6

3.2K 416 30
                                    

Tak ada satupun ibu di dunia ini yang tak merindukan anaknya. Sesaat aku keluar dari kamar mandi, aku mendengar kalimat yang sedari kemarin ingin aku dengar.

"Dion, aku kangen sama Rifan."

"Eeeh.. Malah nangis. Cengeng amat sih. Tenang, Rifan aman sama istri aku di rumah."

Ku lihat Dion memeluk Dian. Sudah berapa lama Dian memendam rasa rindu itu. Dia pasti tersiksa juga.

"Dia pasti nangis nyariin bundanya" ujar Dian disela tangisannya.

"Iya. Kamu sih, bodoh dipelihara. Jangan sok-sokan pergi dari rumah lah. Gak mau ngurusin Rifan lah. Kalau udah kangen sama dia kan malah jadi kaya gini. Cuma bisa nangis doang."

Dion mengomel kembali. Dia memang hobi mengomel. Hanya dengan dia, Jefri, Daniel dan Agus, aku bisa melihat Dian yang hobi mengomel dan adu mulut. Saat berdua denganku, dia lebih banyak diam.

"Udah laah, jangan pergi dari rumah. Kalau mau ngebesarin anak kamu sendiri, kayanya gak mungkin. Kuliah itu sibuk banget. Terus kamu mau pergi keluar negeri gitu, lahiran di sana, kuliah di sana. Terus pas udah dapet gelar spesialis kandungan kamu balik lagi. Hahahaha. Seorang Dian gak semandiri itu."

"Mau siapa yang ngurus anak kamu? Rencana apaan kaya gitu. Bodoh!!"

Aku tercengang mendengar kata-kata Dion. Jadi, Dian berencana akan pergi.

"Yah kalo aku gak dirawat sih, akhir minggu ini aku bakal berangkat. Tiket, rumah tinggal, sama keperluan lainnya udah siap. "

"Waah, Dian. Bener-bener yah. Niat banget mau pergi."

"Kalau gak gini, aku sendiri yang bakal sakit lagi. Aku pengen ngejar cita-cita aku jadi dokter obgyn. Cita-cita kita sama, Ion. Tujuan kita jadi dokter obgyn kan buat nyembuhin mamah. Tapi sayangnya mamah lebih dulu dipanggil karena kanker serviksnya."

"Gak usah diingetin lagi, Yan. Mamah udah tenang di sana. Kalaupun cita-cita kamu gak kesampaian, masih ada orang lain yang butuh kamu di sini. Lebih butuh daripada sekedar kamu yang mau memenuhi ambisi aja. Kamu tega, ninggalin Rifan sama Ryan berdua??"

"Ryan pasti bakal banyak yang ngurus kok. Rifan juga."

"Iih, kesel punya kembaran bodohnya gak ketulungan kaya kamu!!"

Terdengar suara pukulan ringan.

"Aau!! Waah. Penyiksaan terhadap ibu hamil nih. Ada yah dokter kaya gitu??"

"Yang tadi mukul kepala kamu bukan Dion sebagai dokter. Tapi Dion sebagai kakak kamu!!"

"Aaah. Dion. Memang yah, udah jadi bapak juga gak ngejamin tingkah lakunya mencerminkan bapak-bapak."

"Nah, apa kabar sama kamu?? Kamu udah jadi ibu, tapi tega ninggalin anaknya sendiri."

"Aku gak ninggalin dia sendirian, kok. Aku ninggalin dia sama ayahnya. Kalau ayahnya bosen sama aku kan tinggal dia nikah lagi aja sama yang lebih sempurna dari aku."

"Iiih. Kesel banget sumpah ngobrol sama ibu-ibu sensian!! Kalau Ryan atau Rifan denger pasti mereka sedih."

"Dia gak akan sedih aku tinggalin. Dia udah punya pengganti aku, kok. Tuh, temen satu profesinya dia banyak."

"Astagfirullah. Dian!! Kamu tuh bilang aja cemburu apa susahnya sih?? Lama-lama aku hipertensi ngobrol sama kamu."

"Aku juga bisa-bisa jadi hipertensi gestasional gara-gara kamu!! Siapa juga yang cemburu."

"Tuh!! Kamu cemburu!!" Dion menunjuk Dian dengan jari telunjuknya.

"Hahahha. Kalau aku cemburu, udah dari dulu kali aku pergi dari rumah. Ryan kan doyan banget bikin istrinya cemburu."

[Re] Perfect Mate ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang