Epilog

4.9K 391 103
                                    

"Assalamu'alaikum, Bu Dokter" kumpulan ibu-ibu warga desa sekitar menyapaku saat aku melewati mereka yang akan berangkat menuju perkebunan teh.

"Wa'alaikumsalam, Ibu-ibu" aku menjawab salam mereka dengan senyuman manis yang biasa aku perlihatkan. Seharusnya aku yang menyapa mereka.

"Bu Dokter abis dari mana? Sendirian aja?" tanya salah satu ibu pemetik daun teh.

"Kemana Mas dokter gantengnya?" goda ibu yang lain.

"Hehe. Suami saya lagi ngurus rumah. Saya abis dari pasar, beli sayur buat makan siang."

"Lain kali barengan atuh sama suaminya. Kasian itu berat, ya, belanjaannya?"

"Iya, Bu. Lumayan berat. Saya mau pamit dulu, Bu. Bentar lagi mau buka klinik."

Aku pamit dari perkumpulan ibu-ibu itu. Melanjutkan langkahku menuju rumah baruku. Tidak baru, tapi setiap kali aku memasuki rumah itu rasanya seperti rumah baru untukku. Padahal sudah hampir empat tahun aku tinggal di sana. Tapi untuk Ryan, mungkin ia sudah tinggal di sini selama sepuluh tahun.

Aku memilih berjalan kaki saja untuk pergi ke pasar. Aku suka dengan keadaan di desa ini. Desa terpencil yang ada di sebuah pegunungan ini dipilih oleh mertuaku untuk mengabdi. Aku dan Ryan sebagai anaknya meneruskan pengabdian itu atas permintaan ayah mertuaku. Tapi Ryan pindah lebih dulu dari aku. Dia mengizinkanku untuk sekolah lagi mengambil spesialisasi yang aku cita-citakan. Meskipun berpisah jarak yang cukup jauh selama hampir enam tahun, akhirnya aku berhasil meraih cita-citaku.

Sekarang di sinilah aku. Meneruskan pengelolaan sebuah klinik kecil bersama Ryan. Aku juga tak pernah menyangka, kalau satu sahabatku ikut ke sini juga. Jefri memboyong seluruh keluarganya untuk tinggal di sini. Mengabdi di desa terpencil ini dengan harapan desa ini bisa semakin baik lagi.

Tak membutuhkan waktu banyak untuk sampai di rumah. Aku langsung disambut remaja laki-laki anak pertamaku di depan gerbang. Ia membantuku membawakan belanjaanku. Remaja tinggi itu sudah semakin besar saja tanpa aku sadari. Anak yang dulu sempat aku sia-siakan, sekarang menjadi remaja penuh prestasi.

"Bun, maaf, ya, Rifan gak nemenin Bunda ke pasar."

"Gak apa-apa, Sayang. Kan, kamu harus siap-siap ke sekolah. Udah sarapan?"

"Udah, Bun. Tadi aku masak, loh. Rasanya lumayan lah. Tadi juga Ayah sama Nana ikutan makan."

"Masih ada gak sisanya? Bunda mau dong."

"Masih, dong, Bun. Khusus Bunda aku sisain."

Rifan menuntunku masuk ke dalam rumah. Sekarang sudah pukul setengah tujuh pagi. Dia harus segera berangkat sekolah kalau tidak mau terlambat. Rifan akan pergi ke sekolah bersama adiknya. Saat aku tanya apa cita-citanya, Rifan selalu bilang ingin seperti ayah dan bunda. Aku selalu menyelipkan doa semoga cita-citanya tercapai. Remaja mandiri itu terlihat semakin mirip ayahnya. Tubuh yang tinggi di atas rata-rata remaja laki-laki pada umumnya, wajah tampan, sikap yang baik, dan juga otaknya cerdas.

Aku diminta untuk mencicipi masakan buatannya. Terselip rasa bangga padanya. Pasti ayahnya juga sangat bangga padanya. Setelah mendapat komentar dariku atas masakannya, dia pergi ke sekolah bersama adiknya. Tinggallah aku dan Ryan di rumah. Dia sedang sibuk dengan kain lap dan sapu di tangannya. Hari ini adalah hari Jum'at, waktunya Ryan bersih-bersih rumah secara keseluruhan.

"Sayang, mau aku bantuin gak bersihin rumahnya?" aku menawarkan bantuan padanya. Tapi tetap jawabannya selalu sama.

"Gak boleh! Kamu duduk aja. Kan, tadi kamu udah ke pasar. Atau kamu mending masak aja. Atau siap-siap mandi. Bentar lagi kita buka kliniknya."

Selalu seperti itu. Ryan sangat suka pekerjaan bersih-bersih rumah. Aku sampai tidak boleh menyentuh alat perangnya. Dia selalu bilang padaku sesuatu yang manis dan aku suka itu.

"Kamu itu aku nikahin bukan buat bersih-bersih. Biar urusan bersih-bersih serahin ke aku aja."

"Iya, Mas. Kalau gitu aku mau siap-siap aja."

Saat hendak melangkah menuju kamar, langkahku ditahan olehnya yang sekarang sedang memelukku dari belakang.

"Sayang, istirahat dulu aja, yuk" dagunya ia tumpukan di pundakku.

"Kita buka klinik jam delapan loh. Ini udah mau jam tujuh, Mas."

Terkadang, sikap manjanya datang tiba-tiba. Mungkin sikap manjaku dan dia yang membuat pernikahan ini jadi lebih berwarna. Selalu ada hal manis meskipun itu kecil yang membuat aku tersenyum setiap harinya. Ia tak pernah bosan memanggilku dengan kata kesayangannya. Dari yang aku pelajari, itulah yang membuat pasangan suami istri bisa bertahan lama meskipun badai menghadang.

Aku hanya berharap satu hal. Semoga dia atau aku, tak akan pernah lelah untuk melakukan hal sederhana yang manis ini sampai kapanpun. Ryan adalah rumahku, tempat berpulang setelah bergelut dari kerasnya dunia. Aku juga ingin menjadi rumahnya. Tempatnya kembali setelah lelah mencari.

"Aku buatin teh, ya. Kamu duduk dulu."

Aku dituntun duduk di sofa ruang tengah. Rumah ini memang tak terlalu besar. Tapi cukup nyaman untuk jadi tempat tinggal. Di sini Ryan menghabiskan masa kecilnya. Tempat yang membuatnya kesepian tak ada teman karena dia anak tunggal.

"Ini, Sayang. Diminum dulu tehnya."

Ryan menyimpan secangkir teh di meja. Ku ambil teh itu lalu ku minum.

"Sayang, apa ini buah dari tujuan kita yang tercapai?" tanya Ryan tiba-tiba.

"Kenapa memangnya?"

"Karna aku bahagia. Mungkin bukan tujuan kita yang pernah kita diskusiin. Tapi tujuan aku. Aku bahagia bisa terus kaya gini sama kamu. Hampir tujuh belas tahun kita laluin sama-sama. Aku gak pernah ngerasa gak bahagia. Bahagianya aku sederhana. Lihat kamu tiap aku bangun tidur ada di samping aku, aku udah seneng."

"Mas apaan sih. Udah kepala empat juga, masih aja pinter ngegombal."

Ryan menatap lurus dan dalam ke mataku. Sekali lagi, aku berhasil dihipnotis olehnya.

"Dian, makasih untuk semuanya. Aku gak pernah ngerasa salah pilih pasangan."

Sebulir air mata jatuh tanpa terkendali. Ucapannya selalu membuatku terharu. Apalagi kalau aku mengingat perjuangannya selama tujuh tahun. Dia mendekatiku hingga kesabarannya berbuah manis.

"Kamu nangis terus tiap aku bahas ini" kedua ibu jarinya bekerjasama untuk menghapus jejak air mataku di pipi.

"Terharu, Mas. Harusnya aku yang bilang makasih. Kamu sabar banget nungguin aku."

"Karna aku percaya sama kamu. Aku percaya kamu bisa berubah."

Sebuah pelukan hangat ia berikan di pagi yang cukup dingin ini. Di luar hujan turun rintik-rintik. Menambah daftar alasan untuk berpelukan sejenak, mencari kehangatan.

"Mas, yuk, siap-siap buka klinik. Udah jam tujuh lebih nih."

"Bentar lagi. Aku masih pengen meluk kamu."

Ku biarkan dia memelukku sebentar lagi. Sentuhan sederhana seperti ini yang mempererat hubungan suami dengan istrinya atau orang tua dengan anaknya. Sesederhana itu, tapi membuat efek yang luar biasa.

Aku terus berharap dalam doaku, semoga kelak ia tetap jadi pasanganku. Sehidup dan sesurga. Seberat apapun cobaannya, kami tetap akan bersatu dan kembali pada pasangan pilihan hati.

Because we're perfect mate. Matched by our beloved God. - Ryan & Dian 

[Re] Perfect Mate ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang