Janji 18 - Pengakuan

34.7K 3.9K 165
                                    

Nirma menghabiskan baksonya dalam diam. Alya sadar perubahan raut wajah gadis itu, tapi enggan untuk banyak bertanya, karena ada Agil dan yang lain di sana. Nirma hanya membalas sekadarnya saat Agil atau teman sekelompoknya yang lain, menyinggung tentang presentasi mereka tadi.

"Tapi, kayaknya Bayu sengaja nyerang kelompok kita terus deh, Gil. Udah ada tuh di slide, tapi masih nanya aja, pakai alasan kurang jelas. Perlu dipakein kacamata kuda tuh kayaknya." Damar masih jengkel dengan tingkah laku ketua kelasnya saat presentasi tadi pagi.

"Takut kesaing sama lo kali," ujar Alya setelah menyeruput es tehnya. "Gue aja yang bukan kelompok lo ikut jengkel. Kelihatan banget capernya, kayak takut kalah suara buat pemilihan ketua kelas semester depan."

Agil menyeringai lebar, mendengar pembelaan teman-temannya. "Tapi, gue enggak minat jadi ketua kelas. Jadi wakil aja udah ribet, apalagi jadi ketua."

"Eh, gue duluan ya, mau ke toilet." Nirma yang sudah selesai makan, berdiri seraya menyambar dompetnya dan menghampiri Pak Jamil yang tengah menambahkan sedikit micin pada bakso pesanan murid-murid.

Agil segera berdiri dan mendahului gadis itu. "Pak, bakso beranak lima, es teh lima, kerupuk dua." Agil mengangsurkan uang setelah Pak Jamil menghitung pesanannya, membuat Nirma menatap cowok itu dengan jengkel. "Gue kan, udah bilang mau bayarin lo."

"Terus aja lo bayarin, biar utang gue numpuk," tukas Nirma sembari menggeleng tak terima. "Jangan gini lagi ya, gil. Gue enggak enak sama lo."

Agil tersenyum simpul menanggapi keluhan Nirma. "Lo geer banget sih, kan bukan cuma lo yang gue bayarin."

Wajah Nirma memerah seketika. Agil bener, ia terlalu percaya diri karena mereka digosipkan dekat. "Sorry. Gue duluan ya."

Alya segera menyusul Nirma setelah berterima kasih pada Agil, yang masih mematung di tempatnya, memandang punggung Nirma yang menjauh.

"Nir, jangan cepat-cepat jalannya." Alya terseok-seok mengekori Nirma yang berjalan cepat hingga masuk ke salah satu bilik toilet. "Aduh, ini anak kebanyakan makan sambal atau gimana sih?"

Alya langsung menghampiri sahabatnya tatkala Nirma keluar dari toilet. "Eh, lo denger tadi, kan? Kak Jendra udah punya cewek ternyata. Pantesan kayak jaga jarak gitu sama cewek."

"Bohong doang kali, biar Kak Nessa enggak ngotot terus." Nirma masih berusaha menolak fakta yang ia dengar beberapa saat yang lalu.

Alya menggeleng keras. "Enggak mungkin. Lo enggak lihat tadi ekspresi kaget Kak Dion?"

Nirma termangu, mengingat kejadian yang sempat gempar di kantin, beberapa saat yang lalu.

"Gue udah punya cewek."

Nirma mendengar, Jendra mengucapkan kalimat itu dengan penekanan di setiap katanya. Ditambah lagi, pekikan kaget Dion, yang tampak sekali natural, membuat hati Nirma seperti dicubit.

"Jadi, lo balikan, Jen?" tanya cowok itu yang dijawan Jendra dengan senyuman. Entah apa arti senyuman itu, Nirma tak tahu. Yang ia tahu hanya hatinya yang sempat pulih, kini tersayat lagi.

"Nir." Panggilan Alya, membuat gadis itu sadar dari lamunannya. "Kayaknya gue tahu, kenapa Kak Jendra selalu menyembunyikan pacarnya selama ini." Nirma memandang sahabatnya itu penuh tanya. "Karena Kak Nessa lah. Kak Jendra takut ceweknya jadi korban kenekatan Kak Nessa." Alya kemudian bergidik ngeri. "Serem ya, cantik-cantik nekat. Malu gue sebagai cewek, lihat keributan tadi."

"Terus, kalau menurut otak lo yang encer itu, kenapa sekarang akhirnya Kak Jendra ngaku? Enggak dari dulu aja? Kan sekarang Kak Nessa jadi tahu semuanya," tanya Nirma dengan nada sekasual mungkin.

"Asal enggak ketahuan siapa orangnya, masih aman kali. Mungkin sekarang Kak Nessa semakin keterlaluan. Lo enggak dengar tadi? Udah dicuekin, di-reject teleponnya, di-read doang pesannya, masih aja ganggu Kak Jendra sama teman-temannya waktu lagi nugas." Alya menjentikkan jarinya, seolah baru saja memecahkan kasus berat layaknya Edogawa Conan. "Lo tahu kan, persahabatan antara cowok itu lebih lengket dari pada superglue? Kak Jendra jengkel kali, dua sahabatnya digangguin juga."

"Makanya, mending lo mulai move on dan membuka diri sama yang jelas-jelas ada buat lo," lanjut Alya sembari tersenyum penuh arti.

Nirma membelalak kaget dan tergagap. "Lah, kok gue? Mestinya lo bilang gitu ke Kak Nessa."

Alya kembali tersenyum dan merangkul bahu Nirma yang tengah merapikan poninya di cermin toilet. "Nir, gerak-gerik lo kebaca. Tanpa perlu ke dukun juga, gue lama-lama sadar, Voldemort yang lo maksud itu Kak Jendra. Yang gue masih heran, kenapa lo repot-repot berubah demi dia? Dia kan enggak kenal lo."

"Dih, siapa juga yang berubah demi dia. Gue berubah buat diri gue sendiri. Kalau gue bisa jadi lebih baik, kali aja Kak, eh ..., bukan maksud gue ...." Nirma langsung gelagapan karena hampir saja mengucap nama Jendra.

"Terciduk!" Alya menyeringai puas karena berhasil memancing Nirma. "Ngaku enggak lo! Tenang aja, rahasia lo aman sama gue. Emang lo pernah lihat gue ngobrol haha-hihi selain sama lo?"

Menghela pasrah, Nirma akhir mengangguk. "Iya, terima kasih lho atas analisisnya. Tapi, move on enggak bisa mendadak kayak lo goreng tahu bulat yang bisa dadakan gitu kali."

"Siapa juga yang bilang dadakan? Lagian lo belum pernah jadian juga. Enggak cocok juga sih disebut move on."

Ingin rasanya Nirma melakban mulut sahabatnya yang kadang terlalu jujur itu. Dari bahasan Alya, sepertinya Nirma bisa menebak arah pembicaraan gadis itu. Namun, Nirma tentu saja tidak mau melakukannya.

"Lo dibayar berapa sama Agil?" tanya Nirma sembari pura-pura mengecek ponselnya, agar tidak kelihatan terlalu kepo.

"Maksud lo, gue nyomblangin lo sama Agil karena gue dibayar?" tanya Alya tak terima. "Gue enggak nyomblangin. Gue cuma kasih saran. Diterima syukur, kalau enggak ya berarti lo bego, udah nolak cowok kayak dia."

Nirma tertawa sumbang mendengar kalimat Alya yang begitu menohok hatinya. "Gue sebenarnya sadar kok, dia ngedeketin gue. Tapi, gue enggak suka sama dia. Gue enggak mau ngasih harapan, apalagi dengan tega jadiin dia pelarian karena Kak Jendra udah punya cewek. Mending gue benerin sekrup-sekrup di otak gue yang kendur ini, biar agak pintar kayak lo."

"Tapi, lo kan belum nyoba, Nir?"

Nirma menggeleng. "Ini hati, Al, bukan buat barang percobaan. Gue enggak mau bikin dia sakit hati, karena dia yang udah berbaik hati, ngebuka jalan buat gue dekat sama anak-anak lain."

Alya tersenyum simpul, mendengar penolakan yang secara tak langsung, gadis itu tujukan untuk Agil. "Super sekali. Lo pasti habis nyontek kata-kata mutiara di internet."

"Mulut lo tuh ya!"

Mereka berdua tertawa dan meninggalkan toilet, dengan perasaan jauh lebih ringan dari sebelumnya.

***

Ternyata, Nirma sadar sama modusnya Agil, Pemirsaaahhhh -_-

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

Cheers,

JANJI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang