8

3K 369 16
                                    

"Aah, jadi bener kamu degdegan juga pas kejadian di taman belakang fakultas? Hahahahha" Ryan tertawa sepuasnya.

"Gak tahu!" aku enggan untuk menerima. Tapi tadi sudah jelas aku bilang padanya.

"Waktu aku ngerjain tugas di rumah kamu, kamu iseng banget sih nanya begituan. Untung aku masih bisa kontrol diri."

"Pikiran kamu pasti kotor banget deh yah waktu itu!!" ku pukul pelan lengannya.

"Aau. Sakit dong sayang."

Dia mengelus lengannya yang tadi aku pukul. Ekspresi wajahnya lucu sekali seperti anak-anak. Terkadang, kalau aku sedang berdua dengannya. Aku melupakan semua kecemasanku. Aku berpikir masa bodoh dengan semuanya. Tapi, kalau aku jauh dengannya. Pikiran negatif itu muncul lagi.

Tok.. Tok... Tok... Tok..

Seseorang mengetuk pintu ruang rawatku.

"Masuk.."

Setelah tamu tak diundang itu masuk, semua kebahagian kecilku tadi seakan runtuh. Meskipun dia tersenyum manis padaku. Tapi aku tahu senyum itu palsu.

"Hai, Dokter Dian."

"Hai. Dokter Tita."

"Aku denger kamu sakit. Sampai Ryan cuti. Aah, ngerepotin aja deh. Kerjaan aku jadi makin banyak" untuk apa dia datang kalau hanya untuk mengeluh.

"Ini, aku bawa buah buat kamu. Cepet sembuh, ya."

Kata-katanya seperti tidak tulus.

"Kamu gak jaga di poli?" tanya Ryan pada Tita.

"Lagi jaga kok. Pasien banyak banget yang datang. Aku izin bentar. Kamu bisa bantuin dulu, gak?"

Sebelum menjawab, Ryan melirikku dulu. "Bisa" jawabnya.

"Oke, aku tunggu di bawah. Bye.. Aku pamit dulu."

Ekspresinya memang datar. Tapi nada bicaranya mengatakan semuanya. Aku benar-benar tak nyaman.

"Gak usah didengerin kalau dia ngomong. Kamu tahu kan dia mulutnya kaya gimana."

Ryan menatapku, tapi aku mengalihkan pandanganku. Menghindarinya.

"Sayang, aku pergi dulu sebentar, ya."

"Ya udah. Kalau mau pergi, ya, pergi aja."

Aku tak bisa menahan emosiku. Aku dipaksa bangun dan duduk oleh Ryan. Tetap, aku tak bisa melihatnya.

"Dengerin, kita baru aja baikan. Kamu tahu kan apa yang ada dipikiran aku?"

"Hhmmm" ku jawab seadanya.

Ryan memelukku dan membisikkan sesuatu, "Kamu udah mau jadi ibu dari dua anak. Bersikaplah lebih dewasa. Aku pergi dulu" ujarnya lalu mencium keningku.

Akhirnya dia pergi juga. Sedikit ada perasaan tidak rela. Aku benar-benar tak mengerti dengan diri sendiri. Apa ini efek dari kehamilanku? Beberapa menit kemudian, seseorang membuka pintu kamarku begitu Ryan pergi.

"Dian?"

"Kak Rizky??"

Aku sangat mengenal suaranya. Dia mendekati kasurku dan duduk di tempat Ryan tadi.

"Gimana? Udah ngerasa lebih sehat??"

"Alhamdulillah. Udah lebih sehat, Ka."

"Syukur deh. Aku kaget banget waktu tahu kamu pingsan di IGD. Apalagi kamu lagi hamil."

"Oh? Kaka tahu dari mana??"

"Dion. Dia cerita. Dia juga sempet konsultasi sama aku masalah kamu. Kalau janinnya baik-baik aja sih gak masalah. Dia khawatir banget sama kamu."

[Re] Perfect Mate ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang