban yang ia pilih salah, Jendra pasti akan mengomelinya.
"Nih, pakai." Nirma mendongak saat seseorang mengangsurkan helm padanya. Namun, begitu melihat Agil yang menawarinya tumpangan, Nirma memilih diam, karena Agil adalah salah satu orang yang membuat mood-nya kali ini berantakan.
"Lo marah banget ya, sama gue?" tanya cowok itu seraya duduk di samping Nirma.
Nirma ingin mengangguk, tapi karena sedikit kasihan pada Agil, ia hanya menggeleng lemah. "Gue cuma enggak mau lo dikatain yang enggak-enggak gara-gara gue." Nirma yang awalnya menunduk, kini menoleh ke arah Agil. "Kenapa sih lo tadi pilih gue? Lo sengaja ya mau bikin malu gue?"
Wajah Agil menegang seketika. "Kenapa lo ngomong gitu? Gue ... cuma inget, ulangan Geografi yang lalu, nilai lo lumayan. Gue enggak ada maksud aneh-aneh kok."
"Tapi, kan lo tahu, gue biasanya sekelompok sama Alya."
Memutar bola mata malas, Agil berucap, "Lo enggak bosen sekelompok sama Alya terus? Gue lihat tadi siang, lo seneng waktu temen-temen lain deket sama lo, jadi gue kira enggak ada salahnya kan, lo mulai gabung sama kelompok lain?"
Ada bagian hati Nirma yang menghangat karena selain Alya, ada orang lain juga yang peduli padanya. Tanpa ia sadari, bibirnya melengkung ke atas, menyunggingkan senyum untuk Agil. "Thanks. Gue ... gue minta maaf ya, yang tadi."
Giliran Agil yang kini tersenyum semringah. "Oke, gue maafin kalau ... "
"Kalau apa?"
***
Hayooo ... kira-kira kalau apa?
By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^
Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^
Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^
Oh iya, lagi musim sakit, Gengs -_- Jaga kesehatan ya, biar bisa tetap haha-hihi baca Janji ^^
Cheers,
matchaholic
KAMU SEDANG MEMBACA
JANJI [Completed]
Novela Juvenil[Proses Penerbitan. Part Masih Lengkap.] JANJI [Update setiap Rabu dan Sabtu] "Percuma juga menghindar, kalau lo udah jadi takdir gue" a story by Alifiana Nufi _______________ Nirmala namanya. Tunggu, jangan bayangkan dia gadis anggun dengan gaun du...