Janji 23 - Curiga

34.5K 3.8K 229
                                    

Alya menyeret Nirma ke kantin, karena semenjak tadi pagi, wajah gadis itu terlihat suntuk. Berkali-kali ia bertanya, tapi gadis itu selalu menjawab 'enggak apa-apa' seperti kebanyakan orang berbohong tentang keadaannya.

Akhirnya Alya menyerah untuk memaksa Nirma menceritakan masalahnya. Biasanya, setelah Nirma merasa terdesak, ia baru akan menceritakan masalah itu. Setidaknya Alya berharap, dengan mengisi perut dengan makanan kesukaannya, wajah suntuk Nirma bisa sedikit memudar.

"Gue lagi enggak pengin makan, Al. Gue udah sarapan," gerutu Nirma saat Alya menyodorkan kertas menu ke hadapannya.

Mendesah lelah, Alya berujar, "Gue denger perut lo bunyi kali. Gue enggak maksa lo cerita masalah lo, tapi seenggaknya, lo bisa jaga badan lo sendiri. Jangan gara-gara lagi suntuk, lo males ngapa-ngapain, termasuk makan. Itu bego namanya."

Nirma memandang Alya, lalu tersenyum kecil. Sejak dulu, Nirma tak memiliki sahabat yang sangat dekat, seperti Alya. Giri lah yang selalu menemaninya ke mana-mana, dan melindunginya dari anak-anak yang menganggu gadis itu.

"Ah, lo kelamaan milih. Bakso beranak aja ya?" tanya Alya retoris, kemudian berlalu ke arah Pak Jamil, untuk memesan makanan kesukaan sahabatnya.

Sepeninggalnya Alya, Nirma mengerling ke arah meja kantin seberang, yang biasa ditempati Jendra dan teman-temannya. Meja tersebut kosong. Entah kenapa tidak ada orang lain yang menempati meja itu. Namun, Nirma memang sempat mendengar desas-desus bahwa anak-anak lain tak ada yang menempati meja itu, karena merasa sungkan pada Davin. Memang cucu pemilik yayasan Pelita Nusantara itu tak pernah menyinggung soal statusnya di sekolah, tapi tetap saja anak-anak yang tidak dekat dengan Davin, tak ingin membuat masalah dengan cowok itu.

Nirma menoleh ke arah kanan, saat merasa kursi di sebelahnya bergeser. Agil duduk di sebelahnya dengan membawa semangkuk mi ayam dan es jeruk.

"Kosong, kan? Gue duduk di sini ya? Yang lain penuh." Ucapan cowok itu membuat Nirma menaikkan sedikit alisnya. Padahal, ada beberapa meja yang masih kosong, tapi memang di dominasi kakak kelas. Nirma tak melarang Agil duduk di sebelahnya karena ia berpikir, mungkin cowok itu merasa sungkan pada kakak kelas yang tak ia kenal.

"Lo enggak makan?" tanya cowok itu sembari mengaduk mi ayamnya.

Belum sampai Nirma menjawab, Alya datang dengan dua mangkuk bakso beranak dan beseru, "Kok lo di situ, Gil? Minggir kali, itu tempat duduk gue."

Agil berdecak sebal, lalu berdiri dan membantu Alya membawa mangkuk dan meletakkannya di meja, sebelum akhirnya pindah duduk di depan Nirma.

"Thanks ya, Al." Nirma tersenyum dan mulai menyesap kuah baksonya. Namun, tiba-tiba saja gadis itu tersedak kala melihat Jendra, Dion, dan Davin bercanda, lalu menempati meja mereka seperti biasa.

Untung saja, Agil ada tepat di hadapannya sehingga dari meja seberang, mungkin posisi Nirma tak begitu jelas. Belum begitu yakin dengan posisinya, Nirma sengaja menggeser botol saus, tempat tisu, dan tempat sendok tepat di depannya, agar keberadaannya sedikit tersamarkan. Sayang, usahanya sia-sia. Dion sudah keburu melihatnya. Cowok itu tersenyum semringah, lalu melambaikan tangannya.

"Itu Kak Dion dadah-dadah siapa sih?" gumam Alya seraya menoleh ke belakang, tapi orang-orang di belakangnya pun tak ada yang peduli.

Agil sendiri ikut menoleh ke arah meja seberang, lalu mengangkat bahunya. "Dadah-dadah Pak Jamil kali, pengin bakso beranak dalam kubur."

"Lo pikir film horor!" desis Alya sebal, karena tanggapan Agil yang begitu usil.

Dari mejanya, Nirma bisa melihat Davin yang tengah menelepon, sedangkan Jendra menarik tangan Dion berkali-kali untuk duduk, seraya melirik Nirma dengan tajam. Entah tarikan Jendra yang tak terlalu kuat, atau memang Dion yang memiliki tenaga kuda, nyatanya cowok itu masih berdiri dan tak mau duduk.

JANJI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang