18

3.2K 328 9
                                    

Lewat empat jam dari pemeriksaan kedua. Sekarang Dian sudah waktunya diperiksa dalam lagi untuk mengetahui kemajuan persalinan. Berarti sudah delapan jam Dian berada di sini. Tangannya tak lepas dari genggaman Ryan. Setiap kali ia kontraksi, pegangannya akan semakin erat. Sehingga Ryan seakan bisa merasakan sesakit apa Dian sekarang.

"Makin nambah, ya, hisnya? Bagus, Dok" ujar Bidan Denia yang tangannya ada di atas perut Dian. Dian hanya mengangguk.

Setelah memeriksa perut Dian, Denia mendengarkan detan jantung janin dan lamanya kontraksi.

"130x/ menit. Kontraksinya 3x10'/ 30''. Mumpung lagi gak his, diperiksa dalam dulu ya, Dok."

Denia melakukan pemeriksaan dalam. Raut wajahnya datar. Dengan berat hati ia memberitahu hasil pemeriksaannya. Wajah datar itu berubah jadi semakin serius.

"Pembukaannya belum ada kemajuan. Masih pembukaan 4cm. Kepala masih di atas. Kalau ditunggu sampai dua jam lagi setelah diinduksi pembukaannya gak maju juga, terpaksa harus sesar. Tunggu, ya. Aku siapin dulu untuk induksinya" jelas Denia.

Ryan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Dian. Denia keluar dari ruangan setelah pemeriksaan. Di dalam ruangan hanya ada sepasang suami istri itu saja.

"Sayang, kalau langsung operasi sekarang aja gimana? Aku takutnya janin gak selamat" Ryan mengungkapkan kekhawatirannya.

"Tenang aja. Tadi kamu denger sendiri, kan, kalau detak jantungnya masih normal. Kita tunggu aja" ujar Dian berusaha menenangkan suaminya.

"Tapi kamu, kan, hamil gantung. Bukannya biasanya kalau udah gini kemungkinan untuk normal itu kecil?"

Dian tahu apa maksud suaminya. Ditunggu sekalipun, kalau sudah begini tetap jalan terbaiknya adalah operasi sesar. Hanya itu jalan satu-satunya untuk melahirkan janinnya.

"Kamu tenang. Aku aja tenang, kok" Dian masih tetap berusaha menenangkan suaminya.

Beberapa detik kemudian, pintu ruangan itu terbuka lagi. Kali ini Rizky dan Dion yang datang menemui mereka. Rizky dan Dion terlihat cemas saat datang ke ruangan itu.

"Dian!!" panggil Dion.

"Hey. Kenapa ke sini? Siapa yang ngasih tahu?" dengan tenangnya Dian menyapa kembarannya itu.

"Dian, kakak gak mau tahu. Kamu harus nurut sama kakak sekarang!!" Rizky tiba-tiba saja berbicara seperti itu. Bahkan mereka belum sempat menjawab pertanyaan Dian.

"Mau apa, Kak?" tanya Dian yang sebenarnya sudah tahu kemana arah pembicaraannya.

"Operasi sekarang, ya" Rizky dan Ryan satu pemikiran.

Sebenarnya keadaan tidak terlalu gawat seperti yang ditakutkan. Tapi alangkah baiknya tindakan segera dilakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan itu lebih baik. Dian melirik suaminya dan juga kembarannya. Keduanya mengangguk setelah mendapat isyarat dari Dian yang bertanya haruskah sekarang atau nanti.

Dengan hati setengah ragu dan setengah yakin, Dian mengangguk mengiyakan. Rizkiy segera menelfon ruang operasi untuk menyiapkan ruang operasi. Dian segera disiapkan untuk tindakan operasi. Kateter urin dipasangkan pada Dian untuk persiapan operasi. Setelah semuanya siap, Dian dipindahkan ke ruang operasi. Di sana Ryan masih setia menggengam tangan istrinya.

Setelah semua persiapan siap, Dian disuntik anastesi secara epidural. Dia akan tetap sadar meskipun bagian bawahnya tidak terasa apa-apa. Ryan tetap setia menemani istrinya di ruang operasi. Ia sempat ditawarkan untuk memotong tali pusat anaknya nanti, tapi ia ragu.

"Mau motong tali pusatnya, gak? Tapi itu juga kalau bayinya normal, ya" tawar Rizky.

"Hehehhe. Gak tega, Ka. Aku fokus ke Dian aja" jawab Ryan.

[Re] Perfect Mate ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang