Janji 9 - Konsekuensi

41.1K 4.4K 193
                                    

Nirma mencerap lembar latihan soal dari Jendra, yang penuh dengan coretan tangan pemuda itu dengan tinta merah. Gadis itu menghela napas lelah. Jendra tidak seperti yang dia lihat selama ini. Jendra yang dari jauh terlihat keren dan tampak menyenangkan ketika bersenda gurau dengan teman-temannya, nyatanya tak lebih dari seorang pemuda bermulut pedas yang mudah sekali melontarkan hinaan. Namun, kepalang tanggung untuk mundur. Nirma akan membuktikan pada Jendra bahwa ia tak sebodoh yang pemuda itu kira.

Apa hanya karena lemah di salah satu pelajaran, lalu ia pantas dicap bodoh?

Kegamangan kembali meliputi gadis itu. Seolah perasaannya terbagi menjadi dua. Terus menjadi Nirmala yang bodoh dan mengharapkan Jendra, atau menjadi Nirmala yang tangguh dan membuat Jendra mengakui kemampuannya.

"Yang satu mustahil, yang satunya lagi ... uhm ... kayaknya bisa sih, tapi entar enggak bisa deket lagi sama Kak Jendra dong," gumamnya pada lembar latihan yang jelas-jelas tak mungkin menanggapinya.

"Atau gini aja!" Nirma menjentikkan jari seolah baru saja berhasil melakukan percobaan yang bisa mengguncang dunia. "Kalau skor TOEFL gue berhasil dapet 550, gue bakal nem ... ah, masak gue bikin janji-janji lagi. Gue kan, udah tobat."

"Yang jelas, lo harus bisa bikin Kak Jendra mengakui kemampuan lo, Nir! Bikin dia mingkem sampai dia enggak bisa menghina lo lagi! Soal hati itu nanti bisa belakangan. Percuma bisa deket, tapi makan hati terus," katanya pada diri sendiri dengan penuh semangat.

Lo yakin mau move on?

Satu pertanyaan muncul di pikiran Nirma. Membuat semangat gadis plin-plan yang semula berapi-api ini, sedikit meredup.

"Yakin kok," gumam Nirma tak yakin. "Gue mau belajar ngelupain perasaan bodoh ini."

Ketukan pintu kamar, membuat Nirma terkejut dan beranjak dari meja belajarnya. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 19.25. Pasti Giri sudah pulang.

"Lo ngomong sama siapa, Nir?" tanya Giri begitu Nirma membukakan pintu untuknya. Pemuda itu melewati Nirma dan duduk di kasur adiknya. "Jangan-jangan lo ngomong sama tembok lagi kayak biasanya. Lo kalau ada masalah cerita dong. Jangan keseringan curhat sama tembok, entar gila loh."

"Apaan sih, Mas? Datang-datang langsung ngomel kayak petasan renteng. Lagian, siapa juga yang curhat sama tembok? Kayak orang gila aja."

Giri cengengesan mendengar gerutuan adiknya. "Eh, gimana? Tadi Jendra datang, kan? Galak enggak?"

"Banget! Kenapa Mas Giri malah milih dia buat jadi tutor gue sih? Kan waktu itu gue bilang cariin anak kuliahan yang cewek aja." Nirma sedikit mengeluarkan uneg-unegnya mengenai tingkah Jendra, minus bagian hina-menghina yang sering pemuda itu lakukan. "Kak Jendra tuh kalau ditanyain malah melotot, terus ngomel-ngomel. Padahal dia kalau jelasin tuh cepet banget. Mana gue paham?"

Alih-alih marah, Giri malah tergelak mendengar curhatan adiknya. "Udah gue kira sih kayak gitu. Tapi, akhirnya dia tetap jelasin ke lo, kan?" tanya Giri yang dijawab Nirma dengan anggukan, belum tahu ke mana arah pikiran kakaknya. "Itu yang gue mau. Jendra yang sebelumnya mana mau repot-repot jelasin? Biar dia bisa sedikit belajar sabar, dengan menjelaskan materi yang lo enggak paham."

"Sabar apaan? Gue diomelin terus!"

Giri tersenyum simpul melihat raut wajah jengkel Nirma. "Sifat itu enggak bisa berubah segampang membalik telapak tangan, Nirma."

"Dan Mas ngorbanin perasaan gue demi melatih kesabaran Kak Jendra gitu? Adiknya Mas itu dia atau gue sih?"

"Gini ... sini lo duduk dulu." Giri melambaikan tangannya, meminta Nirma duduk di sebelahnya. "Lo sendiri pernah bilang kan, Jendra enggak salah. Dia enggak sengaja bikin lo jatuh gara-gara lo minta dia nampar lo. Gue tahu, Nir, lo sering janji sama diri lo sendiri buat ngelakuin ini-itu, kalau permintaan lo terkabul. Itu bagus sih buat motivasi, tapi jangan sampai ngorbanin orang lain dong."

Giri menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, "Memang awalnya gue antara percaya enggak percaya sama yang lo jelasin waktu itu, tapi setelah gue runut, gue sadar lo sering melakukan sesuatu kalau keinginan lo terwujud. Lo inget waktu tiba-tiba lo ngecat pagar belakang pakai cat biru? Gue sempat denger kok waktu lo janji bakal ngecat pagar kalau lulus tes masuk Linus." Giri yang kadang mengusilinya, ternyata begitu memperhatikannya.

"Kenapa sih, lo enggak bikin janji yang lebih bermanfaat aja? Misal, setelah lulus tes Linus, lo bakal bagi-bagi sembako buat orang enggak mampu. Kayak soal Jendra juga, kenapa juga lo mesti minta dia nampar lo cuma gara-gara lo kaget ada atlet sekolah nawarin payung? Enggak faedah banget janji lo. Jangan-jangan, lo naksir sama dia?"

"Enggak!" Jawaban Nirma yang begitu cepat, malah membuat Giri menyeringai jahil.

"Bukannya gue enggak sayang sama lo, tapi gue pengin lo tanggung jawab sama janji aneh lo itu. Ngadepin Jendra yang gampang emosi, itu konsekuensi lo karena udah bikin dia keseret masalah lo." Giri berhenti beberapa saat sebelum berucap, "Tapi, sebenernya gue juga mau terima kasih sama lo sih, Nir. Berkat lo, gue jadi ada alasan buat melatih emosi Jendra."

"Mas ... tapi, gue kadang sakit hati sama omongannya. Kenapa sih, lo enggak belain gue aja?" gerutu Nirma yang belum terima ternyata Giri memanfaatkannya.

"Kan awalnya lo yang salah. Dan gue udah bilang, itu konsekuensi lo, Nir. Siapa tahu masalah ini bisa mendewasakan kalian berdua. Lo jadi lebih berhati-hati kalau bikin janji, dan Jendra lebih sabar ngadepin orang-orang."

"Iya sih ... awalnya gue yang salah, tapi lo manfaatin gue buat melancarkan niat lo itu. Lo jahat banget tahu enggak sih, Mas?"

"Lebih jahat mana sama orang yang lepas tanggung jawab setelah bikin keributan?" Giri melirik Nirma dengan sinis. "Oke, gue jahat sama lo, dan lo jahat sama Jendra. Tapi, niat gue baik buat kalian berdua. Lagian, Jendra itu pinter kok, Nir. Dia kan lebih paham pelajaran SMA soalnya ngalamin sendiri."

Giri melanjutkan ucapannya sebelum Nirma sempat menyela. "Enggak perlu juga sampai TOEFL lo 550, asal nilai lo semester ini membaik dan Jendra udah banyak berubah, lo bisa minta dia berhenti jadi tutor lo. Tapi, kalau lo mau lanjut sampai skor lo segitu ya, terserah lo aja."

Alasan-alasan yang Giri kemukakan, semakin membuat Nirma sadar bahwa ia harus menghadapi situasi ini, mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Udah, lo nurut aja sama gue. Gue enggak bakal bikin lo celaka kali. Asal lo tahu, lo sama Jendra itu sama-sama berharga buat gue."

Nirma mengernyit tak paham, tapi enggan bertanya, karena jika Giri sudah berkata 'Nurut aja', pasti kakaknya itu punya alasan tersendiri yang tak ia ceritakan. Dengan berat hati, ia menghadap kakaknya, dan berujar tak yakin.

"Oke."

***

Kak Giri tega banget ngorbanin perasaan Nirma

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

Oh iya, udah pada bisa nebak kan, Saturdate with Linus besok Sabtu tamunya siapa? Kira-kira siapa ya, yang cocok meranin dia?

Cheers,
matchaholic

JANJI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang