Hari-hariku setelah pulang dari rumah sakit sangat memprihatinkan. Meskipun ia mengatakannya dengan cara yang halus dan tidak menyakiti. Tapi tetap saja itu terasa sakit. Seorang perempuan, masih muda, tanpa rahim? Aku memang sudah memiliki dua orang anak yang tampan dan cantik. Tapi kehilangan itu tetap membuatku hilang arah. Aku menangis meratapi kehilangan itu.
Kehilangan satu organ terpenting wanita, kehilangan satu tempat dimana itu dijadikan tempat tumbuhnya makhluk yang Ia titipkan untuk diasuh penuh kasih sayang, kehilangan kesempatan untuk memberikan keturunan tambahan untuk keluarganya.
Hal itu berulang lagi. Aku menangis setelah menunaikan ibadah Sholat Ashar. Sudah lewat satu bulan dari kejadian tempo lalu. Tapi masih membekas di hati.
"Sayang, kamu kenapa lagi, Hhmm?" Ryan yang baru saja pulang kerja langsung menghampiriku yang menangis di samping boks bayi. Ia lantas membawaku ke pelukannya. Aku menangis sejadinya.
"Mas. Hiks.. Maaf aku gak bisa ngasih kamu anak lagi."
"Sayang. Aku gak apa-apa kalau kamu cuma bisa ngasih dua aja. Kan, udah sepasang. Kamu harus terima ketentuanNya. Ini yang terbaik buat kamu dan juga keluarga kita."
Entah sudah berapa kali aku mendengar kalimat ini darinya. Meski bosan, aku tetap suka mendengarnya. Aku merasa tidak sendirian. Sambil mengusap kepalaku, ia berbisik kata-kata manis itu lagi.
"Aku gak bakalan kemana-mana. Apalagi nyari yang lain. Buat apa? Aku terima kamu apa adanya. Dari awal juga gitu, kan?"
Aku harus percaya padanya. Tetap berpikiran positif pada semua yang telah aku lalui. Berkat kegigihannya membantuku untuk bangkit, aku tidak sampai melupakan bayiku yang baru saja lahir. Aku bisa merawatnya dengan baik tanpa ada kekesalan dan menumpahkan segala rasa sedihku padanya.
"Lebih baik, kita rawat baik-baik anak kita. Sedih berkelanjutan itu gak baik. Udah sebulan. Aku tahu kamu kuat" sesekali ia menepuk punggungku. Menyalurkan semangat dan kekuatannya padaku.
Terima kasih, Ryan. Sudah bersamaku sampai sejauh ini. Kamu terus memberi tanpa aku meminta. Kamu terus sabar tanpa kenal lelah. Aku tidak pernah menyesal memiliki suami sepertimu. Aku dipersatukan denganmu benar-benar menjadikanku diri yang lebih baik.
**
"Mas kamu lagi ngapain??"
"Aku lagi gantiin popoknya, Nana. Kenapa?"
"Sama aku aja. Kamu, kan, udah hampir telat ke rumah sakit."
Saat aku hendak mengambil alih pekerjaannya, dia malah cepat-cepat membereskannya.
"Tuh udah selesai. Kamu istirahat cantik aja sambil nyusuin Nana. Aku mau berangkat ke rumah sakit dulu, ya" ucapnya setelah menyelesaikan pekerjaannya. Lalu ia menggendong Diana. Dia selalu membantuku mengurus Diana.
"Sini, biar aku aja yang gendong. Nanti kemeja kamu jadi berantakan."
"Gak apa-apa. Biar harum bayinya nempel di aku. Aku suka banget sama wanginya."
"Ya udah deh terserah kamu" kalau sudah begini aku tak bisa memaksanya lagi.
"Oh iya, Mas. Hari ini kamu pulang jam berapa?"
"Sore kaya biasanya. Kenapa?"
"Aku nanti ke rumah sakit, ya. Ada satu tempat yang mau aku tunjukin sama kamu."
"Kemana? Jangan bikin aku penasaran deh."
"Ada aja, Mas. Rahasia."
Kuambil Diana dari gendongannya. Ryan menekuk bibirnya dan menyilangkan kedua tangannya. Ryan nampak seperti anak kecil yang sedang kesal.
"Main rahasia-rahasiaan nih ceritanya? Oke. Aku tunggu nanti sepulang kerja."
"Nanti aku juga ajak Rifan sama Nana, kok. Jadi nunggunya di lobby rumah sakit aja."
"Oke siap. Muaah..." Ryan mencium keningku. Aku mematung lagi.
"Assalamu'alaikum.. Ayah mau berangkat dulu, ya. Gak usah dianterin ke depan. Dedek minum ASI aja supaya tambah gembil pipinya."
"Wa'alaikumsalam...." jawabku amat pelan.
Serangan mendadaknya masih bisa membuatku mematung. Tak pernah ada yang berubah dari sifat jahilnya. Ryan selalu berhasil membuatku seperti gadis remaja yang sedang kasmaran lagi.
**
Sepulang Ryan kerja, aku mengajaknya ke suatu tempat rahasiaku. Tempat yang tak pernah ada satu orangpun tahu kecuali aku. Tempat damai dan tentram itu jadi tempat peristirahatan terakhir kedua calon bayiku yang tak sempat tumbuh besar di dalam rahimku.
Ryan terlihat kebingungan saat melihat tempat yang aku sebut tempat rahasia. Ia melihat ke kanan dan kirinya sambil menggendong Diana setelah turun dari mobil. Tempat pemakaman umum yang ada di pinggir kota jadi pilihanku untuk menguburkan tubuh kecil calon bayiku. Aku memilih menguburkannya daripada membuangnya begitu saja.
Aku memimpin jalannya. Ryan dan Rifan mengikutiku di belakang. Tampak raut wajah kesedihan di wajah Ryan saat melihat batu nisan tak bernama jelas itu. Sudah lama juga aku tak mengunjungi mereka.
"Assalamu'alaikum anaknya Bunda.." aku berjongkok dan mengelus batu nisannya.
"Sekarang Bunda ke sini sama ayah, kakak kamu dan adik kamu. Maafin Bunda yang gak bisa jaga kamu, ya."
Ryan ikut berjongkok di sampingku. Rifan bingung melihat ayahnya mulai menangis.
"Ayah kenapa? Ini kuburan siapa, Bun?"
"Ini kuburan dua adik kamu. Sayangnya mereka gak bisa ketemu Rifan" ku jawab pertanyaan anakku.
"Jadi selama ini kamu kubur di sini? Usia berapa mereka dipanggil?" Ryan mulai bertanya padaku. Sudah waktunya ia tahu rahasiaku.
"Calon anak kita yang kedua harus gugur diusia kehamilan 12 minggu. Yang ketiga usianya 16 minggu. Aku gak bisa jaga mereka dengan baik. Mereka gugur dengan bentuk yang utuh. Makanya aku pilih untuk kuburin mereka di sini."
Aku sudah jauh lebih tegar menghadapi ini daripada Ryan. Ia terus menangis melihat makam calon anaknya. Aku bisa merasakan kesedihannya. Aku usap punggungnya untuk memberikan kekuatan.
"Nak, maafin Ayah yang gak bisa jaga kamu sama Bunda. Ayah janji, bakalan lebih baik lagi jagain Bundanya. Ayah nyesel banget baru bisa ketemu kalian sekarang. Malahan Ayah gak pernah tahu sebelumnya kalau kalian ada."
Air mataku terpaksa jatuh kembali karena perkataan Ryan. Dua calon bayi yang sudah aku ikhlaskan ini kembali aku tangisi dengan penuh penyesalan. Kalau saja waktu itu aku tak melepas kontrasepsiku. Mungkin mereka tak akan pernah ada. Rasa sesal ini aku terima. Semua ada hikmahnya dibalik kejadian ini.
"Mas, kita pernah ngelakuin kesalahan dengan sibuk sama pekerjaan tanpa menyadari mereka hadir. Tapi dibalik itu ada pelajaran yang bisa kita ambil. Semoga kejadian ini bisa menguatkan kita."
Ku peluk Ryan dan Rifan sebisaku. Berdoa dalam hati untuk kedua calon bayiku. Kejadian mungkin jadi peringatan untukku atas kesalahan yang aku lakukan. Tak pernah ada satupun kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang tidak meninggalkan satu pelajaran. Tugasku sebagai manusia berakal untuk mengambil pelajaran itu agar kehidupanku lebih baik ke depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Re] Perfect Mate ⭕
Short Story(Edisi Revisi) Aku gak butuh yang sempurna, karna kamu penyempurna hidupku - Ryan Hwang Minhyun (Ryan Agustian Malik) ❤ Jung Mimi Gugudan (Andini Dian Hafidza Putri Setyadi) start :20171110 end : 20171210 #193 in SS 20171226 #159 in SS 201...