Janji 3 - Ketika Kertas Itu Teremas

52.9K 5.8K 513
                                    

Nirma buru-buru berdiri saat mendengar suara yang begitu familer di telinganya. Ia berusaha membersihkan roknya yang kotor karena kubangan air, walau pada akhirnya itu adalah kegiatan yang tidak ada faedahnya.

Alih-alih membatu Nirma berdiri, Jendra malah berlari kecil menghampiri pelatihnya yang entah kenapa datang ke sekolah. Padahal seingatnya, hari ini tidak ada jadwal latihan.

"Saboemnim[1]." Jendra menunduk memberi hormat pada pelatih taekwondo yang entah kenapa, kini menatapnya dengan bengis. "Tumben nih Kak Giri ke sini."

Belum sampai Giri menjawab, Nirma menyusul mereka berdua. "Hape-nya diloakin ya, Mas? Ditelepon dari tadi enggak bisa!" Seruan Nirma membuat Jendra menatap horor ke arah mereka berdua.

Mas? Jangan-jangan, cewek gila ini adiknya Kak Giri? Mati aja lo, Jen!

Dan Tuhan pun membenarkan perkiraannya. "Kamu apain adik saya?" tanya Giri dengan suara rendah, sarat nada intimidasi. "Saya lihat sendiri, kamu dorong adik saya sampai jatuh!"

Jendra membelalak tak terima dengan tuduhan pelatihnya itu. "Kak, tadi itu saya enggak sengaja. Adik Kak Giri yang narik-narik tangan saya."

"Mas! Ini enggak seperti yang –"

"Udah lo diam aja, Nir!" Nirma langsung terdiam saat melihat sorot kemarahan yang Giri tampakkan.

"Adik Kak Giri tadi minta ditampar. Ya, saya enggak mau lah. Eh, dia malah maksa."

Giri terkekeh sumbang mendengar pembelaan yang Jendra jabarkan. "Kamu pikir adik saya gila? Buat apa dia minta ditampar sama kamu?"

Adik lo memang gila kok!

"Ya, mana saya tahu!" Jendra menatap tajam ke arah Nirma, seolah memberi kode agar si biang onar, menjelaskan masalah yang sebenarnya. Namun, nyatanya Nirma hanya diam, membuat Jendra geregetan dan kembali berujar, "Eh, lo jelasin dong! Gue jadi kebawa-bawa kan, gara-gara permintaan aneh lo itu!"

"Mas, yang dibilang Kak Jendra benar kok." Akhirnya Nirma membuka mulut dan memandang dua orang di hadapannya dengan takut-takut. "Tadi... tadi... gue minta ditampar, soalnya dia ngajak gue pakai payung bareng. Gue kira... itu mimpi. Jadi, gue minta ditampar."

Alis Jendra menukik tajam mendengar alasan tak masuk akal dari gadis itu, sedangkan Giri malah tertawa keras yang tampak sekali dibuat-buat.

"Lo pikir gue percaya?!" sembur Giri pada Nirma. "Ngapain lo belain dia? Lo takut di­­-bully sama dia?" Kini pandangan Giri beralih ke arah Jendra sepenuhnya. "Mentang-mentang kamu jago taekwondo, terus bisa kasar seenaknya gitu?"

"Tapi yang dibilang adik Kak Giri itu benar kok. Posisi saya di sini malah sebagai korban!" Jendra masih berusaha membela diri.

"Jen, kalau pun yang dibilang adik saya itu benar, enggak sepantasnya kamu bersikap kasar sama orang lain. Apalagi sama cewek." Kali ini suara Giri lebih lunak dari yang sebelumnya.

Jendra baru saja akan membantah lagi, tapi Giri sudah terlebih dahulu menyelanya. "Saya pernah lihat Dion misahin kamu waktu sabung, di dekat parkir dojang[2] sama anak kelas sepuluh." Ucapan Giri membuat Jendra teringat kejadian dua minggu yang lalu, saat dua anak kelas sepuluh yang ia ingatkan untuk membuang sampah dengan benar, malah mengatainya sok tahu. Jendra yang terpancing amarah, balik mengumpati mereka, sampai akhirnya keributan tak bisa dihindari. Untung saja, salah satu teman Jendra datang dan memisahkan mereka. Sayang, sepertinya Giri yang ia pikir sudah pulang, malah memergoki mereka.

Ternyata benar, kepercayaan itu seperti selembar kertas. Sekali ia teremas dan kusut, maka akan sulit kembali seperti semula. Seperti Giri yang sudah terlanjur melihatnya sabung di luar dojang, pasti tidak akan mudah percaya walaupun Jendra menjelaskan yang sebenarnya. Ditambah lagi kejadian sore ini, saat tanpa sengaja ia mengentakkan tangannya secara kasar hingga adik Giri jatuh ke kubangan. Kepercayaan Giri padanya akan semakin memudar, karena manusia lebih memercayai apa yang ia lihat, daripada apa yang ia dengar.

Giri memandangi Jendra sedikit ragu, lalu menghela napas pelan sebelum akhirnya berucap, "Ngelihat kamu kayak gini, kayaknya saya mending membatalkan, merekomendasikan kamu ke Pak Abi."

Mata Jendra melebar seketika saat mendengar nama guru olah raganya disebut. Itu sama saja dengan kesempatannya maju ke POPDA[3] nyaris pupus. "Sumpah, Kak! Ini bukan salah saya. Saya mohon dengerin penjelasan saya dulu."

"Cukup, Jendra! Saya enggak mau tahu. Besok sore, saya tunggu kamu di kafe Polaris. Kita bahas ini lebih lanjut. Kalau kamu enggak datang, bisa saya pastikan, kamu enggak akan saya rekomendasikan ke Pak Abi," pungkas Giri mengakhiri ancamnnya. Dengan segera, pemuda itu meraih tangan Nirma dan menyeretnya meninggalkan pelataran sekolah. "Ayo pulang."

Nirma tak berani menatap Jendra yang kini seolah ingin menelannya hidup-hidup. Gadis itu terseok-seok mengikuti langkah jenjang kakaknya hingga masuk ke mobil yang diparkir dekat dengan pagar sekolah.

Jendra berjalan ke tempat parkir dengan memikirkan kesialannya hari ini. Hanya karena ingin menghindari Nessa, ia sengaja pulang terlambat. Sayangnya, lolos dari dari Nessa, ia malah bertemu gadis aneh dengan permintaan yang tak kalah anehnya. Hanya karena permintaan gadis itu, kini kesempatannya berlaga di tingkat provinsi hampir musnah.

"Mimpi apa sih gue semalam sampai sial banget gini?"

Mendecak sebal, pemuda itu menggantunggkan payung di tempat payung yang tersedia di salah satu tempat parkir. Dengan ogah-ogahan, ia menghampiri motornya yang terparkir rapi di pojokan. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti seolah teringat sesuatu yang sangat penting.

Bentar. Kayaknya berlebihan kalau Kak Giri sampai nggak rekomenin gue ke Pak Abi cuma gara-gara ketahuan sabung.

"Jangan-jangan, Kak Giri dendam gara-gara pernah gue kerjain." Jendra menyuarakan pemikirannya, seraya mengingat-ingat kejahilannya pada sang pelatih seminggu yang lalu.

[1] Sebutan untuk pelatih taekwondo.

[2] Tempat latihan taekwondo.

[3] Pekan Olahraga Pelajar Daerah.

***

Jendra usil banget pakai ngerjain pelatih taekwondonya segala. Kira-kira apa yang dilakukan Jendra sampai cowok itu ngira Giri dendam sama dia ya?

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

Cheers,

matchaholic

JANJI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang