4

3.4K 432 15
                                    

Dian tak benar-benar tertidur. Ia mendengar cerita Ryan. Mendengar cerita masa lalu itu, Dian tergugah untuk bertanya.

"Kalau kamu mau ngelindungin aku, kenapa sekarang kamu gak bisa ngelindungin aku dari semua orang yang menganggap aku remeh? Aku ngerasa jauh banget dari kamu. Padahal kamu ada di deket aku sekarang."

Dian menangis lagi. Sedikit demi sedikit, rasa sakit di hatinya mulai menguap meskipun sakit rasanya saat diungkapkan.

"Maaf. Aku gak bisa lindungin kamu dengan cara yang bener. Kamu sakit juga aku gak bisa berbuat banyak."

Ryan semakin mendekat pada istrinya itu. Menepuk-nepuk pelan punggung istrinya. Tak terasa hari sudah siang.

"Kamu belum sholat, Mas. Sholat dulu sana."

Merasa diperhatikan lagi oleh istrinya, Ryan tersenyum lega. Setidaknya ia masih perhatian dan tidak menolak pelukan Ryan.

"Aku ke mesjid dulu, yah."

Sebuah kecupan manis Ryan daratkan di puncak kepala istrinya.

Saking lemasnya, Dian tak bisa berdiri lama-lama. Ia butuh pegangan saat berdiri. Ia memilih sholat di atas kasur saja sambil duduk.

***

Aku merasa gagal menjadi suami yang baik. Aku tak bisa membelanya di saat orang-orang terfokus padaku untuk menyanjung atas keberhasilanku. Mereka berpikir semua kesuksesan yang aku raih itu berkat diriku sendiri. Mereka salah.

Sejak awal dengan bangganya aku lulus menyandang sarjana kedokteran hingga aku mendapatkan gelar dokter spesialis anak, semua itu atas semangat yang Dian beri tanpa sadar. Dari semua ucapannya aku terinspirasi dan termotivasi untuk terus maju. Peran Dian amat sangat berarti untuk hidupku.

Setelah selesai menunaikan sholat Dhuzur, aku memutuskan untuk berkeliling rumah sakit sejenak. Dian benar. Kami butuh waktu untuk sendiri. Memikirkan lagi apa ada yang salah dengan hubungan ini. Selama ini aku kurang memikirkan keluargaku sendiri. Aku mengajaknya menikah, bukannya dia bahagia, malah dia yang menderita. Tapi aku tak bisa melepaskannya. Dia adalah pasangan yang sempurna untukku.

Aku tak butuh pasangan dengan keadaan yang sempurna, karena aku sendiri nyaris sempurna. Tapi dibalik 'kesempurnaan' yang aku miliki, terdapat sedikit celah dan hanya Dian yang bisa menutupi celah itu. Karena tak ada satupun manusia yang sempurna.

Mungkin fisikku sempurna di mata orang banyak. Aku juga punya karir yang bagus dan bisa dibilang sukses. Tapi aku tak bisa sesukses ini tanpa dukungan Dian. Hatiku sama sakitnya dengan Dian saat aku dipuji berlebihan di depannya. Istriku tak dianggap ada oleh mereka. Aku hanya bisa tersenyum simpul. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika aku membawa Rifan ke acara kumpul dokter di rumah sakit ini. Dian sama sekali tak dianggap sebagai ibu dari Rifan.



.




"Kenalin, ini anakku, Rifan."

"Waah, lucunya. Persis kaya ayahnya. Ganteng" ujar Tita, teman kerjaku sesama dokter anak.

"Ini sih anak ayah. Mirip banget sama ayahnya. Pasti udah gedenya seganteng ayahnya" ujar Renald temanku juga.

"Uhuuk..uhuukk.. Huaaaaa..." Rifan menangis.

Aku berusaha meredakan tangisan anak kecil usia tiga tahun itu. Tapi dia tak kunjung berhenti juga tangisannya.

"Sini, biar aku yang gendong. Kamu gabung aja sama temen kamu."

[Re] Perfect Mate ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang