Nirma menyesap segelas air putih, sembari sesekali melirik Papanya yang tengah menghabiskan sarapan. Hari ini, hari terakhir di semester ganjil, sekaligus pembagian raport. Papanya sendiri, baru datang tadi malam. Beliau sengaja datang untuk mengambil raport Nirma. Itu membuat Nirma hampir tak bisa memejamkan mata hingga tengah malam, karena salah satu nilai di raport itu adalah janjinya pada Jendra. Ia takut tak bisa menepatinya dan mengecewakan tutornya tersebut.
Sejak ia dan Jendra saling mengajukan permintaan di kafe, satu setengah bulan yang lalu, Jendra jarang datang ke rumahnya lagi. Memang Nirma sudah melarang cowok itu datang, tapi tetap saja Jendra menyempatkan muncul ketika tidak ada latihan. Hal itu membuat Nirma semakin tertekan. Jendra saja yang sibuk menyiapkan diri untuk POPDA dan ujian semester akhir, masih menyempatkan diri menemaninya belajar. Mana mungkin ia bisa bersantai-santai?
"Udah, Nir? Ayo, berangkat!" ajak Papanya saat melirik piring di hadapan Nirma sudah kosong.
Nirma mengangguk dan mengekori Papanya. Dalam perjalanan, ia lebih banyak diam dan sesekali mengecek ponsel, berharap Jendra mengirim pesan untuknya. Memang, akhir-akhir ini, intensitas Jendra mengirim pesan berkurang. Bahkan, jika Nirma tak mengirimi pesan terlebih dahulu, Jendra mungkin tak memberi kabar padanya. Namun, ia tahu, Jendra melakukan itu karena sedang sibuk mengejar mimpinya.
Emang lo siapanya Jendra, Nir?
Berkali-kali pertanyaan itu singgah di pikiraanya, saat menanti pesan dari Jendra. Seharusnya ia sadar, status mereka hanya sebatas tutor dan muridnya. Tetapi, tetap saja ia merasa Jendra memperlakukannya istimewa.
Berkali-kali ia menghela napas, membuat Papanya menoleh dan bertanya, "Kenapa, Nak? Enggak usah gugup gitu. Yang penting kamu udah usaha."
Nirma menengok ke arah Papanya dan tersenyum canggung. Jika saja mereka tak saling bicara dari hati ke hati beberapa bulan yang lalu, mungkin Nirma masih menganggap Papanya, ayah yang jahat. Begitu juga sebaliknya, Papanya masih menganggap Nirma tak bersungguh-sungguh dengan sekolahnya.
"Tetep aja kan, Pa, Nirma takut. Bisa dapet KKM aja udah syukur banget." Nirma mendecak kecil, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Papanya menggeleng pelan saat melirik Nirma. "Kenapa pesimis gitu? Giri bilang Bahasa Inggris kamu udah meningkat. Kemarin juga kamu pamerin ulangan terakhir sama ujian semester dapet bagus." Papanya berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Giri bilang, tutor kamu itu anak Linus juga."
Nirma mengangguk pelan. "Iya, Pa. Kakak kelas. Anak taekwondo juga kayak Mas Giri." Tanpa Nirma sadari, ia tersenyum mengingat wajah Jendra. "Dia keren deh, Pa. Bisa bagi waktu antara taekwondo sama sekolah. Terus, Papa tahu enggak? Dia pernah ngalahin Mas Giri loh." Nirma terbahak mengingat Giri terjatuh di atas matras karena dikalahkan Jendra.
"Oh, ya? Papa jadi pengin ketemu dia."
"Ngapain?!" seru Nirma terkejut mendengar penuturan Papanya. "Dia lagi konsen buat POPDA, Pa. Dia ... enggak bakal punya waktu buat ketemu Papa," lanjut Nirma dengan suara lirih.
"Kamu curhat?"
"Apaan sih, Pa!" Nirma menggerutu jengkel karena Papanya mendengkus geli. Pasti Giri sudah menebar bermacam-macam gosip tentangnya dan Jendra pada sang Papa. Nirma berjanji dalam hati, akan menjadikan salah satu boxer merah kesayangan Giri sebagai lap kompor. Biar kakaknya itu tahu rasa, saat kesayangannya dijadikan bulan-bulanan.
Sesampainya di sekolah, Nirma mengikuti Papanya masuk ke kelas. Mereka belum terlalu terlambat, karena Bu Risma−wali kelas Nirma−baru saja membuka acara. Setelah memberikan beberapa penjelasan, Bu Risma mulai memanggil peserta didik satu persatu. Tangan Nirma semakin dingin, membuatnya meremas tepian rok untuk menghentikan kegugupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANJI [Completed]
Teen Fiction[Proses Penerbitan. Part Masih Lengkap.] JANJI [Update setiap Rabu dan Sabtu] "Percuma juga menghindar, kalau lo udah jadi takdir gue" a story by Alifiana Nufi _______________ Nirmala namanya. Tunggu, jangan bayangkan dia gadis anggun dengan gaun du...