5

3.5K 421 22
                                    

Hari Ke-2


Semalaman Ryan tidur bersamaku. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk pulang tapi dia tidak mau. Yang lebih parahnya, dia naik ke kasur pasien dan tidur bersamaku. Ada sesuatu yang aneh terjadi. Aku seperti kembali ke masa disaat awal kami menikah. Aku yang saat itu masih bingung kenapa aku bisa menikah dengannya, dibuat jadi ratu sehari olehnya.

Dia memperlakukanku sangat manis. Menyentuhku dengan lembut dan tidak memaksa. Selalu tidak ada paksaan darinya. Ada satu hal yang membuat jantungku berdetak tidak karuan untuk pertama kalinya saat bersamanya. Aku abaikan perasaan gugup itu dan lebih memilih pergi saja. Fansnya terlalu ganas padaku.

.

Aku berlari sekencang mungkin takutnya dia mengejarku. Aku berterima kasih. Berkatnya, aku bisa latihan menyuntik. Tapi saat memegang tangannya yang mulus tanpa cacat itu, aku jadi tidak tega. Semua perempuan di falultas kedokteran membicarakanku karena aku ada dalam satu lingkup dengan Ryan. Aku tak mau jadi pusat perhatian.

Bahkan omongan jelek tentangku juga banyak. Seperti saat ini. Meskipun gedung ini sudah sepi, tapi setiap ada kakak tingkat menatapku berbeda.

"Oh, jadi itu yang sok kegatelan sama Ryan??"

"Gak cantik-cantik amat sih. Biasa aja. Berani banget dia deketin Ryan."

"HAH!! Kembaran si Dion gak ngaca apa kalo dia beda banget sama Ryan? Dia bisa ngerusak imagenya Ryan kalo deket-deket dia terus."

"Centil banget emang dia. Gabung terus sama temen kembarannya. Dia gak punya temen cewe gitu?"

"Mana punya temen lah, dia kan orang aneh. Siapa juga yang mau temenan sama dia."

Dan berbagai selentingan lainnya. Aku memang tak berteman baik dengan sesama mahasiswa dokter di sini. Aku lebih dekat dengan mahasiswa keperawatan yang gedungnya ada di sebelah. Sore itu juga jadi sore yang menyedihkan ketika aku teringat pada satu fakta. Orang yang membuatku nyaman selama ini ternyata hanya menanggapku sebagai adik manisnya. Dia adalah pengganti sosok ibu untukku. Aku sudah terlalu nyaman bersamanya.

Tapi, saat aku menyatakan perasaanku kemarin, yang aku dapat malah kenyataan pahit. Ah, seharusnya aku bisa lebih menjaga hatiku supaya tidak terlalu sakit. Aku sudah terlalu sering menangis karena hal yang tidak penting. Aku memilih untuk duduk sendirian di taman belakang gedung fakultasku. Di sini sepi. Sangat sepi. Tak ada satupun orang yang datang ke sini.

Ku pandang kolam ikan yang ada di depanku. Jaraknya memang agak jauh, tapi suara airnya lumayan bisa menenangkanku. Teringat lagi masalah akhir-akhir ini aku menangis lagi. Dasar cengeng.

"Mau apa di sini??" aku langsung melihat ke sekeliling. Takut ketahuan.

"Kamu kenapa nangis?"

Aku kebingungan. Aku hapus air mata yang membasahi pipiku yang gembul ini secara kasar.

"Di sini sepi, kok. Gak usah takut ketahuan. Di sini aku cuma berdua sama aku."
Aku diam. Hanya menatap ke bawah. Tak berani melihatnya. Apa maksudnya dia aku takut ketahuan? Apa dia tahu dan sadar?

"Aku pergi dulu."

Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Aku segera berdiri, tapi dia mencegahku. Karena dia menarik tanganku, aku jadi kehilangan keseimbangan. Aku berakhir terjatuh dan menindihnya. Telingaku berada tepat di dada sebelah kirinya. Bisa ku dengar dengan jelas detak jantungnya yang irreguler itu. Detakannya cepat dan tak seirama. Kacau bisa dibilang. Karena hal itu, seperti ada listrik yang mengalir padaku, aku jadi ikut gugup dan jantungku berdetak tak karuan.

[Re] Perfect Mate ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang